JURNAL3 | JAKARTA – Ada dua fakta besar yang menjadi gambaran bobroknya perilaku aparatur sipil negara (ASN) di sejumlah daerah di Indonesia.
Pertama mafia PNS dan honorer. Modus dan pelakunya jelas, yakni kepala daerah, kepala dinas dan pihak-pihak terkait yang disebut calo atau makelar.
Modus kedua adalah menggeser jabatan ASN, atas nama UU dengan cara membayar.
Demikian dikatakan anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, RI Arteria Dahlan di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Senin, (23/01/2017).
Ia melanjutkan, selama ini modus mengisi jabatan birokrasi selalu tidak transparan, baik di kementerian, lembaga maupun pemerintah daerah.
“Itulah ruang bagi mereka untuk melaksanakan rente jabatan, untuk transaksi politik,” ujar Arteria.
Setelah para kepala daerah mendapatkan uang hasil “dagang” jabatan, selanjutnya para SKPD ini diberikan target agar bisa terus menyetor kepada “si empunya”.
“Anda jadi kepala dinas, bayar sekian. Saat menjabat nanti bisa setor berapa, bisa ngasih komitmen politik apa, begitu terus,” beber Arteria, mencontohkan.
Dampak dari rente jabatan ini praktis membuat semua pelayanan publik jadi transaksional.
ASN tidak lagi menghadirkan pelayanan publik yang baik karena berasal dari aparatur yang tidak kompeten. Belum lagi aparatur yang memeras bawahannya.
“Contoh, bupati meminta bayaran kepada kepala dinas. Kepala dinas lalu meminta uang kepada kepala SMA hingga kepala SD termasuk pengawas pendidikan. Pada akhirnya, sekolah menjadi mahal, sekolah meminta sumbangan dan pelayanan publik menjadi buruk,” urainya.
Semua mata rantai ini, menurut dia, seharusnya bisa dihentikan.@andiherman