Nominasi Nobel Sastra: Diplomasi Budaya Ala Denny JA

Oleh : Nia Samsihono

Ada yang unik dari berita yang viral di akhir Desember 2021: berita nominasi nobel sastra untuk Denny JA. Yang unik bisa dikatakan nominasi nobel sastra itu adalah hasil diplomasi budaya. Tepatnya, diplomasi budaya ala Denny JA.

Pastilah berita sebesar dan seheboh nominasi sastra untuk Denny JA disambut oleh pro dan kontra komunitas sastra Indonesia.

Namun banyak argumen yang kontra itu salah arah. Mereka melupakan satu fakta penting bahwa bukan Denny JA yang mencalonkan diri untuk nobel sastra. Bukan juga sekelompok orang atau individu yang mengambil inisiatif mencalonkan Denny JA.

Fakta yang istimewa adalah The Swedish Academy, panitia nobel itu yang mengirimkan undangan kepada komunitas puisi esai untuk mencalonkan sastrawan Indonesia. Komunitas puisi esai hanya merespon undangan itu dengan mencalonkan Denny JA.

Pertanyaannya, dan ini yang menjadi inti tulisan ini: mengapa The Swedish Academy, panitia nobel, melirik komunitas puisi esai untuk mencalonkan? Tak terdengar ada komunitas sastra lain di Indonesia yang juga diundang.

Jawabnya adalah ini buah paling manis dari diplomasi budaya ala Denny JA.

Komunitas sastra atau genre sastra dapat tumbuh secara natural. Melalui waktu yang panjang, terjadi proses saling menularkan gagasan, juga terjadi proses modifikasi dan seleksi.

Akibatnya sebuah komunitas atau genre sastra meluas, melalui waktu, menjangkau banyak orang. Demikianlah proses umum lahirnya banyak genre dan komunitas sastra yang terjadi secara alamiah.

Tapi komunitas dan genre puisi esai tumbuh dengan cara berbeda. Ini yang penulis sebut sebagai diplomasi ala Denny JA.

Dalam pertumbuhan puisi esai ada sentuhan marketing modern. Ada sentuhan dana yang besar. Ada sentuhan mobilisasi. Ada sentuhan pengorganisasian. Inilah proses pertumbuhan ala Denny JA, yang sudah malang melintang menjadi konsultan politik.

Di era media sosial, diplomasi budaya ala Denny JA ini menemukan momentumnya. Hampir setiap hari Denny JA menerbitkan tulisannya, ataupun tulisan yang membahas kiprahnya di media sosial. Publikasi karya itu juga dilakukan di puluhan WA grup yang Denny menjadi anggota.

Di era zoom meeting, webinar, Denny pun membuat aneka video opini. Tapi jika video opini itu berhenti di webinar, paling banyak hanya 50-100 orang yang menonton.

Denny kembali mempublikasi video opini itu melalui aneka media sosial lain dan jaringan WA grup. Akibatnya video opini itu mampu menjangkau dan ditonton puluhan ribu orang.

Tak berhenti di sana. Denny pun menerjemahkan lebih dari seratus karyanya dalam bentuk buku, video opini, film, video animasi ke dalam bahasa Inggris.

Ia bersama timnya membuat web puisi esai. Dalam web itu, ratusan buku puisi esai karya komunitas dan dirinya dipublikasi. Penduduk dunia di belahan manapun dapat menikmati karya Denny JA dalam bahasa Inggris melalui web itu secara gratis.

Dan hasilnya disamping kontroversial, juga menakjubkan. Ia kontroversial karena dalam diplomasi budaya ala Denny JA terasa kuat unsur self marketingnya.

Tapi ia juga menakjubkan, karena ujung dari diplomasi budaya ala Denny JA ini mendapatkan perhatian The Swedish Academy untuk mengundang komunitas puisi esai mencalonkan sastrawan Indonesia. Denny pun mendapatkan penghargaan sastra dari dalam dan luar negeri.

Kita semua tahu kiprah Denny JA di dunia sastra melahirkan pro dan kontra.

Di satu sisi, ia selalu dipandang negatif oleh sebagian masyarakat sastra Indonesia. Setiap nama Denny JA muncul selalu ada perlawanan, ada kata-kata sinis, serta hujatan-hujatan atau sindiran-sindiran yang mencemooh kehadirannya.

Kultur self marketing, mobilisasi dan pengorganisasian tak sepenuhnya diterima oleh mereka yang masih hidup dalam kultur lama.

Tapi juga ada pendukung fanatik yang menyatakan, langkah Denny JA sungguh tak biasa. Ini langkah brilian di era media sosial.

Ini era dimana begitu banyak tersedia informasi. Ini periode zaman dimana individu harus berebut perhatian. Era ini melahirkan kultur selfi. Era ini juga melahirkan pilihan self marketing.

Jika bukan diri kita sendiri yang mengambil inisiatif untuk memasarkan karya kita sendiri, lalu siapa yang bisa diharap memasarkan karya kita? Dalam evolusi marketing modern, self marketing adalah pilihan yang nyata.

Denny JA seorang risk taker, pengambil resiko. Ia berani mengambil pilihan self marketing itu.

Yang penting dalam self- marketing itu ada keyakinan bahwa kita sedang mempopulerkan karya atau genre yang punya nilai inovasi. Ada produk budaya yang memiliki nilai pencerahan.

Hanya self marketing yang diimbangi oleh memarketingkan karya inovatif dan pencerahan, self marketing itu menjadi positif. Cara ini membuat sebuah program budaya dapat menyebar meluas secara lebih efektif dan efisien.

Disamping pemasaran produk budaya itu massif, sistematis dan terstruktur, produk budaya itu itu sendiri haruslah kuat dan punya unsur yang baru. Hanya kombinasi ini yang bisa menjadi investasi kultural.

Yang pro Denny JA acapkali berargumen. Bukankah ada hak bagi Denny JA sebagai anggota masyarakat Indonesia untuk melakukan sesuatu bagi dirinya dan bangsa Indonesia? Apalagi ia mempunya dana dan tak ada pelanggaran hukum dalam menumbuhkan program budayanya.

Ia juga berhak berkarya seperti manusia lainnya di Indonesia. Apalagi bukan uang pemerintah yang ia gunakan, tapi uang pribadinya.

Sebagian pendukung Denny JA juga menyatakan, bahwa mereka menghujat Denny JA mungkin belum kenal secara dekat dan belum mengetahui karya-karya atau buku yang telah dibuatnya.

Denny JA dengan uangnya menggerakkan para penulis untuk mengisahkan kehidupan yang ada di sekitarnya menjadi sebuah karya yang dapat dibaca oleh seluruh masyarakat.

Apa salah jika ia memakai uangnya untuk tujuan yang positif? Ada sekitar 170-an tulisan telah dibukukan yang menggambarkan kondisi masyarakat di 34 provinsi di Indonesia yang dikemas dan diarahkan oleh Denny JA menjadi genre baru di dunia sastra, yaitu puisi esai.

Kita akan mengetahui kehidupan masyarakat di Kalimantan Selatan tentang perkebunan atau kehidupan suku Dayak yang semakin terganggu oleh karena kegiatan pertambangan di wilayahnya.

Berbagai kisah kehidupan itu dari berbagai daerah di Indonesia dialihwahanakan ke dalam film dan diterjemahkan ke dalam bahasa asing hingga dibaca masyarakat di luar Indonesia. Itu yang dikerjakan oleh Denny JA untuk bangsa Indonesia.
Dari buku-buku tersebut, kiprah Denny JA terbaca oleh dunia dan menarik perhatian Panitia Nobel, The Swedish Academy (The Nobel Commite) yang secara resmi mengundang perwakilan Komunitas Puisi Esai Indonesia untuk menominasikan sastrawan Indonesia.

Tepat kiranya jika Denny JA mewakili Komunitas Puisi Esai Indonesia untuk dinominasikan dalam Penghargaan Nobel.

Ketika diplomasi budaya dilakukan oleh Denny JA dengan menerjemahkan seluruh karyanya dalam bahasa Inggris, saat itulah terbaca oleh orang asing tentang Indonesia.

Walau itu dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai langkah kecil yang dilakukan oleh Denny JA, tetapi bermakna bagi bangsa Indonesia.

Pendukung Denny JA menyatakan: seharusnya masyarakat merespons positif pada apa yang telah dilakukan Denny JA.

Karya Denny JA telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Lebih dari 100 karya Denny JA, baik dalam bentuk buku, atau pun film dan video sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau diberi subtitle bahasa Inggris.

Masyarakat dunia dapat membaca karya puisi esai karena disiarkan dalam bentuk digital di media internet. Karya sastra dalam bahasa Inggris merupakan dasar dalam diplomasi sastra era global.

Karya puisi esai dari berbagai daerah menyuarakan batin masyarakat Indonesia yang menampilkan berbagai-bagai budaya, suku bangsa, dan agama.

Meminjam kata-kata Hudan Hidayat, bahwa Denny JA membawa pembaruan visi sastra. Ini soal besarnya gagasan Denny atau imajinasinya. Ia tokoh yang visioner.

Denny JA adalah sebuah sistem bersastra baru dengan perangkat infrastrukturnya yang juga baru.

Puja-puji dan kecaman yang berkembang, pada akhirnya justru menguntungkan Denny JA. Diplomasi ala Denny JA ini membawa kontroversi yang justru membuat Denny JA semakin mendapatkan panggung.

Pro dan kontra ini justru menjadi bukti bahwa karya-karya Denny JA layak diperhitungkan dan memiliki pengaruh luas, terlepas ada rekayasa dan teknik marketingnya.
Ada hal yang diperhitungkan oleh Panitia Nobel tahun 2022 pada Denny JA, antara lain kekuatannya mendirikan Komunitas Puisi Esai dan kreativitasnya mengembangkan Puisi Esai sebagai genre baru dalam karya sastra hingga ke negeri tetangga Malaysia dan ASEAN.

Dengan tekun ia mengembangkan Puisi Esai ke bentuk baru (film dan video) dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris.

Jika tidak mendapatkan hadiah Nobel pun, Denny JA akan tercatat sebagai sastrawan Indonesia setelah Pramoedya Ananta Toer yang pernah secara resmi dicalonkan mendapat penghargaan Nobel dengan cara diundang sendiri oleh The Swedish Academy. (*)

*Penulis adalah Sastrawan, anggota Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Dosen Universitas Nasional, Jakarta, Ahli Bahasa Bareskrim Mabes Polri Jakarta, dan Ahli Bahasa di kegiatan persidangan DPR dan MPR.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 5 seconds