Wingitnya Kediri, mulai Jayabaya hingga Jokowi

JURNAL3 – ENTAH siapa yang memulai cerita itu. Di tengah sebagian masyarakat ada semacam kepercayaan bahwa Kediri adalah kota yang harus dijauhi oleh penguasa negeri.

Konon katanya, tiga pemimpin Indonesia, Bung Karno, Pak Harto, dan Gus Dur, terjungkal tak lama setelah mengunjungi Kediri yang berada di Jawa Timur, sekitar 700 kilometer dari Jakarta. Karena kepercayaan akan wingitnya Kediri itu pula, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mewanti-wanti Presiden Joko Widodo agar tak mendatangi Kediri.

Ketika meresmikan rusunawa di Ponpes Lirboyo, Kediri, Sabtu (15/2), Pramono Anung mengatakan, dirinya termasuk yang melarang Jokowi ke Kediri karena Kediri adalah wilayah yang wingit untuk didatangi seorang kepala negara.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata wingit ini bermakna, setidaknya, tiga. Suci, keramat, dan angker. Menurut Pramono Anung yang sebelum menjadi menteri adalah Sekjen PDI Perjuangan, partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri, kejatuhan Gus Dur di tahun 2001 terjadi tak lama setelah Gus Dur yang punya nama lengkap Abdurrahman Wahid dan seorang kiai haji juga pernah memimpin organisasi Muslim terbesar di dunia Nahdlatul Ulama (NU), berkunjung ke Lirboyo. Singkatnya, disimpulkan bahwa Gus Dur kena tulah Kediri.

“Saya masih ingat karena percaya atau tidak percaya, Gus Dur setelah berkunjung ke Lirboyo tidak begitu lama gonjang-ganjing di Jakarta. Kalau Pak Wapres tidak apa-apa,” kata Pramono.

Hadirin yang mendengarkan ucapan Pramono Anung itu dilaporkan tertawa. Pramono Anung tidak datang sendiri. Ia didampingi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menteri Pekerjaan Umum, Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono. Bersama mereka ikut hadir Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, dan Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar.

KH Kafabihi Mahrus yang mewakili pimpinan Pondok Pesantren Lirboyo dalam sambutannya mengucapkan terima kasih dan mengapresiasi pembangunan rusunawa itu. Lalu ia menjelaskan sedikit “rahasia” untuk menawar daya wingit Kediri tadi.

“Kalau ingin aman berkunjung ke sini, sebelumnya ziarah dulu ke makam Syekh Wasil,” ujar KH Kafabihi Mahrus. Juga disambut tawa. Yang dimaksud dengan Syekh Wasil adalah Syekh Al Wasil Syamsuddin atau Mbah Wasil yang pernah bermukim di Kediri.

Beberapa sumber menyebutkan, bahwa Mbah Wasil adalah seorang ulama besar dari jauh. Ada yang menyebut dari Turki, ada yang menyebut dari Persia. Ia datang ke Kediri di abad ke-12 dan menyebarkan ajaran Islam di Kediri. Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa yang lebih dikenal dengan nama Jayabaya yang berkuasa di Kediri antara 1135 sampai 1157 tertarik dengan ajaran agama yang dibawa Mbah Wasil.

Jayabaya mengizinkan Mbah Wasil mengajarkan kitab “Musyarar” yang berisi ilmu pengetahuan khusus seperti perbintangan atau ilmu falak. “Kenapa demikian (harus berziarah ke makam Mbah Wasil)? Karena Mbah Wasil merupakan penyebar agama Islam jauh sebelum para wali,” jelas KH Kafabihi Mahrus lagi.

Jatuh Bangun di Kediri Kerajaan Kediri, biasa juga ditulis Kadiri, punya nama lain, yakni Panjalu, dan biasa pula ditulis Pangjalu. Kerajaan dengan ibukota Dahanapura yang sering disingkat Daha ini berdiri pada tahun 1042, dan runtuh di tahun 1222.

Raja pertamanya adalah Sri Samarawijaya, sementara raja terakhirnya adalah Kertajaya yang berkuasa dari 1194 sampai 1222. Kata Dahanapura yang berarti Kota Api terdapat dalam prasasti Pamwatan yang ditulis di era Airlangga di tahun 1042.

Di tahun itu Airlangga membelah dua kerajaannya. Pangjalu diberikan kepada putranya yang bernama Sri Samarawijaya. Satu bagian lagi diserahkan kepada Mapanji Garasakan. Bagian yang ini dikenal sebagai Jenggala dengan ibukotanya di Kahuripan.

Dalam kitab “Decawarnana” yang ditulis Mpu Prapanca di tahun 1365 dan lebih dikenal sebagai kitab “Nagarakretagama” disebutkan bahwa sebelum dibelah menjadi dua, kerajaan yang dipimpin Airlangga itu sudah bernama Panjalu dengan Daha sebagai ibukotanya. Dari sudut pandang ini, Jenggala adalah pecahan dari Panjalu, Pangjalu, atau Kadiri.

Dalam catatan-catatan lain disebutkan pula bahwa nama Kediri atau Kadiri berasal dari kata khadri dalam bahasa Sansekerta yang berarti pohon pace atau pohon mengkudu yang dalam ilmu botani modern mendapatkan nama Latin, Morinda citrifolia. Sepeninggal Raja Airlangga, hubungan dua kerajaan yang semestinya bersaudara tadi, Panjalu (Kadiri) dan Janggala, kerap diwarnai konflik dan saling serang. Untuk waktu yang cukup lama, tak banyak yang terdengar dari Kadiri, sampai Jayabaya berkuasa dan dianggap membawa era keemasan.

Kronik Tiongkok berjudul “Ling Wai Tai Ta” karya Chou Kufei yang ditulis tahun 1178 mengatakan, di masa Jayabaya itu Panjalu atau Kadiri adalah negara yang paling makmur di Pulau Jawa. Sedemikian makmurnya, Kadiri disebutkan bersaing dengan Sriwijaya di Sumatera, Arab, dan Tiongkok.

Jayabaya digambarkan sebagai raja yang bijaksana. Ia terbuka pada ilmu dan pengetahuan. Ia terbuka pada segala pemikiran. Ia haus akan kemajuan. Berbagai keberhasilan era Jayabaya dapat dibaca antara lain dalam Prasasti Hantang yang ditulis tahun 1135, Prasasti Talan (1136), juga Prasasti Jepun (1144), serta “Kakawin Bharatayuddha” yang ditulis 1157. “Babad Tanah Jawi” dan “Serat Aji Pamasa” disebutkan juga menceritakan kisah Jayabaya.

Jayabaya juga berhasil menundukkan Jenggala dan menyatukan kembali Kediri yang dibangun leluhurnya. Sedemikian hebatnya dia. Raja dengan kemampuan yang paripurna. Tidak aneh, bila raja yang hebat ini mempersilakan ulama Islam seperti Mbah Wasil menetap dan mengajarkan ajaran itu kepada rakyat Kediri. Kehancuran Kediri terjadi di era Raja Kertajaya.

Tidak seperti Jayabaya yang mahsyur sebagai raja diraja bijaksana dan bersahabat dengan kaum ulama, Kertajaya justru bersikap bermusuhan dengan kaum ulama, atau brahmana, pada masa itu, di tahun 1222. Sedemikian berat beban kaum brahmana dalam menghadapi Kertajaya. Mereka disingkirkan, mereka dipersekusi. Di ujung putus asa, kaum brahmana meminta bantuan penguasa baru di Tumapel, Ken Arok, yang terkenal sebagai politisi ambisius. Ken Arok tidak puas hanya merebut Tumapel dan Ken Dedes dari tangan Tunggul Ametung. Ia punya mimpi yang jauh lebih besar.

Yakni menaklukkan Kediri dan mendirikan kerajaan sendiri. Maka permintaan bantuan dari kaum brahmana yang dipersekusi itu bagaikan restu bagi Ken Arok untuk memperluas kekuasaan. Singkat cerita, penguasa Tumapel ini berhasil menggulingkan Kertajaya dan menaklukkan Kediri. Kini Ken Arok dan Tumapel berkuasa atas Kediri. Dimulailah era Singosari. Ken Arok tidak menghabisi semua keturunan Kertajaya. Ia memberi kesempatan kepada yang menurutnya tidak berbahaya. Salah seorang anak Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat Ken Arok sebagai pemimpin di Kediri.

Di tahun 1258 Jayasabha digantikan oleh anaknya, Sastrajaya, dan selanjutnya di tahun 1271 giliran Sastrajaya digantikan oleh anaknya Jayakatwang yang menjadi bupati di Gelanggelang. Jayakatwang tumbuh dalam dendam kesumat. Di tahun 1292, ketika merasa saatnya tiba, ia melakukan pemberontakan. Membalaskan dendam leluhurnya. Ia membunuh Raja Kertanegara yang adalah keturunan Ken Dedes dari perkawinan dengan Tunggul Ametung penguasa Tumapel yang dikalahkan Ken Arok di masa lalu. Selanjutnya, Jayakatwang memindahkan pusat kerajaan dari Malang ke Kediri.

Menghabisi Kertanegara nyatanya tidak membuat Jayakatwang hidup tenang dan rasa aman. Masih ada api dalam sekam. Namanya Raden Wijaya. Saat itu masih muda. Seperti Kertanegara, Raden Wijaya juga keturunan Ken Dedes. Bedanya, ia adalah keturunan Ken Dedes dari perkawinan dengan Ken Arok.

Raden Wijaya inilah yang setahun setelah kehancuran Singosari membalaskan dendam Kertanegara. Ia memanfaatkan kehadiran pasukan Tiongkok yang dikirim Kublai Khan untuk menghukum “Raja Jawa” yang beberapa tahun sebelumnya melakukan penghinaan teramat sangat pada Tiongkok. Kublai Khan adalah cucu dari raja diraja Mongol, Jenghis Khan. Sebagai pangeran Mongol, ekspansionisme sudah menjadi salah satu sifat dasarnya. Di tahun 1289 Kublai Khan mengirimkan utusan ke Singosari.

Melalui Meng Qi sang utusan, Kublai Khan meminta Kertanegara membayar upeti tanda takluk pada Tiongkok. Tentu Kertanegara menolak permintaan itu. Ia memotong telinga Meng Qi dan menyuruhnya kembali ke Tiongkok. Tindakan yang sungguh berani. Marah atas penolakan itu, di tahun 1293 Kublai Khan mengirimkan bala tentara dalam jumlah yang sedemikia besar. Disebutkan antara 20 ribu hingga 30 ribu tentara. Mereka hanya tahu satu hal: menghukum Raja Jawa.

Mereka tak punya informasi bahwa yang disebut dengan Raja Jawa itu sudah orang yang lain lagi: Jayakatwang yang berkuasa di Kediri. Raden Wijaya menyambut kehadiran sebagian dari pasukan Dinasti Yuan itu di tempat persembunyiannya, sebuah wilayah kecil yang bernama Majapahit. Ia dan sahabatnya, Arya Wiraraja dari Sumenep, membantu tentara Tiongkok menyusun rencana menangkap Jayakatwang. Operasi penggulingan Jayakatwang berhasil. Ia konon ditawan lantas dibunuh di atas kapal Tiongkok. Tak diketahui pasti apa yang kemudian terjadi dengan jasadnya. Tak pernah ada catatan mengenai dimana kuburannya. Bala tentara Tiongkok bergembira.

Raja Jawa yang menghina tahta Negeri Tengah telah dihabisi. Penguasa baru di Jawa telah memperlihatkan tanda-tanda kesetiaan pada Kublai Khan. Dalam riwayat yang populer disebutkan, bala tentara Tiongkok ini merayakan kemenangan dengan pesta pora yang sedemikian rupa sehingga membuat mereka tidak menyadari rencana lain yang dimiliki Raden Wijaya dan Arya Wiraraja. Konon disebutkan, dalam sekali gebrak, pasukan koalisi Raden Wijaya dan Arya Wiraraja mampu membantai pasukan Dinasti Yuan yang sedang mabuk arak. Mereka yang selamat lari tunggang langgang, naik ke kapal-kapal mereka yang parkir di daerah Tuban dan kembali ke Tiongkok.

Sampai di Beijing mereka menemukan kenyataan baru: Kublai Khan wafat di bulan Februari 1293. Akibatnya, untuk sementara mimpi menaklukkan Pulau Jawa pun dihentikan. Sementara itu, setelah berhasil mengusir pasukan Tiongkok, Raden Wijaya naik tahta sebagai Raja Majapahit di bulan November 1293. Pusat kekuasaannya di sekitar Mojokerto kini. Adapun Arya Wiraraja mendapatkan Madura dan hidup berdampingan dalam damai dengan Majapahit untuk waktu yang cukup lama.

Berbagai catatan menggambarkan Mapahit berkembang sebagai sebuah negeri yang gemilang. Berkuasa hingga ke negeri Campa dan negeri-negeri lain di sekitarnya. Di era Jayanagara yang berkuasa dari tahun 1309 sampai 1328, pusat Kerajaan Majapahit dipindahkan ke Trowulan. Lalu di era Brawijaya III, di paruh kedua abad ke-15 pusat Kerajaan Majapahit dipindahkan ke Kediri. Tetapi memasuki abad ke-16 pengaruh Majapahit semakin berkurang. Raden Patah yang merupakan anak dari raja terakhir Majapahit, Brawijaya V, dengan putri Campa, Siu Ban Ci, telah muncul sebagai penguasa Jawa yang baru. Ia memimpin negeri di pesisir utara Laut Jawa, Demak.

Sejarawan Slamet Muljana dalam salah satu karyanya, menggambarkan episode ini sebagai peralihan dari akhir era kerajaan Hindu Jawa dan awal era kerajaan Islam Nusantara. “Politik Klenik” Masa Kini Rasanya sulit mencapai titik akhir ketika membahas kisah lahir dan mati kerajaan-kerajaan yang pernah ada di negeri ini. Satu per satu kerajaan itu lahir, mencatat kegemilangan, rusak oleh pertikaian dan peperangan, lalu mati dan digantikan dengan kerajaan yang baru, yang elitnya seringkali adalah keturunan dari elit di era kerajaan sebelumnya.

Apakah kisah kejatuhan demi kejatuhan rezim ini yang membuat kota Kediri jadi dianggap angker bagi penguasa? Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan, adalah yang pertama kali bereaksi mendengar alasan Pramono Anung meminta Jokowi tidak datang ke Kediri.

Syahganda Nainggolan dan Pramono Anung sama-sama alumni Institut Teknologi Bandung (ITB). “System thinking dan konsep teknologi menempatkan fakta sebagai basis analisis. Aneh sekali kalau Pramono Anung, tokoh alumni ITB, percaya klenik dan tahayul,” protes Syahganda Nainggolan.

“Kecuali dia (Pramono Anung) ingin memberitahu kita bahwa Jokowi saat ini lemah,” sambungnya.

Protes juga disampaikan Adhie Massardi. Adhie yang sampai kini masih dikenal sebagai juru bicara Gus Dur, mengatakan, kejatuhan Gus Dur di tahun 2001 tidak ada kaitannya dengan kunjungan ke Lirboyo, Kediri. Gus Dur jatuh, sebutnya, sebagai resultan dari konflik kepentingan politik dengan wakil presiden kala itu, Megawati Soekarnoputri yang sampai kini adalah Ketua Umum PDIP. Bukan karena dipotong oleh Poros Tengah yang dikomandoi Amien Rais?

“Bukan,” jawab Adhie.

Poros Tengah yang awalnya mendukung Gus Dur sejatinya adalah pemandu sorak dalam fragmen politik 1999-2001. Jika PDIP yang berkuasa di DPR ketika itu tidak setuju Sidang Istimewa MPR untuk menjatuhkan Gus Dur, maka tidak akan ada apa yang oleh Adhie Massardi disebut sebagai tragedi politik.

Tetapi sejarah sudah menuliskan: PDIP mendorong Sidang Istimewa MPR karena menyadari bahwa Megawati akan mendapatkan manfaat terbesar. Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief juga punya pandangan menarik. Dia yakin, Pramono Anung menyadari bahwa tidak ada hubungan antara Kediri dengan kejatuhan sebuah rezim di negeri ini.

Andi Arief menilai, Pramono Anung Sedang mengirimkan sebuah pesan penting bahwa kekuasaan Presiden Jokowi sedang dalam berbagai tekanan yang tidak mudah. Soal “klenik politik” Kediri, Andi Arief mengatakan itu omong kosong. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berkuasa setelah menang dalam Pilpres 2004 dan Pilpres 2009 pernah dua kali berkunjung ke kota itu.

Kunjungan pertama di tahun 2007, dan kunjungan kedua di tahun 2014. SBY tidak jatuh karena mengunjungi Kediri. Kekuasaannya berakhir dengan baik.@wan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 5 seconds