JURNAL3.NET / SURABAYA – Dugaan adanya kebocoran dana hibah yang dialokasikan Pemprov Jatim sebesar Rp 7,8 triliun mendekati kebenaran dengan tertangkapnya Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Tua Simanjuntak.
Dugaan itu diungkapkan sejumlah pejabat di lingkungan Pemprov Jatim.
Kepada Jurnal3, Senin (19/12/2022), diungkapkan bahwa sudah jadi “rahasia umum” jika dana hibah yang dimainkan itu diketahui dengan baik oleh pihak legislatif maupun eksekutif.
Apalagi praktik itu sudah berlangsung untuk APBD Tahun Anggaran 2021 dan 2022.
Karena itu, agak mengherankan jika Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa tidak tahu atau setidaknya mendapat laporan soal kebocoran dana hibah tersebut.
Bahkan, rumornya, dana hibah juga digunakan sebagai “apel Washington” untuk memuluskan APBD di kalangan legislatif agar tidak terganjal oleh kritikan para wakil rakyat.
Yang menjadi perhatian kini, sosok AF dan kabarnya orang ini memegang sejumlah data-data vital soal aliran dana.
Termasuk dugaan keterlibatan OPD-OPD yang diduga membantu atau ikut memuluskan praktik jual-beli proyek melalui dana hibah tersebut.
Hal itu senada dengan pernyataan Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak yang menerangkan peran para tersangka lain yakni Kepala Desa Jelgung, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang sekaligus koordinator Kelompok Masyarakat (Pokmas), Abdul Hamid (AH); Staf Ahli Sahat, Rusdi (RS); dan koordinator lapangan Pokmas, Ilham Wahyudi (IW) alias Eeng.
“Untuk tahun anggaran (TA) 2020 dan 2021 dalam APBD Pemprov Jatim merealisasikan dana belanja hibah dengan jumlah seluruhnya sekitar Rp 7,8 triliun kepada badan, lembaga, Ormas yang ada di Pemprov Jatim,” kata Tanak.
Distribusi hibah Pemprov Jatim Rp 7,8 triliun antara lain melalui Pokmas untuk proyek infrastuktur hingga tingkat perdesaan.
Terungkap, bahwa pengusulan dana belanja hibah tersebut merupakan penyampaian aspirasi dari usulan para anggota DPRD Jatim, termasuk tersangka Sahat Tua Simanjuntak.
Ada Sistem Fee atau Ijon
Sahat Tua Simanjuntak yang menjabat sebagai anggota sekaligus Wakil Ketua DPRD Jatim periode 2019-2024, diketahui menawarkan diri untuk membantu dan memperlancar pengusulan pemberian dana hibah dengan adanya kesempakatan pemberian sejumlah uang sebagai uang muka (fee) atau ijon.
“Adapun yang bersedia menerima tawaran tersebut yaitu AH. Dugaan adanya kesepakatan antara STS dengan AH setelah adanya pembayaran komitmen fee ijon, maka STS juga mendapatkan bagian 20% dari nilai penyaluran dana hibah sedabgkan AH mendapatkan bagian 10%,” jelas Tanak.
Besaran nilai dana hibah yang diterima Pokmas yang penyalurannya difasilitasi Sahat dan dikoordinir AH di 2021 disalurkan Rp 40 miliar dan di 2022 kembali disalurkan Rp 40 miliar.
Agar alokasi dana hibah untuk 2023 dan 2024 bisa diperoleh lagi, AH kembali menghubungi Sahat dengan bersepakat untuk menyerahkan uang sebagai ijon sebesar Rp 2 miliar.
AH memberikan Rp 1 miliar lewat IW pada Sahat, Selasa, 13 Desember 2022 yang diterima orang kepercayaannya, RS di salah satu pusat perbelanjaan di Surabaya.
Sedangkan Rp 1 miliar sisanya dijanjikan AH akan diberikan pada Jumat, 16 Desember 2022 namun keburu ditangkap KPK.
“Diduga pengurusan alokasi hibah untuk Pokmas, STS telah menerima uang sekitar 5 miliar,” ucap Johanis.
Terpisah, Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Karyoto menambahkan, pengembangan dari kasus dugaan suap dana hibah APBD Jatim ini menguak fakta adanya dana yang digelontorkan mencapai Rp 7,8 triliun mulai APBD Jatim TA 2020 untuk badan, lembaga, Ormas yang ada di Jatim.
“Kalau kita ambil 20% untuk fee sistem ijon, kemudian 10% itu jatah kepala Pokmasnya, tentunya kualitas dari uang itu turunnya tinggal 70%,” kata Karyoto./*Rizal Hasan-Riris Hikari