DIBENTUK pada hari Jumat, 11 Februari 1972 silam di Jakarta, keberadaan REI memang dimaksudkan untuk menghimpun dan mempersatukan seluruh potensi pengembang properti nasional tanpa memandang mereka berasal dari pengembang besar, menengah maupun kecil.
Hingga kini, semangat kebersamaan, saling membantu dan berkolaborasi itu terus ditumbuhkan dan dilestarikan di internal organisasi REI.
Karena itu, di usia organisasi ke-51 tahun ini, Ketua DPD REI Jawa Timur, Soesilo Efendy mengaku memiliki cita-cita dan keinginan yang salah satunya bisa melayani seluruh anggota.
“Jumlah kita mencapai 540-an anggota di seluruh Jawa Timur. Kita ingin sekali bisa menambah anggota supaya makin banyak dan makin berkualitas,” tandas Soesilo.
Diungkapkannya, keanggotaan DPD REI Jatim saat ini paling banyak dibanding DPD-DPD REI di seluruh Indonesia. Dengan bergabung di REI, pengembang makin tahu soal aturan dan perubahan yang berkaitan dengan properti.
“Kalau di pusat, setiap ada perubahan aturan atau hal-hal baru terkait perizinan, yang selalu di-update awal adalah REI. Karena kita organisasi paling tua daripada organisasi serupa yang lain,” ungkap Soesilo.
Cita-cita lain DPD REI Jatim yang belum terwujud di usai ke-51 tahun ini adalah, ingin memiliki gedung komisariat permanen di 9 kabupaten/kota di Jawa Timur.
“Memang sudah ada komisariat yang sudah punya kantor sendiri (permanen). Tapi ada yang belum. Jadi masih numpang di rumah ketua kabupaten/kota masing-masing. Jadi kalau ketuanya ganti, yo kantore melok pindah,” ujar Soesilo, sembari tertawa.
Keinginan memiliki komisariat permanen di daerah adalah suara dan harapan dari seluruh anggota untuk memiliki kantor sendiri supaya REI itu memiliki wibawa di daerah.
Ke-9 komisariat di wilayah Jawa Timur itu diantaranya Banyuwangi, Jember, Sidoarjo, Gresik, Madura, Malang, Jombang, Kediri dan Madiun.
Yang sudah memiliki komisariat permanen baru Malang dan Jember. Sementara Sidoarjo sudah punya, namun statusnya masih sewa (kontrak).
“REI ini kan kumpulan pengembang yang profesional dan bonafide. Lha nek ditakoni kantore ning ndi, lha yo iku,” lanjut Soesilo.
Menurut Soesilo, hingga 51 tahun ini, tidak semua lapisan masyarakat tahu apa dan fungsi serta dimana keberadaan REI. Buktinya, diberbagai acara masih saja ada pihak yang salah menyebut REI dengan sebutan RII.
“Kita memang banyak anggotanya, besar organisasinya. Tapi apakah masyarakat semua tahu tentang REI? Belum tentu juga. Dan kita berharap, jangan kalau ada masalah dengan pengembang yang merupakan anggota, baru lapor, baru masyarakat tahu apa itu REI,” lanjut Soesilo.
Diungkapkan Soesilo, salah satu cita-cita terbesar REI Jawa Timur yang masih diperjuangkan hingga saat ini adalah sebanyak mungkin menyediakan rumah subsidi bagi masyarakat, apalagi permintaannya sangat tinggi.
Kendala terbesar REI untuk memenuhi permintaan tinggi rumah subsidi adalah ketersediaan lahan. Apalagi harga rumah subsidi sudah dipatok oleh pemerintah sekitar Rp. 150.500.000 (untuk wilayah Jawa Timur).
Soesilo mencontohkan, di Sidoarjo dan Surabaya, permintaan atas rumah subsidi luar biasa tinggi. Tapi kendala pengembang adalah harga tanah di dua daerah ini sudah sangat mahal jika dibanding harga jual rumah subsidi dan minimnya ketersediaan lahan.
Menurutnya, salah satu solusi saat ini adalah menggunakan tanah-tanah milik pemerintah daerah yang memungkinkan untuk dikerjasamakan. Apalagi semua daerah kini sudah memiliki peta tata ruang wilayah sendiri.
“Tidak semua masyarakat kita ini mampu di level tinggi. Banyak yang masih memiliki kemampuan di rumah subsidi. Itu yang ingin kita layani. Mudah-mudahan di usia REI ke-51 tahun ini, akan ditemukan banyak terobosan dan kemudahan agar keinginan kami ini bisa terwujud,” pungkas Soesilo. /*Advertorial – (3-habis)
“Selamat Ulang Tahun Real Estate Indonesia (REI) – 51 Tahun Membangun Negeri”