DI HOTEL SAVANA, Kota Malang, Senin (29/3/2021) silam, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menekankan ke calon penerima dan jajaran Pemprov Jatim, bahwa dana hibah harus dipastikan tersalurkan UTUH ke masyarakat.
TIidak ada kejahatan yang sempurna. Meski coba dikemas rapi, dugaan penyelewengan dana hibah pengadaan Penerangan Jalan Umum (PJU) atas 247 Kelompok Masyarakat (Pokmas) di Kabupaten Lamongan sebesar Rp.40,9 miliar, masih meninggalkan jejak yang begitu transparan.
Penelusuran Jurnal3, diketahui, dari fisik PJU di sejumlah desa di Lamongan yang mendapatkan kucuran dana hibah, semuanya identik (seragam) termasuk spec dan kualitasnya. Inilah jejak yang tak bisa ditutupi dan menjadi petunjuk bahwa pengadaan PJU di-koordinir oleh kelompok tertentu dengan menunjuk satu perusahaan untuk mensuplai tiang, lampu, baterai, hingga PV Array untuk menyerap tenaga surya.
Modus ini berawal dari disetujuinya proposal, ratusan Pokmas memenuhi panggilan OPD terkait untuk melakukan tanda tangan pada Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) di berbagai lokasi. Kurang lebih 2 minggu hingga 1 bulan, dana pengajuan cair melalui rekening Bank Jatim yang diatasnamakan Ketua Pokmas di masing-masing desa.
Dari sinilah proses dugaan “mark-up” ugal-ugalan itu dimulai. Kelompok “tangan-tangan gelap” ini tahu saat dana itu dicairkan (ditransfer) ke rekening Bank Jatim. Rata-rata, para Ketua Pokmas saat mengambil dana, didampingi oleh orang-orang suruhan kelompok “tangan-tangan gelap”.
“Dari pengakuan beberapa ketua Pokmas, setelah uang diambil dari Bank Jatim, dana itu lalu diambil semua oleh kelompokini. Bahkan ada yang dimasukkan ke mobil untuk kemudian diambil duitnya,” ungkap Ketua Lembaga Center For Islam and Democracy Studie’s (CIDe’) Ahmad Annur.
Praktik ini sangat membahayakan para penerima dana hibah. Mereka secara sistemik dikorbankan. Karena para penerima hibah ini akan mempertanggungjawabkan penggunaan dana hibah tersebut. Karena pencairan lewat Bank Jatim atas nama Pokmas, bukan yang lain.
Masyarakat penerima tidak tahu harga asli PJU per unit. Karena mereka hanya disodori proposal yang sudah disiapkan sejak awal. Bagi Pokmas yang dikucuri dana Rp 400 juta dengan pengajuan 10 unit PJU, hanya diserahi dana Rp 17 juta. Sementara Pokmas yang dikucuri dana Rp 200 juta dengan pengajuan 5 unit PJU, hanya diserahi dana Rp 7 juta.
“Alasannya dana itu hanya untuk pembuatan pondasi tiang PJU saja,” ungkap Annur.
Setelah dana cair, Pokmas punya waktu 2 bulan untuk membelanjakan dana itu. Bebas kemana saja, terserah Pokmas mau beli peralatan dimana saja. Tapi kenyataan di lapangan tidak.
Karena disinyalir anggaran untuk proyek pengadaan ratusan unit PJU yang didanai lewat dana hibah ini sudah di-skenario sejak awal, yakni mulai dari perencanaan, proposal, realisasi hingga pelaporannya, kelompok “tangan-tangan gelap” ini diduga sejak awal sudah menunjuk kontraktor untuk menjadi penyuplai fisik PJU, yakni PT S*T* yang berlokasi di daerah Siwalankerto, Kecamatan Wonocolo, Surabaya.
Perusahaan ini adalah penyedia lampu tenaga surya dan terdaftar sebagai Distributor resmi Indonesia serta terdaftar sebagai penyedia lampu jalan di Kementrian Perhubungan ISO 9001 ISO 14001 OHSAS 180001 SNI Ready.
Masyarakat penerima hibah oleh para koordinator lapangan di masing-masing kecamatan dipertemukan dengan pihak PT S*T*. Lalu masyarakat diajak kerjasama. Dalihnya, pengerjaan PJU ini harus dikontraktualkan dengan pihak PT S*T*. Padahal, seharusnya masyarakat penerima dana hibah bebas membelanjakan kemana saja.
Dari pertemuan dengan pihak PT S*T* itu, disepakati masyarakat penerima dana hibah hanya melaksanakan pembuatan pondasi dan pemasangannya saja. Sementara untuk tiang, lampu, baterai, hingga PV Array untuk menyerap tenaga surya dan lainnya disiapkan oleh PT S*T*. Penerima hibah tinggal terima barang dan memasangnya di lokasi yang ditentukan.
Jika merujuk pada Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI soal Kelebihan Bayar Rp 40,9 Miliar pada pekerjaan tahun 2020, disinyalir kuat PT S*T* menjual PJU per unit seharga Rp 17.330.000, jauh di bawah nilai yang dianggarkan melalui pengajuan Pokmas senilai Rp 40 juta per unit.
Di LHP BPK-RI, diketahui, ada kelebihan bayar senilai Rp 40,9 miliar, yang diduga merupakan dana yang “di-mark up” dari pencairan OPD terkait kepada 247 Pokmas di Kabupaten Lamongan.
Untuk diketahui, dari LHP BPK-RI atas LKPD Provinsi Jatim untuk tahun anggaran 2020, dugaan adanya “mark-up” ugal-ugalan itu bisa diurai melalui perhitungan sebagai berikut;
Untuk Pokmas dengan anggaran Rp. 400 juta dengan pengajuan 10 unit PJU, maka seharusnya per unit PJU nilainya Rp. 40 juta. Tapi dari LHP BPK-RI, ditemukan selisih Rp. 22.670.000/unit. Jadi, ditemukan kalau harga asli adalah Rp.17.330.000/unit. Jika dikalikan 10 unit (Rp. 226.670.00 x 10), maka diketahui Rp. 226.700.000. Ini adalah dana yang berhasil “ditilep” dari satu Pokmas saja.
Sedang untuk Pokmas dengan anggaran Rp. 200 juta untuk pengajuan 5 unit PJU, seharusnya harga per unit Rp. 40 juta. Namun dari temuan dari LHP BPK-RI, ada selisih Rp. 22.670.000/unit. Jadi, ditemukan kalau harga asli adalah Rp.17.330.000/unit. Jika dikalikan 5 unit (Rp. 226.670.00 x 5), maka diketahui Rp. 113.350.000 yang “ditilep” dari satu Pokmas.
*rizalhasan (bersambung ke Part-3)