JURNAL3 / JAKARTA – Amnesti Internasional Indonesia menyoroti sejumlah ketentuan dalam beleid RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang diajukan Pemerintahan Presiden Joko Widodo kepada DPR. Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan, RUU tersebut sarat akan pelanggaran hak asasi manusia.
Usman mengatakan, ada beberapa poin yang menjadi catatan Amnesti Internasional dan perlu menjadi perhatian bagi pemerintah di dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Hal itu meliputi proses penyusunan dan substansial RUU.
Kata Usman, secara penyusunan pemerintah mengklaim telah membuka akses kepada masyarakat di dalam membaca draf resmi Omnibus Law, termasuk memasukkannya di dalam situs kementerian hukum dan hak asasi manusia. Namun, faktanya hal itu tidak ada.
“Banyak masyarakat tidak punya dokumen itu,” kata Usman.
Tak hanya itu, Usman juga menyebutkan pemerintah mengklaim telah melibatkan 14 serikat pekerja di dalam tim koordinasi pembahasan RUU Omnibus Law. Akan tetapi, hal itu tidak ada terjadi. Seluruh organisasi tersebut ditambah organisasi jurnalis menyatakan tidak pernah dilibatkan.
Usman menuturkan, partisipasi publik di dalam menentukan kebijakan pemerintah sangat penting menurut perspektif hak asasi manusia. Hal itu karena hukum-hukum internasional mengatur demikian.
Dia mencontohkan dalam pasal 25 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Paragraf 5 Komentar Umum Nonor 25 Tahun 1996, menyebutkan bahwa hukum menjamin hak warga negara untuk berpartisipasi dalam urusan publik, terutama dalam pembuatan dan implementasi kebijakan.
“RUU Omnibus ini saya kira melanggar prinsip. Tidak melibatkan partisipasi publik, bahkan belakangan kita catat banyak serikat buruh yang mulai diintimidasi. Mereka punyak hak untuk berpartisipasi dan butuh partisipasi.
Usman melanjutkan, secara substansial RUU Omnibus Law hendak melakukan penghapusan pada sejumlah ketentuan. Hal itu bisa dilihat lagi dalam beberapa hal berikut.
Pertama, menghapus pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang mengatur periode maksimal pemberlakuan perjanjian kerja waktu tertentu menjadi tidak tertentu.
Kedua, RUU tersebut juga ingin membolehkan pengusaha memberlakukan waktu jam kerja melebihi waktu perminggu atau 8 jam sehari untuk sektor pekerjaan tertentu.
Ketiga, RUU Omnibus Law akan mengubah tentang ketentuan pengupahan dan peniadaan upah minimum di tingkat kota sebagai acuan upah minimum pekerja dan mengubahnya menjadi berdasarkan tingkat provinsi.
“Anda bayangkan Jawa Barat cuma 2,8 juta. Sementara Karawang yang kabupaten karena wilayah industri itu lebih dari 4 juta. Maka bila disamakan, itu buruh di Karawang bukan hanya sudah mendapat upah minimum, tapi juga tidak bisa hidup secara layak,” paparnya.
Keempat, lanjutnya lagi, adalah memberikan target kepada para pengusaha untuk menentukan target yang harus dicapai oleh pekerja sebagai dasar pengupahan minum.
Kelima adalah upah ini membedakan sejumlah upah usaha mikro kecil dan menengah serta usaha pekerjaan padat karya.
Berikutnya adalah mengenai penghapusan beberapa jenis cuti yang tetap mewajibkan pengusaha untuk membayar pekerja, antara lain cuti untuk pekerja laki-laki yang istrinya melahirkan atau keguguran, cuti pekerja yang menikahkan keluarganya, mengkhitankan atau membaptiskan anaknya.
Selanjutnya adalah cuti haid, cuti untuk pekerja yang menjalankan kewajiban atau ibadah agamanya, cuti untuk melaksanakan tugas serikat buruh hingga cuti melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
“Jadi baik secara proses penyusunan maupun secara substansi, materibyabg mau diatur dalam Omnibus Law, itu sangat membahayakan,” imbuhnya.
Atas sebab itu, Usman mengatakan, Amnesti Internasional Indonesia merekomendasikan pemerintah dan DPR untuk melibatkan partisipasi organisasi buruh. “Kedua adalah merevisi seluruh ketentuan yang justru bertabrakan bukan hanya pada standar-standar hukum internasional hak asasi manusia, tapi juga hukum nasional Indonesia itu sendiri,” pungkasnya.@rul