LSM Kobarkan Usul Polri Bentuk Kotak Pengaduan Aspirasi Masyarakat

LSM Kobarkan bincang santai bersama tim di Rumah Kayu Bandar Lampung (Sumber : Puspen Kemendagri)

Jurnal3.net / BANDAR LAMPUNG – Pandemi covid-19 ini belum berakhir, meskipun merasa sulit sekali bagi lembaga swadaya masyarakat (LSM) anti korupsi untuk menyalurkan aspirasinya. Pasalnya, mereka terbentur aturan tidak diperkenankan melakukan aksi massa.

Berangkat dari hal tersebut, LSM Koalisi bersama Rakyat Anti Korupsi dan Nepotisme (KOBARKAN) berembuk bersama timnya hasilnya mereka menyarangkan kepada pihak berwajib agar ada semacam kota pengaduan masyarakat.

“Sebetulnya, selama ini kami terbelenggu, mau bersuara terbentur aturan, padahal banyak sekali dugaan korupsi di Provinsi Lampung. Data dari hasil investigasi Tim seperti, dana bantuan sosial, dana covid-19 baik tunai maupun non tunai, banyak sekali kejanggalan dan sangat syarat diduga korupsi.

Karenanya, kami mengimbau ada kotak pengaduan, penyaluran aspirasi masyarakat, Polri bentuk secara online maupun offline. Supaya, jeritan rakyat bawah tersalurkan. Rakyat kecil mejerit mau mengadu secara langsung mereka takut,” ungkap kata Fikri Alqodri, Ketua Umum LSM Kobarkan saat bincang santai bersama tim di Rumah Kayu. Kamis (25/11), kemarin.

Ia pun menjelaskan, program Pemerintah untuk pemulihan ekonomi nasional sangat baik. Kebijakan Pemerintah memberikan bantuan baik tunai maupun non tunai kepada masyarakat dengan menggelontorkan anggara sekitar Rp 744 triliun lebih untuk rakyat kecil.

Namun, ia pun sangat di sesalkan. Karena hal ini justru hak itu dijadikan ajang korupsi berjamaah para okbum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Menurut Fikri, mulai dari pendamping hingga petingginya, ibarat sudah jadi lingkaran setan, dirasa semuanya saling menutupi, dalam kesalahan hingga akhirnya yang dirugikan rakyat penerimaan bantuan.

“Memang kalau hasil investigasi kami rata-rata sama modusnya. Secara nasional bansos covid ini jadi santapan, bukan di Lampung saja dan modus korupsinya bantuan sosial ini hampir sama dimana-mana.

Ada data warga sudah meninggal dunia masih terdata menerima dan juga modus pemotongan dari pendamping dengan dalih ongkos administrasi. Serta pengancaman jika tidak ada pembagian bansos, kedepan tidak dapat bantuan lagi,” sambungnya.

“Ada juga modus pendamping tidak menyerahkan dana kepada penerima, dengan dalih, bantuan bergilir jika sudah dapat bulan ini, periode berikutnya bergantian dengan yang lain, padahal uang tersebut ducairkan oleh pendamping, tapi hal ini sangat sulit, karena banyak yang berkecimpung serta sudah seperti lingkungan setan, semua saling menutupi, dan rakyat merasa takut untuk melapor,” bebernya. (dayat)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*