WAHID WAHYUDI, Pj Sekdaprov Jatim, sepertinya sedang mencoba “menembak” sekelompok orang melalui hasil laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI soal Kelebihan Bayar Rp 40,9 miliar pada pekerjaan tahun 2020 di proyek dana hibah lampu Penerangan Jalan Umum (PJU) tenaga surya di Kabupaten Lamongan. Lalu siapa yang sebenarnya sedang dibidik oleh Wahid?
Terencana, masif dan ter-organisir. Mungkin ungkapan itu pas untuk melukiskan betapa luar biasanya praktik dugaan penyelewengan dana hibah PJU yang menyasar ratusan Kelompok Masyarakat (Pokmas) di beberapa Kabupaten di Jawa Timur.
Dari penelusuran dan informasi yang diperoleh Jurnal3, disinyalir kuat bahwa proyek pengadaan ratusan unit PJU yang didanai lewat dana hibah Provinsi Jatim ini sudah di-skenario sejak awal, yakni mulai dari perencanaan, proposal, realisasi hingga pelaporannya.
Dengan kata lain, sebenarnya duit Rp 75 miliar diduga memang sudah disiapkan secara khusus untuk proyek Penerangan Jalan Umum (PJU) tenaga surya yang akan dicairkan melalui program dana hibah.
Idealnya, Pokmas mengajukan proposal dana hibah ke Gubernur, lalu Gubernur akan memberikan disposisi ke OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait. Lalu dinas terkait melakukan pemeriksaan kelengkapan administrasi. Jika diterima dan proposalnya memenuhi syarat maka akan ditentukan pagu anggarannya.
Tapi fakta berbicara lain. Semua alur ideal di atas diduga ditunganggi modus oleh sekelompok “tangan -tangan gelap” untuk memperkaya diri dengan memanfaatkan program dana hibah.
Begitu dana Rp 75 miliar sudah disiapkan, pihak perencana memberitahu sejumlah broker di tiap Kabupaten untuk membentuk tim khusus (koordinar kecamatan) guna merealisasikan proposal yang sudah disiapkan itu dengan cara membentuk Pokmas di beberapa desa untuk proyek PJU tenaga surya.
Hal itu tampak dari format proposal yang memiliki kesamaan antar satu Pokmas dengan Pokmas lainnya. Ini menandakan proposal itu sudah dibuat sebelumnya dan pihak Pokmas hanya disodori untuk tanda tangan sesuai nama Pokmas yang sudah dibentuk.
Hal itu diperkuat penjelasan dari Ketua lembaga Center For Islam and Democracy Studie’s (CIDe’) Ahmad Annur, yang mengatakan, beberapa Ketua Pokmas tidak pernah membuat proposal. Mereka cuma disuruh tanda tangan oleh koordinator lapangan tingkat kecamatan.
“Bahkan ada proposal tahun 2018 yang lolos di tingkat propinsi sampai terjadi pencairan dana hibah. Ini kan luar biasa,” ungkap Annur.
Dari Rp 75 miliar dana hibah yang disiapkan untuk proyek PJU di Jawa Timur, terbanyak senilai Rp 40,9 miliar dialokasikan di Kabupaten Lamongan dengan membentuk 247 Pokmas yang tersebar di berbagai desa di beberapa kecamatan di Kabupaten Lamongan. Selanjutnya ada juga di Kabupaten Gresik dan beberapa daerah lainnya.
Dari salinan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK-RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Jatim untuk tahun anggaran 2020, yang diperoleh Jurnal3, diketahui “kelebihan bayar” (yang ditilep) atas dana hibah per-Pokmas nilainya fantastis.
Sebagai contoh, hanya dari satu Pokmas yang dikucuri dana hibah Rp. 400 juta dengan pengajuan 10 unit PJU, kelompok “tangan-tangan gelap” ini dengan mudah bisa mengeruk Rp.226.700.000. Seperti dialami Pokmas CYR asal desa Sumberbanjar, Kecamatan Blukuk, Lamongan (lihat tabel di bawah, red).
Sedang dari Pokmas lain yang dikucuri dana Rp. 200 juta untuk pengajuan 5 unit PJU, mereka bisa mengeruk Rp. 113.350.000. Ini dialami oleh Pokmas FAS asal desa Brengkrok, Kecamatan Brondong, Lamongan (lihat tabel di bawah, red).
Dari LHP BPK-RI atas LKPD Provinsi Jatim untuk tahun anggaran 2020, bisa ditemukan hitung-hitungan sebagai berikut;
Untuk Pokmas dengan anggaran Rp. 400 juta dengan pengajuan 10 unit PJU, maka seharusnya per unit PJU nilainya Rp. 40 juta. Tapi dari LHP BPK-RI, ditemukan selisih Rp. 22.670.000/unit. Jadi, ditemukan kalau harga asli adalah Rp.17.330.000/unit. Jika dikalikan 10 unit (Rp. 226.670.00 x 10), maka diketahui Rp. 226.700.000. Ini adalah dana yang berhasil “ditilep” dari satu Pokmas saja.
Sedang untuk Pokmas dengan anggaran Rp. 200 juta untuk pengajuan 5 unit PJU, seharusnya harga per unit Rp. 40 juta. Namun dari temuan dari LHP BPK-RI, ada selisih Rp. 22.670.000/unit. Jadi, ditemukan kalau harga asli adalah Rp.17.330.000/unit. Jika dikalikan 5 unit (Rp. 226.670.00 x 5), maka diketahui Rp. 113.350.000 yang “ditilep” dari satu Pokmas.
Mathur Khusairi, anggota DPRD Jatim, mendesak aparat hukum untuk mengusut tuntas dugaan penyelewengan dana hibah PJU ini. Ia mengatakan, seharusnya BPK-RI bisa langsung melempar kasus ini ke Aparat Penegak Hukum (APH).
“Ini sudah bukan ranah Inspektorat Jatim lagi. Kan sudah melewati 60 hari dari LHP BPK-RI. Mestinya bisa langsung ke aparat hukum. Kasihan Pokmas, yang tidak tahu apa-apa dan jadi korban,” ujar Mathur.
Sementara Amar Syaifudin, anggota DPRD Jatim, mengatakan BPK-RI sudah merekomendasikan ke Dinas Perhubungan (Dishub) Jatim selaku OPD terkait agar “kelebihan bayar” sebesar Rp 40,9 miliar segera dikembalikan ke kas daerah atau ke Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Jatim.
“Tapi sampai Laporan Pertanggung-jawaban Gubernur Jatim selesai, itu belum juga dikembalikan,” ujar Amar.
Tentu saja susah dikembalikan ke kas daerah atau BPKAD, karena para “tangan-tangan gelap” yang diduga menyelewengkan anggaran dana hibah ini disinyalir cuma meminjam-pakai OPD terkait sebagai sarana untuk bisa meloloskan proyek sekaligus pencairan dananya.
Lalu seperti apa modus dari kelompok “tangan-tangan gelap” ini sampai bisa menilep puluhan miliar yang diduga dari dana hibah PJU?
*(rizalhasan/bersambung ke Part-2)