Pemenang Nobel Sastra dari Jepang itu Bunuh Diri
Oleh : Denny JA
“Dalam Kenyataannya, Nominasi Nobel Sastra Itu Tidak Rahasia-rahasia Amat”.
Prof. Dr. I Ketut Surajaya MA adalah profesor ahli sejarah Jepang pertama di Indonesia. Malam ini, Ia menjelaskan tiga pemenang nobel sastra dari Jepang.
Yaitu Kawabata Yazunari (1968), Oe Kenzaburo (1994), dan Kazua Ishiguro (2017). Jepang adalah negara Asia yang termasuk paling banyak menerima hadiah nobel sastra.
Di tahun 1972, hanya empat tahun setelah menerima nobel, Kawabata ditemukan wafat. Banyak yang menduga ia bunuh diri.
Prof Ketut menafsir penyebab Kawabata bunuh diri. Menurutnya, Kawabata merasa tak bisa lagi melahirkan karya sastra sebagus sebelumnya.
Itulah tradisi panjang di Jepang. Jika seseorang merasa tak lagi bisa menyumbangkan sesuatu, atau ada rasa malu yang kuat, bunuh diri menjadi pilihan.
Prof Ketut juga menyampaikan bahwa, menerima hadiah nobel itu kebanggaan sebuah negara. Di Jepang, bahkan banyak perusahaan Jepang yang melakukan lobi ke sana kemari agar sastrawan negaranya menang.
Dengan kata lain, proses nominasi nobel sastra tidak rahasia-rahasia amat.
Bahkan pihak di luar sana, justru sebelum pemenang diumumkan, aktif melakukan lobi. Sang pelobi dengan sendirinya sudah tahu siapa sastrawan di negaranya yang dinominasikan, dan perlu dipromosikan untuk dimenangkan.
Itulah cuplikan dari Webinar Perkumpulan Penulis Indonesia Satu pena ke-22. Khusus Kamis itu, Satupena membicarakan soal nobel sastra.
Yang menjadi pembicara utama Datuk Jasni Matlani. Ia Presiden Badan Bahasa dan Sastra Sabah, Malaysia. Ia juga Presiden Komunitas Puisi Esai ASEAN.
Turut meramaikan webinar Kamis itu, di samping Prof Ketut, juga Prof. Dr. Burhan Magenda. Juga berbicara sastrawan Eka Budianta dan Fatin Hamama. Moderator Elza Peldi Taher dan Swary Utami Dewi.
Eka Budianta juga memberikan pandangan pengalaman pribadi. Di malam pengumuman hadiah Nobel, ia dan teman-teman wartawan berkumpul di rumah Pramoedya Ananta Toer.
Malam itu mereka menunggu apakah panitia Nobel Sastra menghubungi Pram. Sekaligus panitia Nobel mengumumkan Pram sebagai pemenang.
Ujar Eka Budianta, yang berkumpul tak hanya para sastrawan yang bersimpati pada Pram. Berkumpul pula wartawan dari dalam dan luar negeri.
Malam itu mereka sedih sekali. Pram kembali tidak terpilih. Lebih sedih lagi karena meyakini ada pihak-pihak yang menjegal kemenangan Pram dari sesama anak bangsa Indonesia.
Proses pencalonan Pram sebelum pengumuman panitia Nobel Sastra, sekali lagi dalam kenyataannya tidak rahasia-rahasia amat.
Tak hanya yang menominasikan Pramudya dan Panitia Nobel yang tahu. Pram juga tahu pencalonan dirinya. Publik luas juga tahu. Itulah nomonasi nobel sastra “in action,” itulah kisah nominasi nobel sastra yang ada dalam sejarah.
Tentu tak ada gunanya mempublikasi seluruh detail dokumen korespondensi antara undangan The Swedish Academy dengan komunitas yang mencalonkan. Detail soal nama yang berkorepondensi, tanggal korespondensi, bahkan surat asli undangan itu tak perlu disebar luaskan.
Tapi bocornya siapa yang dicalonkan nobel sastra kepada publik luas itu hal yang biasa saja.
Memang panitia Nobel Sastra, The Swedish Academy, menyatakan proses nominasi itu rahasia. Selama 50 tahun proses itu tak akan dibuka ke publik. Pihak yang mencalonkan dan Panitia Nobel diminta untuk tidak mengumumkannya ke publik.
Memang panitia Nobel memiliki alasan kerahasiaan itu. Mereka tak ingin direpotkan oleh diskusi, negosiasi, pertanyaan yang tak perlu.
Namun juga panitia Nobel mengetahui. Lobi di sana dan di sini sebelum pemenang diumumkan pasti terjadi. Pada kenyataannya di banyak kasus, siapa yang dicalonkan tak hanya diketahui oleh mereka yang mencalonkan dan panitia nobel.
Dalam kenyataannya, seperti di Jepang, bahkan perusahaan besar tahu nama yang dicalonkan dan ikut melobi agar dimenangkan.
Dalam kenyataanya, untuk kasus Indonesia, di tahun itu juga, Eka Budianta dan banyak wartawan ikut tahu Pram dicalonkan.
Dalam kenyataannya, bahkan kita saat ini tahu dengan pasti bahwa, Pram pernah dicalonkan. Padahal tahun ini, 2022, belum berjarak 50 tahun dengan pencalonan Pram, seperti yang disyaratkan panitia Nobel.
Dalam bahasa gaul: “Kenyataannya, sejak dulu, proses nominasi nobel sastra tidak rahasia- rahasia amat.”
Percakapan publik dan lobi sana dan sini terjadi sejak dulu. Sejak lama. Sejak pertama.
Dalam webinar itu, Eka Budianta juga bercerita betapa tidak bersatunya para sastrawan.
Satu sastrawan Indonesia dicalonkan, sastrawan lain, sesama anak bangsa, bukannya mendukung, tapi malah ingin menggagalkan.
What Next? Indonesia negara besar. Asia Tenggara kaya dengan budaya. Bukan nobel satra itu sendiri yang penting, tapi efeknya untuk mendongkrak kualitas budaya.
Saatnya percakapan publik soal nobel itu dilihat sebagai bagian untuk mendinamisasi budaya, agar lebih berorientasi global, internasional, mondial.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Sastrawan, Penggagas Puisi Esai, dan Penulis Buku.
Leave a Reply