UU Pemda sangat jelas, tidak dibutuhkan multitafsir

Pengaktifan kembali terdakwa Ahok sebagai Gubernur DKI membuat Jaksa Agung dan Mendagri sibuk mencari pembenaran./*ist

JURNAL3 | JAKARTA – Basuki Tjahaja Purnama (Aho) harus segera diberhentikan sebagai Gubernur DKI Jakarta terkait status Terdakwa kasus penistaan agama yang saat ini disandangnya. Mendagri Tjahjo Kumolo dan Presiden Jokowi berpotensi melanggar UU Pemerintah Daerah.

Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Kebijakan Publik, Faisal, menegaskan pasal 83 ayat (1) UU Pemda sudah sangat jelas mengatur kepala daerah yang terdakwa harus nonaktif.

“Bukankah Pasal 83 (1) itu tidak sedikit pun membuka ruang perdebatan tafsir bahkan pasal tersebut harus dimaknai demi kebaikan para pihak, baik itu pihak terdakwa agar lebih fokus jalani proses hukumnya serta pihak pemerintah DKI tidak menjadi terhambat dalam pengambilan kebijakan karena terhalang faktor status hukum Gubernurnya,” jelas Faisal, Selasa (14/02/2017).

Dalam memaknai Pasal 83 ayat (1), Mendagri menunggu sampai tuntutan resmi jaksa penuntut di persidangan. Kalau tuntutannya lima tahun, baru akan diberhentikan sementara.

Faisal menjelaskan alasan yang dilontarkan Mendagri tersebut sama sekali tidak memperhatikan prinsip obyektivitas dan prinsip tidak berpihak dalam menegakkan hukum dan UU.

“Jelas subyektif Mendagri jika dalam memaknai Pasal 83 (1) harus menunggu tuntutan jaksa. Padahal obyektifitas yang dianut pada Pasal 83 (1) berhenti pada dakwaan awal yang diancam pada Pasal 156a KUHP yaitu lima tahun. Mutlak alasan Mendagri tadi tidak sama sekali mewakili prinsip obyektifitas,” jelasnya.

“Kemudian, sebagai Mendagri, tentu dalam mengambil keputusan yang dilihat adalah tujuan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bukan malah cenderung memihak,” sambung Faisal.

Keuntungan memberhentikan terdakwa sementara, dia menambahkan, membuat Pemerintahan DKI Jakarta tidak akan terbebani dengan status hukum Ahok sebagai Terdakwa.

“Sudah tentu akan menjauhi resiko. Kok ini justru mendekati resiko bahkan cenderung memihak,” tegasnya.

Karena itu, dia mengingatkan, jika masih bangga menggunakan istilah reformasi dalam berhukum, sudah tentu kedaulatan terhadap hukum mutlak harus diberikan.

“Janganlah kuasa politik menjadi pemasung dan di ujung sana hukum menjadi tidak berdaulat,” tanasnya.

Sebelumnya Faisal menjelaskan, keputusan Mendagri yang tidak menonaktifkan Ahok mempertegas bahwa dalam kasus penistaan agama hukum tidak berdaulat.

“Sedari awal wajah hukum sudah tidak begitu berdaulat di depan rentetan panjang peristiwa hukum yang menimpa ahok. Dalam konteks ini tidaklah perlu kaget berlebihan karena lemahnya kedaulatan hukum tampil dengan wajah yang memucat tak perlu tafsir untuk melihat dan merasakan itu semua,” ungkapnya.

Ahok baru ditetapkan sebagai tersangka pada 16 November 2016 terkait pidato yang disampaikan di Kepulauan Seribu pada 27 September lalu. Polisi baru menjerat Ahok setelah terjadi aksi besar-besaran.

“Lihat saja dari menetapkan Ahok menjadi tersangka begitu rumitnya seperti kita sedang berhadapan pada situasi kasus yang maha sulit. Padahal cukup simpel jika melihat unsur pasal penistaan agama,” ungkapnya.

Begitu juga saat di persidangan. Ahok dan tim pengacaranya menyebut memiliki bukti percakapan antara mantan Presiden SBY dan Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin. Pengakuan tersebut menunjukkan adanya indikasi melakukan penyadapan tanpa hak.

“Jelas ini melanggar UU. Bahkan penegak hukum tak berupaya sedikit pun untuk menindaklanjuti pernyataan pihak Terdakwa apalagi ini bukan delik aduan,” ungkap mantan Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Bangka Belitung ini.@salsa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 5 seconds