Demokrasi Minus Oposisi

Oleh Hananto Widodo *)

Bagaimanapun juga isu pemilu dan pilkada merupakan salah satu isu yang cukup menarik perhatian publik. Oleh karena itu, janganlah heran manakala pemilu yang masih akan dihelat dua tahun lagi, tetapi utak-atik siapa yang akan menjadi figur capres sudah muncul sekarang ini. Meskipun figur yang konon akan diusung oleh parpol sebagai capres jagoannya itu belum menemukan titik yang pasti, tetapi bukan berarti analisis terhadap kemungkinan dari calon-calon yang beredar bukanlah sesuatu yang haram.

Memang pemilu merupakan fondasi yang sangat penting bagi masa depan demokrasi suatu bangsa. Pemilu bukan sekedar jaminan peralihan kekuasaan yang moderat dibanding sistem yang lainnya, tetapi Pemilu juga sebagai pertanda bahwa suara rakyat akan menjadi penentu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian idealnya, pasca pemilu digelar suara rakyat akan tetap menjadi penentu dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Secara praksis, iklim demokrasi di negeri ini dapat dikatakan cukup memprihatinkan. Beberapa kali kita dipertontonkan dengan drama demokrasi yang paradoks dengan ide demokrasi itu sendiri. Lahirnya UU Cipta Kerja dan UU IKN yang minim partisipasi menguatkan asumsi bahwa iklim demokrasi di negeri ini tidak berbanding lurus dengan pemilu yang telah menghabiskan anggaran triliunan rupiah demi terciptanya pemerintahan yang demokratis.

Terjadinya degradasi demokrasi di negeri ini tidak lain dan tidak bukan, disebabkan “perselingkuhan” yang secara terang benderang dilakukan oleh para elite di negeri ini. DPR yang seharusnya mampu melakukan fungsi kontrolnya terhadap kinerja pemerintah, malah mendukung kebijakan yang nyata-nyata tidak pro terhadap rakyat. Praktik politik yang kerap terjadi yang tidak sesuai dengan ekspektasi publik ini yang menjadikan publik pesimis terhadap masa depan demokrasi di negeri ini.

Oleh karena itu, utak atik Capres yang akan diusung oleh parpol justru mengundang rasa pesimis di sebagian kalangan. Jika melihat pada formasi Capres yang diusung oleh parpol, maka dapat dipastikan tidak ada satupun parpol yang mendulang suara lebih dari 50%. Bahkan ketika dilakukan koalisi parpol tetap saja tidak akan mencapai 50% plus satu.

Beberapa kalangan menganggap bahwa Presidential Threshold (PT) sebesar 20% suara sah nasional yang menjadi biang keladinya. Memang PT sebagai ambang batas parpol dalam mengusung Capres dan Cawapres merupakan salah satu biang keladi terhambatnya demokrasi di negeri ini. Namun, PT bukan satu-satunya faktor penghambat tumbuhnya demokrasi di negeri ini.

Alasan PT hanya sebagai penyebab polarisasi politik di negeri ini merupakan alasan yang naif. Alasan ini kelihatan masuk akal, sebab dalam dua periode pemilu, yakni pemilu 2014 dan 2019 kita dibuat lelah dengan polarisasi dukungan yang sangat tajam antara pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo. Berbicara mengenai demokrasi, maka kita tidak hanya bicara mengenai polarisasi dukungan politik saja, tetapi bagaimana demokrasi dapat dibangun secara lebih komprehensif lagi.

Kalau tiap-tiap kontestan itu konsisten dengan skema yang mereka rancang, maka itu patut kita apresiasi. Artinya, jika skenario dukungan dari tiap-tiap Capres itu ketika pemilu selesai dihelat sesuai dengan skenario awal, maka dapat dikatakan kita dapat berharap agar pertumbuhan demokrasi di negeri ini menjadi lebih baik lagi. Namun jika antara skenario awal dan akhir dapat berubah sesuai dengan kepentingan politik dari parpol pengusung, maka kita jangan terlalu berharap demokrasi kita akan lebih baik.
Dan, praktik politik yang selama ini terjadi mengkonfirmasi hal itu. Parpol dengan gampangnya mengalihkan dukungannya ketika Capres yang didukungnya kalah, bahkan yang menjadi rival politiknya dalam kontestasi Pilpres menjadi bagian dari pemerintahannya.

Indonesia ini memang merupakan negara yang unik, sebab Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang berhasil dalam menerapkan sistem presidensiil dengan kombinasi sistem multipartai. Sementara banyak negara lain yang gagal dalam membangun sistem presidensiil dengan kombinasi multipartai. Ancaman pemerintahan yang terbelah (divided government) selalu menghantui negara-negara yang menganut sistem presidensiil dengan kombinasi multipartai.

Kita hanya sekali mengalami situasi divided government, yaitu pada masa pemerintahan Gus Dur. Setelah itu, dapat dikatakan pemerintahan selalu berjalan stabil tanpa ada gangguan yang berarti. Efektivitas pemerintahan selalu menjadi fokus kajian hukum tata negara ketimbang pembangunan demokrasi. Memang pemerintahan yang efektif sangat penting, agar program-programnya bisa terwujud dengan baik.

Namun, bagaimana jika kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah itu bertentangan dengan kepentingan rakyat ? Apakah kita akan tetap mendukung kebijakan yang tidak pro rakyat dengan dalih demi efektivitas pemerintahan ? Ingat, pemerintah bukanlah entitas yang suci yang tidak akan lepas dari kesalahan. Pemerintah sangat berpotensi dalam melakukan kesalahan dan kesalahan itu harus ada yang mengontrol.

Mandat yang diperoleh oleh Presiden dan anggota DPR adalah mandat dari rakyat bukan mandat dari Tuhan sebagaimana negara yang menganut teori kedaulatan Tuhan. Presiden dan parlemen secara historis memang dikonstruksi sebagai dua lembaga negara yang saling melakukan check and balances. Oleh karena itu, jika pemerintah melakukan kebijakan yang menciderai rasa keadilan masyarakat, maka parlemen harus bersuara untuk menolak kebijakan pemerintah tersebut. Bukan malah ikut-ikutan mendukung dengan alasan yang tidak jelas, selain alasan kepentingan politik.

Dengan demikian, suksesnya kita dalam membangun sistem presidensiil dengan kombinasi multipartai yang efektif sebenarnya bukan merupakan prestasi jika dilihat dari aspek demokrasi. Sekali lagi, pemerintahan yang efektif itu penting, tetapi dengan mengorbankan kontrol terhadap pemerintah justru merupakan ironi, karena bagaimanapun kontrol terhadap pemerintah itu merupakan ruh dari jalannya demokrasi di negeri ini. (*)

Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Universitas Negeri Surabaya

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*