Kejaksaan Mandul Ungkap Dalang Utama Skandal Mark-up Hibah LPJU Jatim?

JURNAL3.NET / SURABAYA –  Janji Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur untuk menetapkan tersangka dalam kasus dugaan ‘mark up’ penyelewengan dana hibah pengadaan Lampu Penerangan Jalan Umum (LPJU) senilai Rp. 40,9 miliar, hingga kini belum terealisasi.

Apa kendala yang dihadapi Kejati Jatim? Mengapa butuh waktu lama untuk menetapkan tersangka.

Padahal, LHP BPK-RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Jatim TA 2020, mengindikasikan secara tegas dugaan adanya aktivitas “mark-up” besar-besaran” yang diduga dilakukan secara terencana, massif dan terorganisir.

Dari laporan LHP BPK ini, mudah diketahui jika hanya orang yang memiliki kekuasaan besar dan jabatan tinggi yang mampu melakukan perencanaan secara sistematis, masif dan terorganisir. Lalu, siapakah sebenarnya dalang utamanya?

Asal tahu, bukan Pokmas yang disinyalir punya ide dan gagasan dibalik pengajuan bantuan hibah LPJU.

Dari LHP BPK-RI, diketahui bahwa Pokmas sengaja dibentuk dalam rangka pengajuan dana hibah itu. Dengan kata lain, anggaran, perencanaan program dan proposal sudah siap lebih dulu, baru Pokmas dibentuk (baca: berburu proposal, red).

Musfiqul Khair, aktivis Jaka Jatim, kepada Jurnal3, Rabu (31/08/2022) mengungkapkan, dalam aksi terakhir menuntut penuntasan kasus dugaan mark up dan penyelewengan dana hibah pengadaan Lampu Penerangan Jalan Umum (LPJU) beberapa bulan lalu, pihak Kejati Jatim berjanji akan ada tersangka.

“Kita sudah tindaklanjuti dengan audiensi. Tapi dari Kejati Jatim bisa dipastikan ada tersangka,” ujar Musfiq, tanpa bisa menyebut kapan waktunya.

Hal senada juga diungkapkan anggota DPRD Jatim, Mathur Khusairi, yang menyebut kinerja Kejaksaan Negeri Lamongan terkesan lambat dan mandul.

“Saya curiga ini ada permainan untuk mengamankan orang-orang besar dan mengorbankan rakyat kecil (Ketua pokmas), koordinator dan penyedia barang,” tegasnya.

Seharusnya, lanjut Mathur,  Kepala Kejaksaan Lamongan jeli dan teliti menangani dan mengembangkan kasus ini. Menurutnya, sudah jelas ada konspirasi dalam penyusunan anggaran APBD Jatim dengan dalih hibah untuk mengeruk keuntungan pribadi.

“Harusnya Kejari Lamongan itu periksa pimpinan Banggar dan tim Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD)  Provinsi Jawa Timur. Masa urusan penyelidikan dan penyidikan kemana dan siapa harus kita ajari,” sindirnya.

Lalu, darimana dugaan “mark-up” itu akhirnya bisa terungkap? Adalah  kesaksian para ahli yang memiliki sertifikat keahlian dan terdaftar pada Himpunan Ahli Elektro Indonesia (HAEI).

Dari pemeriksaan di sejumlah lokasi LJPU, ditemukan banyak ketidakcocokkan spesifikasi lampu yang dicantumkan di Rancangan Anggaran Belanja (RAB) dan lampu yang terpasang di sejumlah lokasi.

Data yang diperoleh Jurnal3, dari RAB proposal yang diajukan, disebutkan pengadaan LED Lamp yang memiliki kemampuan minimal 30 Lux dengan area iluminasi 15 meter.

Tapi hasil cek di lokasi, lampu yang terpasang cuma memiliki kemampuan 20-25 Lux dari jarak 7 meter vertikal dari lampu ke permukaan tanah dan memiliki kemampuan 10-12 Lux dari jarak 15 meter.

Lalu dari pengajuan RAB lainnya disebutkan pengadaan soal kapasitas Battery Litium Ion Polymer sebesar 30 Ah dengan daya 12 VDC.

Tapi hasil pemeriksaan di lapangan diketahui kalau kapasitas battery yang terpasang hanya 18 Ah dengan daya 25,6 VDC.

Kemudian dari RAB yang lainnya dicantumkan pengadaan daya Lighting Controller/Solar Charge Controller adalah 15A.

Namun lagi-lagi, setelah dilakukan pengecekan di lokasi, ditemukan kalau daya Lighting Controller/Solar Charge Controller cuma 0,50A-3A (50-3000mA).

Dari sinilah dugaan “mark-up” besar-besaran itu berawal. Dimulai dari RAB yang diusulkan lewat proposal sebesar Rp.40 juta per titik lampu.  Namun, dari hasil penelitian Tenaga Ahli berdasarkan hasil cek lapangan, diketahui kalau harga wajar yang berlaku untuk barang-barang dimaksud di atas adalah Rp.13.300.000 per titik lampu.

Sementara, total jumlah lampu yang diajukan oleh 247 Pokmas mencapai 1.805 unit LPJU yang disuplai oleh PT. S*T* yang beralamat di Siwalankerto, Kecamatan Wonocolo, Surabaya.

Dalam RAB, disebut ada biaya ongkos untuk pemasangan, ongkos setting lampu, ongkos angkut workshop ke lokasi, biaya cor besi, ongkos galian tanah, ongkos urugan pasir dan bekesting pondasi (lihat tabel bawah, red).

Faktanya, lampu dan tiang cuma dikirim ke lokasi pekerjaan lalu dilakukan pemasangan oleh Pokmas sendiri. Lampu lebih dulu dirangkai dengan tiang lalu dipasang berdiri pada pondasi.

Tidak ada penyetelan/setting, karena lampu yang tiba di lokasi mudah dipasang dan mudah digunakan. Juga tidak ada biaya dan pembayaran yang diterima Pokmas atau pemasangan lampu.

Karena Pokmas cuma diberi dana Rp. 1.500.000 per titik lampu (dikalikan jumlah titik sesuai pengajuan, red), hanya untuk pembuatan pondasi saja. Itupun dilakukan secara gotong royong dengan melibatkan warga setempat.

Dari fakta-fakta di atas, makin jelaslah bahwa ada unsur dugaan kesengajaan untuk PEMAHALAN (baca: mark-up) dari pengadaan harga LPJU.

Dari uraian fakta temuan tersebut munculah selisih nilai Rp.22.670.000 (Rp.40.000.000 – Rp.17.330.000) per titik lampu.

Sedang jumlah total bantuan hibah lampu yang diusulkan mencapai 1.805 unit. Sehingga, selisih total PEMAHALAN harga lampu adalah Rp.40.919.350.000 (Rp. 22.670.000 x 1.805 unit).

Ini semua berawal dari pengajuan proposal oleh Pokmas usai mendapat info dari koordinator Pokmas adanya perencanaan pengadaan lampu jalan dalam bentuk bantuan di wilayah konstituen.

Para Koordinator lalu membentuk Pokmas dan menyusun proposal untuk pengajuan bantuan. Dari LHP BPK-RI, diketahui bahwa info soal bantuan lampu jalan ini disampaikan saat pelaksanaan reses anggota DPRD Jatim Dapil Lamongan dan Gresik.

Pokmas LPJU itu dibentuk dalam dua gelombang, yakni antara bulan Juni hingga Juli 2019 untuk usulan pada APBD 2020. Selanjutnya pada Januari hingga Februari 2020, untuk usulan pada P-APBD 2020.

Data yang diperoleh Jurnal3, menunjukkan, dugaan Pokmas di-setting sebagai “alat pencair” dana hibah diketahui dari kesamaan format proposal yang diajukan oleh 247 Pokmas.

Kesamaan ratusan proposal itu terdiri dari 9 poin, yakni a).Latar Belakang; b).Permasalahan; c). Maksud dan Tujuan; d). Sasaran; (e). Pelaksana; f).Tempat Kegiatan; g). Waktu Pelaksanaan; h).Pembiayaan; dan i). Penutup.

Semua pembuatan hingga pengajuan proposal Pokmas ini dikoordinir oleh Koordinator Kecamatan.

Selain format dan isi uraian yang sama, juga terdapat kesalahan penulisan yang sama pula. Ini menunjukkan semua proposal tersebut disinyalir dibuat secara massal dengan cara copy paste.

Yang membedakan antar proposal itu hanya penyebutan nama Pokmas masing-masing dan selanjutnya secara kolektif diserahkan (diajukan) ke Pemprov Jatim.

Benarkah semua ini by design? Jika bukan, selain adanya pembuatan proposal yang dikoordinir, bagaimana bisa ratusan Pokmas itu secara bersamaan mempercayakan pengadaan LPJU kepada PT. S*T* yang berdomisili di Surabaya?

Jika merujuk LHP BPK-RI atas LKPD Provinsi Jatim TA 2020, pengadaan LPJU senilai total Rp. 75.314.000.000, sejak awal sudah mengarah ke dugaan itu. /*Rizal Hasan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 5 seconds