Kemendagri Soroti IKN dalam Perspektif Hukum Tata Negara

Jurnal3.net, Surabaya – Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Plt. Sekjen Kemendagri) Suhajar Diantoro yang diwakili Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah (SUPD) II Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri Iwan Kurniawan menyampaikan urgensi pemindahan Ibu Kota Negara (IKN). Ia juga menyoroti bagaimana Undang-Undang IKN sejalan dengan perspektif Hukum Tata Negara.

“Pemindahan Ibukota ini urgensinya adalah 57% Penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa, kontribusi ekonomi Pulau Jawa 59.0% di Pulau Jawa, krisis ketersediaan air di Pulau Jawa, terutama di DKI Jakarta dan Jawa Timur, kemudian yang terakhir adalah konversi lahan terbesar ada di Pulau Jawa, oleh karena itu pemindahan Ibukota merupakan solusi konkret untuk mengatasi permasalahan tersebut,” ujar Iwan dalam Webinar yang digelar Bidang Studi Hukum Tata Negara dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FH UI) dengan tema “Membedah Konstitusionalitas UU Ibu Kota Negara”, Jumat (28/1/2022).

Terkait regulasi, kata Iwan, untuk Peraturan di IKN ini tengah menunggu penandatanganan oleh Presiden, sebagai bentuk Regulasi tentang IKN.

“Kemendagri mendukung terhadap kebijakan pemindahan Ibukota dan Beberapa kebijakan dalam peraturan perundang-undangan ini serta terkait dengan tugas dan fungsi kemendagri, kemendagri siap untuk berkolaborasi dan siap melaksanakan mandat untuk menjalankan regulasi regulasi yang sesuai dengan tugas kami, melakukan Fasilitasi, Penyusunan, Perumusan, serta kebijakan,” ujarnya, dalam keterangan tertulis.

Dengan adanya Undang-Undang IKN ini, masih dikatakan Iwan, menjadi pondasi dan menjadi salah satu kekuatan hukum untuk pemindahan IKN.

“Kemendagri mendukung penyiapan regulasi-regulasi yang dengan dukungan terhadap Undang-Undang IKN ini,” imbuhnya.

Ditambahkan dia, Kemendagri juga berkolaborasi kepada daerah-daerah yang tentunya sangat erat kaitannya dengan Ibukota Negara, daerah-daerah penyangga tentunya harus menyesuaikan rancangan dan program serta target yang mana harus sejalan dengan Undang-Undang IKN ini dengan Ibukota.

Terpisah, Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Fitra Arsil, mengatakan pemindahan Ibu Kota Negara tak semata berimplikasi pada keuangan tetapi juga hukum. Pemindahan akan menimbulkan beban biaya yang tidak sedikit, tetapi juga berdampak pada hukum ketatanegaraan.

“Dalam konstitusi, setidaknya ada dua pasal yang menyinggung Ibukota negara. Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibukota negara. Lalu, ada Pasal 23G ayat (1) yang menegaskan BPK berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Ketentuan senada ditemukan dalam beberapa Undang-Undang, yang mengharuskan lembaga tertentu berkedudukan di Ibu Kota Negara,” kata Fitra.

Fitra mengingatkan perpindahan Ibu Kota Negara berarti lembaga-lembaga negara harus tunduk pada UUD 1945 dan Undang-Undang. Itu berarti MPR harus bersidang di ibukota baru, demikian pula kantor pusat BPK harus berpindah.

“Jika DPR dan DPD tetap berada di Jakarta dan hanya saat sidang MPR berangkat ke Ibukota negara baru, beban biaya yang harus ditanggung sangat besar. Apalagi jika Rapat Dengar Pendapat (RDP) Menteri kabinet digelar di Jakarta, sedangkan Presiden dan Menterinya berkantor di Ibu Kota Negara yang baru,” pungkasnya. (dayat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 5 seconds