JURNAL3 / JAKARTA – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak seharusnya membebankan defisit anggaran kepada masyarakat pengguna layanan. Sebab, ide dasar dari pendirian BPJS Kesehatan adalah sistem jaminan sosial kesehatan, bukan perusahaan asuransi.
Jadi, yang seharusnya ditambah adalah peran serta negara,” tegas mantan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam akun Twitter pribadinya, Rabu (6/11/2019).
Menurutnya, pemerintah harus meninjau ulang model pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang saat ini menggunakan sistem iuran atau premi asuransi.
Fadli menilai yang terjadi saat ini seolah pemerintah sedang melepas kewajiban untuk menjamin akses kesehatan terjangkau bagi seluruh masyarakat.
Kebijakan menaikkan iuran hingga dua kali lipat juga dipandang keliru lantaran dirilis sebelum tuntutan transparansi, efisiensi, serta tata kelola kelembagaan yang bersih ditunaikan BPJS.
“Sehingga, kita tak pernah benar-benar tahu, masalah yang diidap oleh BPJS ini masalah di kepesertaan, ataukah di tata kelola yang buruk,” tegasnya.
Fadli menguraikan bahwa pada 24 Mei 2019 lalu, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah melakukan dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI tentang hasil audit Dana jaminan Sosial (DJS) Kesehatan tahun 2018.
Hasilnya, ada temuan inefisiensi pembayaran klaim layanan di rumah sakit sebesar Rp 819 miliar karena kontrak antara RS dan BPJS Kesehatan menggunakan tarif untuk kelas RS yang lebih tinggi.
“Selain itu, database kepesertaan BPJS juga belum optimal, karena masih ada temuan 27,44 juta data peserta bermasalah. Ini sebenarnya adalah masalah lama, tapi belum juga diselesaikan. BPJS seharusnya mempercepat proses ‘data cleansing’ kepesertaan ini,” sambungnya.
Pangkal mula permasalahan defisit BPJS Kesehatan, sambung waketum DPP Partai Gerindra itu, terletak pada anggaran kesehatan Indonesia yang rendah, yaitu hanya sekitar Rp 110 triliun.
Jika dihitung berdasarkan proporsinya terhadap GDP, anggaran kesehatan kita hanya sekitar 2,8 persen dari GDP. Sehingga setiap orang di Indonesia hanya memperoleh pembiayaan kesehatan sebesar 112 dolar AS perkapita.
“Ini jumlah yang kecil sekali,” terangnya.
Bagi Fadli, proporsi anggaran kesehatan terhadap GDP yang ideal adalah sekitar 10 persen.
Jadi, kebijakan menaikkan iuran BPJS hingga lebih dari seratus persen ini menurut saya keliru,” tutup Fadli Zon.@sal