Oleh : Lili Rosidah
Saya justru teringat suasana rumah dan kampus tempat saya mengajar ketika membaca heboh nominasi nobel sastra Denny JA di ujung tahun 2021.
Tak ingin terlibat dalam pro dan kontra kisah The Swedish Academy, panitia nobel, yang diberitakan mengundang komunitas puisi esai untuk mencalonkan sastrawan Indonesia, saya hanya ingin bercerita soal pengalaman pribadi.
Itu peristiwa di tahun 2019. Saya mengenal puisi esai yang digagas Denny JA secara tidak sengaja. Yaitu ketika anak saya sedang mempertimbangkan ikut atau tidak Lomba Vlog mereview puisi esai buat remaja (SMA/SMP).
Di kampus, ternyata mahasiswa saya juga ada yang ikut lomba menulis ulasan puisi esai.
Ketika saya membaca puisi esai, judulnya Atas Nama Cinta, karya Denny JA, saya tertarik. Di situ saya dapat mengikuti dan mendapat gambaran situasi Jakarta pada peristiwa Mei 98, dalam puisi esai “Sapu Tangan Fang Yin”.
Sayapun terus membaca, dan mendapat gambaran bagaimana kurang lebih gambaran peristiwa persekusi Ahmadiyah di Cikeusik dalam puisi esai “Romi dan Yuli dari Cikeusik”.
Tanpa terasa saya terus membaca, yaitu “Aminah tetap Dipancung”, dan saya mendapat gambaran bagaimana situasi TKI Indonesia di Saudi Arabia.
Dua puisi esai lainnya adalah mengenai hubungan cinta sesama jenis, dan satu lagi tentang hubungan asmara beda agama. Saya membacanya, dan menikmatinya sebagai kisah drama biasa, hanya beda konflik.
Tapi ketiga puisi esai lainnya membuat saya bisa mendapat gambaran situasi sosial-politik dengan mudah, menarik, informatif, dan bersih dari hoax. Catatan-catatan kaki pada puisi esai membuat pembaca yang asyik mengikuti jalan cerita, jadi bertambah pengetahuannya lewat informasi dan data.
Dengan sekejap, buku itu habis dibaca. Bahasanya komunikatif, kisahnya seru, dan datanya cukup lengkap.
Daripada mengikuti berita televisi atau apalagi simpang siur di medsos, membaca puisi esai justru lebih menyenangkan dan membuat kita melek politik dengan cara yang tidak menyebalkan dan panas telinga (kadang-kadang juga hati dan kepala).
Sayapun ketagihan. Buku puisi esai Kutunggu di Setiap Kamisan lebih enak lagi dibaca karena disertai gambar, tetap dengan bahasa yang mudah dipahami, dan data-data dalam catatan kaki.
Membaca puisi esai ini kita jadi mendapat gambaran tentang kasus penculikan dan orang hilang di masa Orde Baru. Cukup jelas dan menyenangkan dibanding simpang siur berita mengenai hal yang sama yang kita dapat selama ini.
Bahasa fanatisme agama, pertengkaran karena perbedaan tafsir agama, kita dapatkan gambarannya setelah membaca buku puisi esai Roti untuk Hati, dan makin mendalam serta meluas dalam buku Jiwa yang Berdzikir.
Semua buku puisi esai yang disebutkan di muka adalah karya Denny JA, penggagas puisi esai. Konon ada pro dan kontra mengenai puisi esai dan pro-kontra terhadap Denny JA sendiri.
Tapi, saya tidak tertarik dengan pro dan kontra semacam itu.
Keributan di dunia politik saja sudah merepotkan para ibu-ibu, para emak-emak, masak iya harus ditambah dengan keributan di dunia sastra.
Tapi bagaimana dengan puisi esai yang tidak ditulis oleh Denny JA? Konon puisi esai adalah gerakan sastra. Apakah puisi esai yang ditulis selain Denny JA hanya puisi “biasa” seperti yang selalu ditulis orang?
Kebetulan di perpustakaan kampus ada beberapa antologi puisi esai hasil Lomba. Ternyata, isinya tidak kalah seru.
Peri Sandi Huizhce menulis puisi esai “Mata Luka Sengkon Karta” dan menjadi juara satu. Peristiwa itu terjadi ketika saya masih remaja, dan tentu tidak tahu apa-apa.
Berkat puisi esai peri tersebut saya jadi tahu dan mendapat gambaran bagaimana peristiwa Sengkon-Karta.
Ada juga puisi esai tentang kasus Gayus, sang calo pajak karya Saifur Rahman berjudul “Syair 1001 Indonesia”, juga peralihan kekuasan di masa silam dalam “interegnum” Beni Setia.
Ketiga puisi esai itu, seperti kata pemberi pengantar buku ini, berhasil menggali dan menyegarkan ingatan kita tentang situasi sosial dan politik di Indonesia.
Semuanya disajikan dengan lengkap, informatif, dan terutama seru dan enak dibaca.
Beberapa ibu-ibu yang juga membaca buku puisi esai, ternyata dengan mudah menyelesaikan bacaannya dan setelah itu menjadi lebih melek sosial-politik, tanpa harus melewati kerepotan yang ada dalam simpang-siur berita, issue, medsos, hoax, dan sebagainya.
Puisi esai-puisi esai itu merupakan bacaan yang menyenangkan sekaligus informatif bagi kalangan ibu-ibu yang lewat cerita drama yang seru sekaligus mendapat gambaran cukup lengkap situasi politik, atau peristiwa politik tertentu (Mei 1998, kasus orang hilang, persekusi Ahmadiyah, TKI yang dihukum mati, kasus kebobrokan hukum dalam Sengkon-Karta dan mafia pajak Gayus, sengketa antar-tafsir agama, dan sebagainya dan lain-lain).
Puisi esai semacam ini cocok untuk membuat masyarakat melek politik tanpa harus mengalami kerepotan dan panasnya pertengkaran politik sampai-sampai seperti ingin mengajak masyarakat banyak ikut ribut dan tawuran.
Lewat puisi esai, kita bisa melek politik karena puisi mudah dibaca, menarik dan dramatik, juga lengkap dengan catatan kaki sebagai tambahan informasi.
Kalau kita sebagai pembaca merasa kurang sreg dengan pandangan penulis puisi esai tertentu terhadap suatu kasus sosial politik tertentu, maka kita dengan mudah tinggal membaca puisi esai atau bahan lain tentang tema yang serupa dari penulis lain.
Konon gerakan puisi esai ini tambah lama tambah besar. Ada gerakan besar puisi esai, yaitu dari setiap provinsi di Indonesia, ditulis lima puisi esai mengenai persoalan sosial-politik-sejarah di setiap provinsi masing-masing.
Saya belum membacanya. Tapi kalau isinya kurang lebih setara dengan puisi esai Denny JA dan puisi esai para pemenang lomba, maka gerakan melek sosial politik dengan cara yang menyenangkan itu makin terbuka.
Tidaklah mengherankan jika para peserta lomba vlog puisi esai Denny JA banyak yang menyajikan tayangan vlog yang menarik dan segar.
Ternyata, dengan puisi esai, para remaja dengan cepat bisa relate dan melek politik. Pandangan mereka pun banyak yang kritis dan segar.
Padahal, biasanya remaja tidak mau peduli dengan berita politik dan masalah politik. Puisi esai Denny JA sudah membuat mereka tertarik dan ternyata mampu “mengunyah” tema sosial politik dalam puisi esai Denny JA.
Tidak mengherankan juga, jika puisi esai, dengan cepat menyebar ke negeri tetangga di Asean, meskipun di Indonesia sempat diributkan dalam pro dan kontra.
Kelihatannya, Denny JA tidak begitu terganggu dengan pro dan kontra. Dia terus bergerak. Sudah sekian tahun sejak puisi esai dicetuskan olehnya. Dan dia terus istiqomah. Terus berkarya melawan badai.
Jika kemudian Panitia Nobel Sastra di Swedia mengirimkan undangan pada Komunitas Puisi Esai Indonesia untuk mencalonkan seseorang, pantas saja jika yang dicalonkan oleh Komunitas Puisi Esai Indonesia itu adalah Denny JA. Itu sudah selayaknya. Ia penggagas dan Ibu yang melahirkan puisi esai.
Jika pencalonan Denny JA menimbulkan keributan di dunia sastra, hal itu tidaklah mengherankan. Saat awal dicetuskan saja, puisi esai sudah menimbulkan keributan dan pro-kontra.
Serangan dan hujatan buat Denny JA ternyata selama ini tidak membuat dia mundur dan jatuh. Justru, sepertinya membuat dia makin bersemangat.
Jalan untuk menjadi pemenang Nobel masih sangat panjang. Namun, bagaimanapun fakta bahwa ada penulis Indonesia dipertimbangkan untuk calon pemenang Nobel Sastra tetap saja membanggakan Indonesia.
Pramoedya Ananta Toer pernah dicalonkan, dan dia satu-satunya selama ini. Memang tidak menang, tapi tetap membanggakan.
Kini Denny JA yang dicalonkan. Entah menang entah tidak. Tapi, tetap saja membanggakan bahwa Indonesia diperhitungkan.
Adapun soal pro-kontra, dan keributan, itupun terjadi pada Pramoedya. Sekarang terjadi juga pada Denny JA. Saya tidak mampu menilai, mana yang benar: yang dicalonkan atau yang meributkan.
Tapi, sejauh padangan ibu-ibu, Indonesia sudah kebanyakan keributan dan kekurangan prestasi. Seperti politik, ini merepotkan.
Politik di kalangan politisi saja sudah merepotkan. Apalagi jika sastrawan bermain politik pula dalam pro dan kontra itu. Pasti membuat politik sastra lebih merepotkan lagi.
Denny JA yang sangat mengerti politik, Ia sudah ikut memenangkan calon presiden Indonesia empat kali berturut-turut, tentu sangat lihai dalam pertarungan politik, wajar saja tak ingin melayani gerakan yang kontra.
Setiap kali ditanya soal gerakan yang kontra, yang menghujat, Denny acap menjawab: “10 hujatan akan saya jawab dengan 10 karya.”
Dengan mindset seperti itu, politik di tingkat pemilu presiden saja Denny tidak repot. Apalagi menghadapi politik sebagian sastrawan yang kontra dan menghujat.
*Penulis adalah dosen di Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI), Bandung.