jurnal3 / SURABAYA – Dugaan mark up Rp.40,9 miliar proyek dana hibah pengadaan Lampu Penerangan Jalan Umum (LPJU) di Jawa Timur, menguak fakta baru.
LSM Jaka Jatim menduga selain Dinas Perhubungan Jatim, pihak Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Jatim juga punya peranan penting dalam pusaran dana hibah LPJU ini.
Dugaan itu muncul usai audiensi tatap muka antara LSM Jaka Jatim dan Dinas Perhubungan Jatim yang dipimpin Sekretaris, Luhur Pribadi Eka, pada Jumat (25/02/2022) lalu.
Dalam audiensi itu terungkap kalau sumber dana hibah uang ini berasal dari Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) BPKAD Jatim.
Kepada Jurnal3, Selasa (01/03/2022), Musfiqul Khair, aktivis Jaka Jatim mengungkapkan, kalau di dalam sesi tanya jawab, Kasi Lalu Lintas Dishub Jatim, Kristiono (Tyo), mengungkapkan, kalau sumber dana hibah uang ini berasal dari Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Jatim, tanggal 30 Desember 2019.
Kemudian Dishub Jatim selaku Kuasa Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) diberikan kuasa oleh BPKAD Jatim untuk proses verifikasi dan NPHD.
Anggaran DPA di BPKAD Jatim totalnya mencapai Rp. 58.750.000.000 dari APBD murni dengan 187 Kelompok Masyarakat (Pokmas). Lalu, di P-APBD sebesar Rp. 15.534.000.000 dengan 76 Pokmas.
“Ini adalah anggarannya BPKAD berupa hibah uang untuk pengadaan LPJU untuk wilayah Jawa Timur,” ujar Musfig
Dari penjelasan Tyo itu diketahui bahwa secara ideal, Pokmas mengajukan proposal secara tertulis ke Gubernur Jatim yang dalamnya berisi maksud dan tujuan, rencana anggaran dan lain sebagainya.
Usai dari Gubernur, selanjutnya masuk ke Sekdaprov Jatim (saat itu Heru Tjahjono di tahun 2019, Red), lalu disposisi ke Asisten Daerah kemudian turun ke Dishub Jatim.
Dalam diskusi itu, Dishub Jatim secara gamblang mengungkapkan bahwa BPKAD adalah pihak yang mentransfer uang hibah kepada ratusan Kelompok Masyarakat (Pokmas) di Lamongan, Gresik dan wilayah Jatim lainnya melalui rekening di Bank Jatim.
Dijelaskan juga, posisi Dishub Jatim ini bukan sebagai pembina, tapi hanya sebagai pembantu bendahara dan secara teknis hanya sebagai verifikator.
Pihak Dishub Jatim mengaku cuma menjadi verifikator saja dan sama sekali tidak pernah memegang uang hibah.
“Menurut Dishub, tidak ada aliran dana di instansi mereka,” ujar Musfig
Dishub baru melaksanakan program dana hibah atas Pokmas pada 2020. Padahal, pada September 2019, Bidang Pengendalian Transportasi dan Multi Moda (PTMM) menerima disposisi sebanyak 210 proposal pengajuan LPJU Sekretariat Daerah Propinsi Jatim.
Oleh PTMM dievaluasi, dari 210, yang memenuhi syarat 190 proposal. Dari Sekda nanti, sesuai Pergub akan dibahas oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang diketuai Sekdaprov dengan anggota Bappeda, BPKAD dan Biro Hukum. Dari 190 yang proposalnya dinyatakan sesuai, DPA-nya keluar untuk 187 Pokmas.
Awalnya, surat disposisi dari Sekretariat Daerah Propinsi Jatim itu ditujukan kepada Dinas Pekerjaan Umum (PU) dan Dishub Jatim.
Dari proposal pengajuan hibah LPJU itu, Dinas PU dan Dishub Jatim selaku Kuasa Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah (PPKD) diminta oleh BPKAD untuk melakukan verifikasi atas ratusan proposal Pokmas tersebut.
Prakteknya, ternyata verifikasi proposal pengajuan hibah uang LJPU dilakukan oleh Dishub Jatim.
Padahal, di Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)-RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Jatim TA 2020, disebutkan karena verifikasi proposal tidak memenuhi standar, tindakan Dishub Jatim menjadi salah satu penyebab terjadinya dugaan mark-up sebesar Rp. 40,9 miliar.
“Ada kesan Dishub gak mau disalahkan. Sepertinya mau cuci tangan. Tapi ini menarik, karena Dishub akhirnya mau buka-bukaan soal apa yang sebenarnya terjadi di dalam internal mereka,” lanjut Musfiq.
Menurut Musfig, di persoalan dana hibah LPJU ini, Dishub Jatim menyebut mereka hanya sebagai kuasa perbendaharaan, yakni sebagai verifikator untuk memverifikasi dokumen pengajuan dan melakukan NPHD dari semua pokmas.
Sedangkan pihak yang menentukan masuk dan tidak ke DPA LPJU tahun anggaran 2020 salah satunya adalah BPKAD Jatim.
“Keterlibatan BPKAD ini perlu dijadikan praduga adanya dugaan skenario LPJU sebagai alat mengkorupsi uang negara,” ujar Musfiq.
Untuk diketahui, BPK-RI menemukan tidak terdapat evaluasi atas Rencana Anggaran Biaya (RAB) proposal.
Hasil pemeriksaan kepada bendahara, verifikator dan pelaksana pada Dinas Perhubungan Jatim, diketahui pada saat verifikasi tidak dilakukan evaluasi dan survei atas kewajaran harga dan kebutuhan barang pada pekerjaan yang telah dicantumkan dalam RAB di proposal pengajuan bantuan.
LHP BPK-RI menyebut, Dishub Jatim tidak melakukan identifikasi kewajaran harga atas jenis-jenis barang yang berlaku saat itu.
Dishub hanya memverifikasi ada tidaknya dokumen RAB pada proposal saja. Jika proposal tidak ada RAB, maka dinyatakan tidak memenuhi syarat administrasi.
Dishub tidak melakukan verifikasi teknis serta kewajaran nilai pada RAB yang dilampirkan di proposal.
Karena tidak ada verifikasi dan identifikasi kewajaran harga, maka di LHP BPK-RI muncul laporan soal kelebihan bayar senilai Rp 40,9 miliar, yang diduga merupakan dana yang “di-mark up”.
Dugaan adanya “mark-up” itu bisa diurai melalui perhitungan sebagai berikut;
Untuk Pokmas dengan anggaran Rp. 400 juta dengan pengajuan 10 unit PJU, maka seharusnya per unit PJU nilainya Rp. 40 juta. Tapi dari LHP BPK-RI, ditemukan selisih Rp. 22.670.000/unit. Jadi, ditemukan kalau harga asli adalah Rp.17.330.000/unit. Jika dikalikan 10 unit (Rp. 226.670.00 x 10), maka diketahui Rp. 226.700.000. Ini adalah dana yang diduga berhasil di-“mark-up” dari satu Pokmas saja.
Sedang untuk Pokmas dengan anggaran Rp. 200 juta untuk pengajuan 5 unit PJU, seharusnya harga per unit Rp. 40 juta. Namun dari temuan dari LHP BPK-RI, ada selisih Rp. 22.670.000/unit. Jadi, ditemukan kalau harga asli adalah Rp.17.330.000/unit. Jika dikalikan 5 unit (Rp. 226.670.00 x 5), maka diketahui Rp. 113.350.000 yang diduga di-“mark-up” dari satu Pokmas. /*rizalhasan