Jurnal3.net/ SURABAYA – Di Indonesia, pemanfaatan limbah fly ash dan bottom ash (FABA), gypsum, dan kapur yang merupakan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) belum semasif negara lain.
Menyoroti hal tersebut, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) bekerja sama dengan Pupuk Indonesia Holding melakukan forum group discussion (FGD) secara daring. Kamis (25/11) melalui via zoom meeting.
Atong Soekirman, Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator bidang Perekonomian ini menyentil terkait keputusan mengeluarkan FABA dari daftar limbah B3 untuk pembangkit listrik. Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021.
Atong mengungkapkan, dengan dikeluarkannya status FABA sebagai limbah B3 berpotensi meningkatkan ekonomi. Misalnya, Perusahaan Listrik Negara (PLN) dapat menghemat Rp 2,7 triliun per tahun untuk penanganan FABA.
“Nantinya, energi yang digunakan untuk input industri ini akan semakin terjangkau. Jika tidak dibenahi sedemikian akan menghambat atau menurunkan daya saing,”jelasnya.
Lanjut Atong, potensi limbah FABA yang dihasilkan oleh pembangkit listrik sama persis dengan nonpembangkit listrik. Kendati demikian, limbah FABA untuk industri nonpembangkit listrik masih berstatus sebagai B3.
Untuk itu, masih menjadi pekerjaan rumah dan diskusi lebih lanjut agar industri nonpembangkit listrik juga tidak terbebani oleh biaya pengelolaan FABA.
“Ini saya sampaikan karena cost yang ditanggung pelaku usaha atau industri pasti akan mempengaruhi industri lainnya,” ungkap Atong.(Dayat)