JURNAL3 | JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, belum ada kemajuan berarti dari negosiasi antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia ihwal rencana perusahaan Amerika Serikat tersebut untuk membawa polemik Kontrak Karya (KK) ke ranah arbitrase. Padahal, negosiasi ini sudah memakan waktu tiga pekan lamanya.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menjelaskan, mandegnya pembahasan ini karena pemerintah dan Freeport masih kukuh akan argumennya masing-masing.
Menurutnya, Freeport masih ingin memberlakukan Kontrak Karya (KK) namun ingin mendapat izin ekspor. Sementara pemerintah mengatakan bahwa perusahaan harus mengubah status KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) agar bisa ekspor, sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017 yang menjadi turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017.
“Kenapa tiga minggu tak tercapai, karena Freeport masih berpikir cara lama. Ingin tetapkan kontrak dan apa yang diinginkan sama mereka harus dipenuhi semua. Ini sama seperti dulu-dulu, bagaimana mau win-win jika begini?” keluh Bambang, Senin (20/03/2017).
Ia berpendapat, Freeport sudah terlampau nyaman dengan fasilitas yang diberikan pemerintah dan kerap merasa sebagai pihak yang paling dirugikan dengan perubahaan status KK menjadi IUPK. Padahal menurutnya, ada contoh lain di mana perubahan status izin usaha tidak mengganggu kelanjutan investasi sebuah perusahaan tambang.
Bambang mencontohkan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) yang mau berkomitmen investasi sebesar US$9 miliar selepas status KK-nya berubah menjadi IUPK pada Februari silam. Apalagi, AMNT juga diharuskan menciutkan luas lahan tambang, sama seperti kewajiban yang dibebankan pemerintah kepada Freeport.
“Amman itu sama, mereka kehilangan 41 ribu hektare dan hanya 25 ribu hektare yang dipertahankan. Makanya, sebetulnya saya kok bingung juga ini. Yang satu oke-oke saja, tapi yang satu lagi khawatir soal investment stability,” lanjutnya.
Ia berharap, Freeport paham bahwa perubahan status dari KK ke IUPK hanyalah opsi semata. Jika perusahaan memang ingin ekspor, maka status izin usaha harus diganti menjadi IUPK. Ia pun mempersilakan Freeport untuk mempertahankan status KK, asal jangan melakukan ekspor mineral mentah.
“Pemerintah tidak pernah memaksa, pemerintah itu memberikan pilihan. Kalau tidak mau berubah, jangan ekspor. Sebagai contoh ada PT Vale Indonesia Tbk yang tetap mempertahankan status KK, namun mereka melakukan sendiri pemurniannya,” pungkasnya.
Sebelumnya, induk usaha Freeport Indonesia, Freeport-McMoran inc secara resmi memberikan waktu kepada pemerintah selama 120 hari untuk mempertimbangkan kembali poin-poin perbedaan antara pemerintah dan Freeport Indonesia terkait pemberian izin rekomendasi ekspor berdasarkan ketentuan KK.
Pengajuan arbitrase layak ditempuh karena perusahaan menilai pemerintah tak konsisten dalam menjalankan aturan hukum yang telah dibuatnya sendiri, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Freeport berkukuh, pemerintah tak dapat mengubah ketentuan hukum dan fiskal yang telah berlaku dalam KK menjadi ketentuan berdasarkan status IUPK. Karena berdasarkan UU Minerba, KK tetap sah berlaku hingga jangka waktunya berakhir. Diketahui, kontrak Freeport sendiri akan berakhir pada 2021 mendatang.@andiherman