JURNAL3.NET / SURABAYA – Penggeledahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kantor Biro Kesra Sekretariat Daerah (Setda) Pemprov Jatim lantai 5, di Jl, Pahlawan Surabaya, Jumat (16/8/2024) lalu, disinyalir untuk mencari bukti “Dana Siluman” sebesar Rp. 1.720.170.367.500 yang statusnya tercatat sebagai dana TIDAK TERMONITOR dalam Hibah Pokir DPRD Jatim tahun 2020.
Ada dugaan, dana dengan nomimal fantastis itu sengaja “disusupkan” ke Dana Hibah Pokir DPRD Jatim untuk tujuan tertentu.
Dana itu diduga ikut digunakan dalam praktik penyelewengan dana hibah yang melibatkan terpidana Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Tua Simanjuntak dan 21 tersangka baru KPK lainnya.
Untuk diketahui, dana sebesar Rp. 1.720.170.367.500 itu statusnya berada di luar anggaran dana hibah DPRD Jatim Tahun Anggaran 2020 yang nilainya mencapai Rp. 2 Triliun.
Penggeledahan KPK di Biro Kesra Pemprov Jatim itu diduga untuk mencari bukti-bukti penggunaan dana tersebut yang diduga dilebur seolah-olah menjadi bagian dari dana hibah pokir yang datanya ada di kantor Biro Kesra.
Dokumen yang diperoleh Jurnal3, selain dugaan dana Hibah Gubernur (HG) senilai Rp. 1.720.170.367.500 TA 2020 yang diduga dilebur ke hibah pokir, pada Tahun Anggaran 2021 juga ditemukan “dana siluman” sejenis yang juga disusupkan ke hibah pokir lagi.
Koordinator Jaringan Kawal Jawa Timur (Jaka Jatim) Musfiq, Spd kepada Jurnal3, Minggu (18/8/2024) menyebut, dana itu diduga adalah “bentuk suap” kepada kelompok tertentu di DPRD Jatim.
Menurut Musfiq, tidak ditemukan alasan khusus memasukkan dana sebesar itu ke Hibah Pokir DPRD Jatim, karena Hibah Pokir sudah ada alokasi dana sendiri.
“Kita semua tahu, kuota dana hibah pokir TA 2020 DPRD Jatim sebesar Rp 2 triliun. Lalu ada catatan dana lain masuk sebesar Rp 1,7 triliun lebih. Ini dana apa, peruntukkannya untuk apa? Kami menduga ini adalah bentuk suap untuk loloskan kesepakatan tertentu di dewan. Bisa jadi untuk meloloskan APBD saat itu,” tegas Musfiq.
Menurut Musfiq, sinyalemen soal dana tidak termonitor ini sudah terungkap dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya.
“Dugaan kami itu adalah Hibah Gubernur yang merupakan Hibah non pokir. Sekarang tugas KPK untuk membuka dan memperjelas ke publik. Ini duit negara nggak bisa seenaknya Gubernur gunakan itu untuk kepentingannya,” desak Musfiq.
Terpisah, anggota Badan Anggaran DPRD Jatim, Mathur Khusyairi, kepada Jurnal3, juga menduga bahwa dana Rp. 1.720.170.367.500 itu adalah Hibah Gubernur.
Karena sudah jelas, kuota dana hibah pokir yang menjadi jatah untuk konstituen para anggota DPRD Jatim sudah dipatok sesuai dengan ketentuan.
“Ya iyalah,” tegas politisi Partai Bulan Bintang itu,
Yang menarik, meski menjabat sebagai anggota dewan dan anggota Banggar DPRD Jatim, Mathur mengaku tidak tahu dana sebesar itu peruntukkannya untuk apa.
“Untuk siapa ya,” ujarnya.
Seperti diketahui, penggeledahan KPK di kantor Biro Kesra Pemprov Jatim, Jumat lalu itu diduga untuk mencari alat bukti terkait penggunaan “Dana Siluman” Tahun Anggaran (TA) 2020 senilai Rp. 1.720.170.367.500.
Dana ini diduga ikut digunakan (dimasukkan) dalam pelaksanaan dugaan penyelewengan dana hibah pada tahun 2020 yang kini menjadi atensi KPK di Jawa Timur.
Untuk informasi, dana sebesar Rp. 1.720.170.367.500 tersebut statusnya berada di luar anggaran Dana Hibah Pokir milik DPRD Jatim TA 2020 yang nilainya mencapai Rp. 2 Triliun.
Data dokumen yang dimiliki Jurnal3, memperlihatkan dana sebesar Rp. 1.720.170.367.500 itu tercatat sebagai dana TIDAK TERMONITOR.
KPK terus melakukan pendalaman dan mengumpulkan bukti-bukti baru terkait dugaan penyelewengan Dana Hibah dari APBD Jawa Timur untuk Tahun Anggaran 2019-2022, dengan melakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan serta memeriksa puluhan saksi termasuk penyitaan sejumlah dokumen penting.
Selain Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Tua Simanjuntak yang sudah berstatus terpidana, KPK juga sudah menambah 21 orang tersangka baru hasil dari sejumlah penyelidikan dan penyidikan.
Sebelumnya diberitakan, Dr Basa Alim Tualeka, pengamat kebijakan publik kepada Jurnal3, Minggu (18/8/2024), menegaskan, dalam dugaan penyelewengan dana hibah pokir, Gubernur Jatim bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum karena Gubernur adalah pembuat kebijakan dan penanggung jawab utama atas pelaksanaan anggaran.
“Ini didasarkan pada asas vicarious liability, dimana pemimpin dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan bawahan yang berada di bawah kendalinya, terutama jika kebijakan itu mengakibatkan kerugian negara,” ujar Alim.
Menurut Alim, dalam kasus dana hibah pokir ini, anggota dewan hanya sebatas sebagai aspirator. Semua permohonan dan pencairan dana hibah secara administrasi dilakukan dan ditujukan kepada Gubernur, yang juga bertindak selaku verifikator.
Gubernur harus bisa memastikan kebijakan dana hibah disusun dengan tepat, mencakup kriteria penerima, alokasi anggaran dan tujuan yang ingin dicapai.
Gubernur itu, kata Alim, bertanggung jawab memastikan setiap rupiah dari dana hibah digunakan untuk kepentingan publik sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, serta mencegah terjadinya penyalahgunaan dana.
“Gubernur dan Wakil Gubernur itu dipilih oleh rakyat dan tanggung jawabnya ke rakyat. Kalau kepala dinas atau kepala OPD itu yang milih Gubernur dan mereka bertanggung jawabnya ke Gubernur bukan ke rakyat. Jadi, dengan kasus dana hibah ini, maka wajib Gubernur dan Wakil Gubernur meminta maaf ke publik secara terbuka, meminta maaf kepada rakyat yang memilihnya,” tegas Alim./* Rizal Hasan – Alvin Pras