JURNAL3.NET / JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyerahkan rekomendasi penyelidikan kasus Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J kepada Menko Polhukam, Senin (12/09/2022).
“Sebagaimana kami sampaikan tempo hari laporan ini adalah laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dalam beberapa isu tertentu, kami memang meminta bantuan pada Komnas Perempuan untuk memperkuat laporan kami,” ujar Ahmad Taufan Damanik Ketua Komnas HAM di kantor Menko Polhukam, Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Dalam penyelidikannya, kata Taufan, Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi Extrajudicial Killing (pembunuhan di luar hukum) yang dilakukan Ferdy Sambo (FS) mantan Kadiv Propam Polri terhadap Brigadir Yosua.
“Kami tentu akan menyampaikan secara umum laporan kami, yang pertama, dari seluruh penelusuran investigasi, pengumpulan fakta, data, dan permintaan keterangan yang sudah kami lakukan beberapa waktu terakhir, kami berkesimpulan bahwa telah terjadi Extrajudicial Killing yang dilakukan oleh dalam hal ini saudara FS terhadap almarhum Brigadir Yosua,” jelasnya.
Kesimpulan yang kedua, lanjut dia, Komnas HAM meyakini telah terjadi Obstruction of Justice (penghalangan keadilan) dalam pembunuhan Brigadir Yosua.
“Dan yang kedua, kesimpulan kami yang sangat yakin adalah telah terjadi sistematik apa yang disebut obstruction of Justice yang sekarang juga sedang ditangani oleh penyidik maupun tim khusus Mabes Polri,” kata Taufan.
Dari dua kesimpulan pokok itu, menurut Taufan, Komnas HAM mempercayai pengenaan pasal 340 yang dilakukan oleh penyidik itu dikunci oleh dua kesimpulan ini.
“Artinya, terduga yang sebentar lagi mungkin akan maju ke pengadilan, kami berharap melalui prinsip-prinsip fair trial, majelis hakim bisa memberikan hukuman yang seberat-beratnya atau setimpal kepada apa yang dilakukan suatu tindak pidana itu,” tegasnya.
Selanjutnya, Komnas HAM memberikan 5 (lima) rekomendasi kepada pemerintah Republik Indonesia atau Presiden, masing-masing yang pertama, Komnas HAM meminta untuk melakukan pengawasan atau audit kinerja dan kultur kerja di Kepolisian Republik Indonesia untuk memastikan tidak terjadinya penyiksaan, kekerasan atau pelanggaran hak asasi manusia
“Ini tidak semata-mata berangkat dari kasus Brigadir Yosua, tetapi juga dari data-data pengaduan atau kasus-kasus yang kami tangani selama ini terutama dalam 5 tahun periode dibawah kepemimpinan kami,” ungkap Taufan.
Kedua, Komnas HAM meminta kepada presiden untuk memerintahkan Kapolri untuk menyusun suatu mekanisme pencegahan dan pengawasan berkala terkait penanganan kasus kekerasan penyiksaan atau pelanggaran HAM lainnya yang dilakukan oleh anggota Polri.
“Seperti yang sekarang kita alami bahkan anggota Polri dan pejabat tingginya yang melakukan penyiksaan, maka perlu mekanisme pencegahan dan pengawasan berkala,” kata dia.
Yang ketiga, Komnas HAM minta Presiden melakukan pengawasan bersama dengan Komnas HAM terhadap berbagai kasus-kasus kekerasan penyiksaan atau pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang dilakukan oleh anggota Polri.
“Jadi perlu ada mekanisme bersama antara pihak polisi dengan Komnas HAM,” ujarnya.
Keempat, Komnas HAM minta Presiden mempercepat proses pembentukan direktorat pelayanan perempuan dan anak di Polri.
Dan yang terakhir atau kelima, Komnas HAM minta Presiden memastikan infrastruktur untuk pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), termasuk kesiapan kelembagaan dan ketersediaan peraturan pelaksanaannya.
“Kita tahu, ini undang-undang baru yang diputuskan pada tahun ini masih membutuhkan tahapan-tahapan infrastrukturnya karena itu kami berharap pemerintah Indonesia memastikan punya kesiapan infrastruktur dan aturan pelaksanaan undang-undang TPKS yang merupakan perjuangan dari begitu banyak aktivis hak asasi manusia terutama aktivis perempuan,” jelas dia.
Sementara, Mahfud MD Menko Polhukam menjelaskan, laporan Komnas HAM dan di dalamnya termasuk Komnas Perempuan ini adalah laporan yang tidak Pro Yustisia. Oleh sebab itu, laporan ini akan disampaikan kepada pihak kepolisian yang mendalami kasus pembunuhan Brigadir Yosua.
“Memang betul kalau dari laporan ini juga memang sudah jelas perencanaan pembunuhan, pasal 340 dan 338 KUHP.
Soal motif itu tidak harus ada, tapi juga boleh ada juga. Kadangkala hakim pengen tahu juga karena motif itu apakah pelakunya ini orang sehat atau gila, sehingga dicari motifnya. Kalau sudah tidak gila ya cukup, tapi apakah emosional atau terencana dan seterusnya itu terserah polisi. Kita serahkan ke polisi yang mengolah itu. Dan polisi kan tahu, mana yang harus didalami dan yang tidak. Saya juga sudah berkoordinasi dengan polisi tentang ini semua,” kata Mahfud.
Kemudian langkah-langkah perbaikan yang disampaikan oleh Komnas HAM, Mahfud mengaku sudah berkoordinasi dengan Kapolri.
“Kapolri juga sudah melakukan langkah-langkah awal untuk menghentikan segala sesuatu yang tidak tepat tidak boleh terjadi di Polri, dan kemudian itu akan dilembagakan. Pencegahan itu akan dibuat dalam sebuah mekanisme yang normal di dalam peraturan-peraturan dan kebijakan kepolisian,” pungkas Mahfud./ *Riris Hikari