UU Cipta Kerja Pasca Putusan MK

Oleh Hananto Widodo

Jurnal3.netKabar yang ditunggu oleh publik terkait dengan hasil uji UU Cipta Kerja akhirnya datang juga. MK memutuskan bahwa UU Cipta Kerja tidak konstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional) sepanjang dimaknai UU Cipta Kerja harus diperbaiki dalam kurun waktu maksimal 2 tahun. Jika pembentuk UU tidak memperbaiki UU Cipta Kerja maksimal 2 tahun sejak putusan MK dibacakan, maka UU Cipta Kerja menjadi tidak konstitusional secara permanen.

Putusan MK ini terkesan sebagai bentuk kompromi antara keinginan Pemerintah dan kehendak publik. Hal ini dapat kita lihat dengan tidak bulatnya putusan MK ini. Ada empat hakim Konstitusi yang berbeda pendapat (dissenting opinion). Kompromi ini dapat kita lihat pada alasan keempat hakim ini yang menyatakan meskipun UU Cipta Kerja ini memiliki kelemahan dari segi legal drafting tetapi bagaimanapun juga UU ini dibutuhkan. Pendapat dari keempat hakim ini selaras dengan kehendak Pemerintah mengenai pentingnya UU Cipta Kerja.

Dengan demikian, putusan MK ini merupakan kompromi dari kehendak penguasa yang beralasan bahwa UU Cipta Kerja merupakan suatu kebutuhan hukum dan kehendak dari publik yang merasa materi dari UU Cipta Kerja ini secara substantif terlalu berpihak pada investor, sehingga UU ini dianggap sarat dengan ketidak adilan. Putusan MK ini merupakan hasil dari permohonan uji formil. Uji formil ini merupakan pengujian terkait dengan proses pembentukan undang-undang apakah sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).

Dalam praktik pengujian UU di MK terdapat batu uji yang berbeda antara uji materiil dan uji formil. Uji materiil menggunakan UUD NRI Tahun 1945 sebagai batu ujinya, sedangkan uji formil menggunakan UU PPP sebagai batu ujinya. Sebenarnya kalau kita konsisten, seharusnya baik uji materiil dan uji formil harus menggunakan batu uji yang sama yaitu UUD NRI Tahun 1945. Namun, karena proses pembentukan UU dalam UUD NRI Tahun 1945 hanya diatur secara singkat, maka dibutuhkan instrumen hukum lain yang dapat digunakan batu uji terhadap uji formil terhadap UUD.

Dalam sejarah pengujian formil UU, baru putusan MK RI No. 91/PUU-XVIII/2020 yang mengabulkan permohonan pemohon, meski putusannya adalah tidak konstitusional bersyarat. Sulitnya dikabulkannya uji formil disebabkan oleh dua alasan. Pertama, hasil dari uji formil ini akan dapat berakibat pada batalnya seluruh Pasal-Pasal yang ada dalam undang-undang yang diujikan jika terbukti proses pembentukan UU tidak sesuai dengan parameter yang ditetapkan baik oleh UUD NRI Tahun 1945 dan UU PPP.

Oleh karena itu, dalam putusan MK kali ini, MK memilih untuk tidak menyatakan tidak konstitusional, tetapi tidak konstitusional bersayarat. Kedua, selama ini alat bukti yang diajukan dalam uji formil dapat dikatakan lemah. Dalam uji formil terhadap UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, alat bukti yang dihadirkan hanya berupa potongan kliping koran dan link media massa yang kurang dapat diverifikasi secara hukum.

Meskipun MK menyatakan tidak konstitusional bersyarat, tetapi MK juga memerintahkan penghentian penerapan semua kebijakan strategis yang terkait dengan UU Cipta Kerja serta tidak dibenarkan untuk menerbitkan aturan pelaksana baru. Jika dilihat pada perintah dari MK ini, maka putusan MK ini terkesan paradoks, karena putusan MK adalah tidak konstitusional bersyarat, tetapi di satu sisi MK memerintahkan agar menghentikan penerapan semua kebijakan strategis terkait dengan UU Cipta Kerja serta melarang diterbitkannya aturan pelaksana baru. Kalau memang ada perintah untuk menghentikan penerapan semua kebijakan strategis yang terkait dengan UU Cipta Kerja serta melarang untuk menerbitkan aturan pelaksana baru, seharusnya putusan MK adalah tidak konstitusional atau bertentangan dengan UUD bukan tidak konstitusional bersyarat.

Paling tidak ada empat alasan mengapa MK mengabulkan permohonan pemohon dengan tidak konstitusional bersyarat ini. Pertama, Antara judul dan substansi tidak sesuai. Judul dari UU Cipta Kerja ini menunjukkan jika UU ini adalah UU yang baru, tetapi substansi dari UU ini sebagian besar adalah perubahan. Kedua, dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja kurang melibatkan partisipasi publik. Ketiga, metode omnibus Law tidak dikenal dalam UU PPP. Keempat, pembentuk UU melakukan perubahan terhadap 8 Pasal setelah UU ini disetujui. Perubahan terhadap beberapa Pasal setelah tahapan persetujuan ini jelas melanggar proses pembentukan UU.

Tahapan persetujuan ini merupakan tahapan yang krusial, bahkan tahapan ini secara politik lebih penting dibandingkan tahapan pengesahan dan pengundangan. Tahapan persetujuan ini merupakan tahapan di mana problem teknis hukum dan problem politik telah berhasil diselesaikan. Oleh karena itu, setelah persetujuan harusnya langsung masuk pada tahapan pengesahan dan pengundangan.

Sementara itu, munculnya putusan MK yang mensyaratkan pembentuk UU harus menyelesaikan dalam waktu maksimal 2 tahun disebabkan terkait dengan tidak sinkronnya antara judul UU yang merupakan UU yang baru dengan substansi UU yang sebagian besar adalah perubahan. Oleh karena itu, maka pembentuk UU tidak memiliki pilihan lain untuk membentuk UU Cipta Kerja yang secara substansi bukan UU perubahan tetapi UU yang sama sekali baru dan ini pasti membutuhkan waktu.

Sebelum dilakukan pembaharuan terhadap UU Cipta Kerja, maka pembentuk UU harus mengubah terlebih dahulu dengan menambahkan metode Omnibus Law dalam UU PPP. Setelah metode Omnibus Law ditambahkan dalam UU PPP, maka pembentuk UU baru bisa melakukan pembaharuan terhadap UU Cipta Kerja. Penambahan metode Omnibus Law dalam UU PPP sangat krusial dilakukan sebab ke depan metode Omnibus Law juga akan digunakan oleh pembentuk UU.

*Penulis adalah Dosen Jurusan Ilmu Hukum dan Ketua Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*