JURNAL3 / JAKARTA – Demokrasi Indonesia mengalami kemunduran. Banyak indikasi yang membuktikan penurunan kualitas demokrasi. Makin meluas berpolitik a’la post truth, politik yang mengedepankan emosi ketimbang rasio, munculnya parpol bergaya firma yang kental nuansa oligarki, hingga demokrasi dibajak para elit yang mengatasnamakan rakyat.
Analisis ini disampaikan Firman Noor. Menurutnya, secara global, kemenangan Brexit di Ingggris dan Donald Trump di AS membuktikan bagaimana menangnya post truth dalam politik. Dimana para politisi berani melakukan apapun termasuk kebohongan untuk memenangkan sebuah kontestasi.
Dalam konteks Indonesia, keterpurukan demokrasi tidak saja dirasakan oleh para akademisi di tanah air. Bahkan, papar Firman, harian ternama di Inggris The Guardian mulai meragukan komitmen Presiden Jokowi dalam menjaga demokrasi. Apa yang disampaikan oleh Guardian tampak seolah mempertanyakan label A New Hope yang pernah diberikan majalah Time kepada Jokowi.
“Secara umum ini bukan hanya fenomena di Indonesia. Economist Intelligence Unit menilai kehidupan demokrasi di dunia mengalami kemunduran. Di Asia Tenggara, peringkat demokrasi Indonesia berada di bawah Malaysia dan Filipina. Hal itu membuktikan demokrasi kita mengalami kemunduran,” jelas pengajar di Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia ini.
Firman lantas mewanti-wanti, bahwa bila situsasi tersebut tidak diperbaiki maka bisa berujung pada kematian demokrasi. Apalagi fungsi parpol sebagai wadah rekrutmen dan kaderisasi pemimpin publik sudah semakin tak menentu.
Tidak sedikit parpol yang hanya jadi tempat bernaung bagi elite tanpa proses regenerasi dan kesungguhan membangun demokrasi internal. Hal ini, lanjutnya, berpotensi melanggengkan oligarki yang menjadi musuh demokrasi.
Lalu apa yang menyebabkan demokrasi itu mati? Firman lantas memaparkan beberapa persoalan mendasar.
Pertama, masyarakat yang tidak peduli politik, dan masih berada dalam garis kemiskinan. Demokrasi dengan situasi ini sangat berbahaya, karena mudah dimanipulasi, dibeli, dan dibajak.
“Kedua kegagalan para elite politik untuk menjelmakan diri sebagai negarawan. Muncul politisi eksklusif, opurtunis dan fakir narasi. Poin ketiga bias media,” paparnya.@rul