Oleh Hananto Widodo*)
Menkopolhukam, Mahfud MD menyatakan bahwa di tahun 2024, Indonesia membutuhkan pemimpin yang kuat. Pemimpin yang mampu mengatasi persoalan korupsi dan keterbelahan yang kini sedang terjadi. Pertanyaannya adalah apakah yang disebut sebagai pemimpin kuat itu ? Apa saja indikatornya ?
Secara konstitusional, UUD NRI Tahun 1945 memang dirancang untuk membentuk kepemimpinan yang kuat. Hal ini dapat dilacak dari kesepakatan Panitia Ad hoc 1 MPR terkait alasan perubahan UUD 1945. Salah satu kesepakatan perubahan UUD 1945 adalah mempertegas sistem presidensiil. Sistem presidensiil ini memiliki karakteristik bahwa kekuasaan paling luas dibanding cabang kekuasaan yang lain adalah kekuasaan Presiden. Memang, alasan paling kuat dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 adalah karena UUD 1945 memberi kekuasaan yang besar kepada Presiden dibanding cabang kekuasaan yang lain. Namun, secara teoritik pilihan memperkuat sistem presidensiil yang diambil oleh MPR ini menandakan kalau MPR ingin Presiden memiliki kekuasaan yang lumayan kuat dibandingkan kekuasaan yang lain.
Yang membedakan antara UUD 1945 sebelum dan setelah perubahan UUD 1945 adalah dalam UUD 1945 setelah perubahan UUD 1945 ada upaya pembatasan terhadap kewenangan Presiden, seperti harus memperhatikan pertimbangan dari DPR terkait dengan pengangkatan Duta dan Konsul. Namun demikian, kewenangan Presiden tidak hanya sebatas pada apa yang tertulis dalam UUD. Presiden memiliki kewajiban konstitusional lainnya yang tidak hanya tertulis dalam UUD, seperti upaya untuk mensejahterakan masyarakat.
Kekuasaan Legislatif dan Kekuasaan Yudisial, seperti apa?
Sementara itu, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial dapat dikatakan lebih sempit dibandingkan kekuasaan Presiden. Legislatif hanya memiliki kekuasaan legislasi, anggaran dan pengawasan. Itupun dari ketiga kewenangan legislative hanya satu kewenangan yang benar-benar murni dari kewenangan legislatif, yaitu kewenangan pengawasan. Sedangkan kewenangan legislasi dan anggaran legislatif harus berbagi dengan kewenangan Presiden.
Kewenangan yudisial malah lebih terbatas dibandingkan kewenangan legislatif, yakni mengadili dan memvonis. Dengan demikian, kewenangan Presiden secara konstitusional memang didesain untuk menjadi Presiden yang kuat. Oleh karena itu, sebenarnya dalam sistem Presidensiil, Presiden bukan hanya berpotensi untuk menjadi kuat, tetapi bisa menjurus ke pemerintahan yang otoriter.
Pemerintahan yang Otoriter dalam Sistem Presidensiil
Pemerintahan yang otoriter dalam sistem presidensiil sangat dimungkinkan jika pendukung politik Presiden di parlemen adalah mayoritas. Sehingga, Presiden bisa steril dari ancaman serangan lawan-lawan politiknya yang ada di parlemen. Jika kita lihat dengan indikator konstitusi baik itu dalam UUD maupun dalam praktik pemerintahan Jokowi, sebenarnya Jokowi dapat digolongkan sebagai pemimpin yang kuat.
Hampir semua parpol yang ada di parlemen dapat dikatakan merupakan parpol pendukung pemerintah. Hanya ada dua parpol yang dapat dikatakan bukan sebagai parpol pendukung pemerintah, yakni PKS dan Demokrat. Dengan berhasilnya Jokowi melakukan kooptasi terhadap hampir semua parpol yang ada di parlemen, maka dapat dikatakan bahwa Jokowi merupakan pemimpin yang kuat.
Memang Jokowi tetap mendapat “gangguan” terhadap kinerjanya tetapi tidak berasal dari parlemen, tetapi dari luar parlemen. Gangguan dari luar parlemen inilah yang membuat keterbelahan di level akar rumput dan ini yang membuat kekhawatiran kita semua. Kita tentu ingat dengan peristiwa pemukulan Ade Armando pada saat demo mahasiswa pada bulan Ramadhan.
Keterbelahan ini memang rawan menimbulkan konflik horizontal di kalangan masyarakat. Namun, apakah ini indikator bahwa Jokowi dapat disebut sebagai pemimpin yang lemah ? Ingat bahwa keterbelahan ini akibat asumsi dari beberapa kalangan masyarakat yang menganggap Jokowi diskriminatif. Pertanyaannya apakah “serangan” dari akar rumput seperti yang dilakukan oleh FPI dan lainnya membuat Jokowi lemah ?
Lemah tidaknya seorang Presiden, ketika “serangan” yang dilakukan oleh lawan politiknya berdampak pada melambatnya kinerjanya. Kenyataannya, Jokowi sama sekali tidak terganggu dengan ulah dari sebagian pembencinya. Mungkin ada yang berasumsi kalau Jokowi bisa bekerja dengan tenang karena ada pendukung-pendukungnya yang secara telaten meng-counter setiap serangan-serangan dari lawan politiknya. Asumsi demikian sah saja, tetapi meskipun tanpa ada buzzer-buzzer, Jokowi akan tetap bisa bekerja tanpa ada gangguan yang berarti.
Justru pertanyaan muncul ketika isu pemimpin yang kuat ini dikaitkan dengan isu korupsi. Ingat, korupsi sudah menjadi sistem budaya di kalangan elite di negeri ini. Pemimpin yang kuat dan baik jika dikaitkan dengan isu korupsi dapat dikatakan sulit terwujud. Sebab jika seorang Presiden bertekad untuk memperbaiki sistem guna melakukan pencegahan secara total terhadap tindak pidana korupsi, maka dapat dipastikan Presiden akan bekerja sendirian.
Dia tidak akan memiliki banyak teman untuk membantu dia dalam melakukan pencegahan secara total terhadap tindak pidana korupsi. Contoh nyata dari ketidakberdayaan Presiden dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah ketika Jokowi bersedia untuk menyetujui draft revisi UU KPK yang oleh sebagian besar publik tujuannya untuk melemahkan KPK. Jika yang dikatakan Mahfud MD, pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang mampu untuk memimpin pemberantasan korupsi, maka Presiden yang akan datang seharusnya merupakan Presiden yang memiliki komitmen yang kuat untuk memperkuat KPK dan juga memperkuat institusi penegak hukum lainnya demi terwujudnya pemerintahan yang bersih. (*)
*Hananto Widodo, Dosen Hukum Tata Negara dan Ketua Pusat Kajian Hukum Dan Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial Dan Hukum Universitas Negeri Surabaya