Oleh : Burhanuddin Saputu
Pemilihan umum (Pemilu) Presiden masih dua tahun lagi namun sudah bermunculan para calon, baik itu dari basis massa maupun dari struktur partai, dan partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi ambang batas Parlemen (Parliamentary Threshold) belum menentukan secara resmi figur calon presidennya. Demikian juga Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pemilu, belum menentukan tahapan-tahapan Pemilu 2024.
Meski demikian, para calon tampaknya telah ancang-ancang atau konsolidasi tipis-tipis sesuai dengan cara mereka seperti terlihat di berbagai media. Sementara itu beberapa lembaga survei berskala nasional telah melakukan jajak pendapat terkait dengan nama-nama figur calon presiden yang diinginkan rakyat. Pada titik ini, hampir seluruh lembaga survei menempatkan Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto menjadi nominasi responden. disusul Anies Baswedan, dan yang lainnya.
Survei-survei itu telah berhasil mengangkat kepermukaan nama-nama figur calon presiden untuk penerus Joko Widodo (Jokowi) sekaligus dapat mengetahui peta sosiologi pemilih. Terhadap beberapa partai politik (parpol) nampaknya sudah mulai mencetuskan kandidat presidennya jelang Pilpres 2024.
Sebut saja misalnya, Partai Golkar menjagokan Airlangga Hartarto, Partai Nasdem disinyalir mengusung Anies Baswedan dan Ridwan Kamil, Partai Gerindra mengajukan Ketua Umumnya Prabowo Subianto, PKB mengusung Muhaimin Iskandar, PKS mempromosikan Salim Segaf Al-Jufri, dan PDIP mulai mengelus-elus Ganjar Pranowo dan Puan Maharani.
Belum lagi partai-partai politik yang baru terdaftar di Kementerian Hukum & HAM yang ingin ikut menjadi peserta pemilu legislatif 2024. Tentu juga parpol-parpol baru itu punya kecenderungan terhadap sosok figur bakal calon presiden.
Memang berbagai lembaga survei telah menominasikan beberapa nama, namun pada tahap awal nanti, konfigurasi figur akan bersaing ketat dan bahkan secara tajam memperebutkan rekomendasi yg menjadi tiket menjadi calon presiden yang itu menjadi ranah prerogratif parpol.
Sebaliknya. parpol tentu akan mempertimbangkan sosok figur terutama kepada yang memiliki elektabilitas tinggi karena dengan begitu bisa diasumsi bakal mendongkrak perolehan suara parpol untuk pemilu legislatif. Dalam hal itu, bercermin pada PDIP yang mengusung Jokowi menang dua kali Pilpres, lalu kemudian berefek terhadap turut sertanya PDIP menang di pemilu legislatif 2014 dan juga pemilu legislatif 2019.
Pemilu Serentak 2024
Pemilu serentak 2024 oleh beberapa kalangan menilai efesien baik dari aspek biaya maupun waktu, yaitu serentak memilih anggota DPR RI, DPRD I, DPRD II, DPD, Presiden-Wakil Presiden, serta Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sebaliknya, kesibukan di partai politik akan cukup padat, karena partai sebagai mesin politik akan bergerak dalam satu ruangan dengan agenda politik berkaitan dengan Pileg, Pilpres, dan Pilkada.
Ini yang tidak seperti biasanya di pemilu-pemilu sebelumnya dialami parpol. Selain itu, akan ada kerumitan dalam mobilsasi massa pedukung ataupun simpatisan ketika parpol pengusung calon presiden tidak simentris dengan parpol pengusung calon kepala daerah (Cakada), maka akan banyak benturan politik yang mungkin saja bisa terjadi di masyarakat.
Belajar dari PDI Perjuangan
Sejarah panjang PDI Perjuangan (PDIP) di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri punya cukup pengalaman untuk bisa keluar dari konflik dan kebuntuan. Bahkan konflik dan kebuntuan itu, PDIP yang dulu disebut Partai Demokrasi Indonesia (PDI) bisa keluar dengan selamat dari tekanan rezim orde baru dan disambut tepuk-tangan begitu meriah oleh kebanyakan rakyat Indonesia.
Krisis figur yang dialami menjelang pemilu presiden 2014 lalu, PDIP justru menyodorkan nama Jokowi sebagai calon presiden yang oleh beberapa kalangan menyangsikan kemampuan sang petarung itu. Bahkan rasa itu sudah dirasakan sejak Jokowi digadang menjadi calon gubernur DKI Jakarta yang diusung PDIP.
Akan tetapi kesangsian itu terpatahkan oleh karena Jokowi, saat itu mampu menyedot simpati massa rakyat secara signifikan. Ada banyak identitas di masyarakat mau jadi volunteer Jokowi tampil bagai kekuatan politik yang bergerak secara sungguh-sungguh mempengaruhi pemilih guna memenangkan pasangan Jokowi-JK. Hingga nampak terlihat pasangan capres-cawapres ini semacam Rip Current, yaitu suatu arus laut yang dahsyat yang bisa menarik benda apa saja yang ada di sekitar arus itu.
Tak heran kemudian, bila ada kalangan terkejut atas kemenangan Jokowi-JK mengalahkan pasangan Prabowo-Hatta yang boleh dikatakan, mereka menggambarkan poros kekuatan Cendana dan Cikeas. Itulah pentingnya juga ketangkasan capres dan cawapres dalam debat visi yang ditonton langsung oleh segenap rakyat Indonesia melalui siaran televisi nasional. Paparan visi serta ketangkasan dalam debat yang diselenggarakan KPU akan sangat mempengaruhi kecenderungan pemilih terhadap figur capres-cawapres, terutama terhadap pemilih yang masih ragu-ragu atau belum menentukan pilihan.
Selanjutnya, menjelang Pilpres 2019, PDIP cukup cerdik melihat realitas politik militansi muslim tumpah-ruah di Monas pada tanggal 4 Nopember dan 2 Desember 2016 yang menuntut diadilinya Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) karena dianggap telah menistakan Al-Qur’an (Kitab Suci penganut agama Islam). Saat itu, bila massa muslim tersebut tak terkendalikan dengan baik, maka efek pergerakan politik di tanah air sangat mungkin menjadi liar dan bahkan ekstrim.
Namun kepiawaian sang Presiden Jokowi berikut parpol koalisi pendukung untuk mendengarkan tuntutan massa serta mengakomodir kepentingan kelompok, sehingga gerakan politik ketika itu yang bisa saja bermuara pada pemakzulan terhadap Presiden Jokowi, akhirnya tidak terjadi.
Realitas politik seperti itu oleh PDIP menyikapinya dengan menggandeng Kyai Ma’ruf Amin mendampingi Jokowi dalam pilpres 2019. Kyai Ma’ruf Amin ketika itu memegang tongkat komando organisasi muslim terbesar di Indonesia, yaitu Rois Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) merangkap Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Modalitas politik Jokowi dan PDIP kemudian bersatu padu dengan kekuatan sosial politik Nahdlatul Ulama (NU) hingga mengantarkan kemenangan di Pilpres 2019.
Meski bila dilihat secara matematika politik, perolehan suara pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin ini tidak cukup memuaskan, karena tak terlalu beranjak jauh dari perolehan Pilpres 2014 ketika Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla. Hanya bergeser sekitar 2,35%, padahal Jokowi telah menunjukkan kinerjanya yang spektakuler selama lima tahun menjadi Presiden.
Pengalaman dua kali memenangkan pertarungan politik pilpres langsung oleh rakyat ini menunjukkan bahwa, PDIP bukan hanya berpengalaman bisa keluar dari konflik atau kebuntuan politik, tetapi juga dapat membaca secara baik mengenai sosiologi pemilih di Indonesia. Resolusi konflik serta pemahaman bacaan yang dipunyai itulah sehingga berdampak secara berarti terhadap perolehan suara PDIP di pemilu legislatif 2014 dan pemilu legislatif 2019.
Tulisan ini tentu tidak bermaksud mengajari, karena Parpol jauh lebih pintar dan pandai. Akan tetapi, kecerdikan Parpol dalam memutuskan siapa calon presiden adalah penting untuk menemukan jalan terang menuju pintu kemenangan dalam pertarungan Pemilu 2024 nanti.(*)
*Penulis adalah Ketua Umum GataRI (Ganjar Kita for RI)
Editor : Syaiful