Oleh : Prof. Madya Dr. Ramzah Dambul
Jika disusur sejarahnya, Hadiah Nobel Sastra bukan berpaksi mutlak pada merit sastra semata-mata. Tapi yang lebih utama, Hadiah Nobel Sastra turut mencari keunikan calon dari segi pengalaman sastra dan gagasan yang diperjuangkan.
Hadiah Nobel Sastra adalah pengiktirafan untuk sosok yang mampu jadi “game changer” dalam industri persuratan, berdasarkan zaman dan wilayah. Saya berpandangan, Denny JA mempunyai kelebihan ini.
Denny JA merobohkan konvension dan menciptakan tradisi baru. Kemudian bergelut dengan tentangan hebat dengan kelompok yang cuba mempertahankan status quo lanskap sastra Nusantara.
Apakah tradisi baru yang diangkat Denny JA? Genre puisi yang bukan saja membawa format segar (kacukan essei), tetapi juga mendukung advokasi lebih sejagat (diplomasi sastra dan budaya).
Saya akan membahas peranan Puisi Esai selaku “game changer”, dalam menggalakkan diplomasi sastra, terutama sekali dalam wilayah Nusantara.
Saya akan berbicara tentang empat perkara. Pertama: apakah itu diplomasi sastra? Mengapa diplomasi sastra penting?
Kedua: Saya akan berbicara sedikit tentang gelora Puisi Esai. Saya tidak akan bicara tentang bagaimana asal-usulnya, tapi tentang gelora yang hadir semasa Puisi Esai ini mulai digagaskan.
Saya akan kaitkan gelora itu dengan kekuatan genre baru dalam konteks diplomasi Sastra.
Ketiga, saya akan membicarakan perbandingan diplomasi sastra dan diplomasi sains dalam konteks Nusantara.
Mengapa saya membandingkan diplomasi sastra dan diplomasi sains? Kedua diplomasi ini merupakan alternatif atas diplomasi tradisional, yaitu diplomasi politik.
Diplomasi sains sebenarnya lebih jauh maju dibandingkan dengan diplomasi sastra. Bahkan di dalam akademik pun, diplomasi sains telah dianggap sebagai satu disiplin tertentu
dan ia digunakan secara luas dalam konteks menyelesaikan banyak hal di belahan dunia.
Bahkan ketika kita bicara tentang isu pandemi sekarang, yaitu tentang Covid-19, tanpa diplomasi sains, jika hanya bergantung kepada diplomasi politik, mungkin cara kita untuk menangani pandemik global ini tidak akan sekuat sekarang.
Mengapa kita dapat menghasilkan vaksin dalam tempo satu tahun setelah ada wabah itu? Karena adanya diplomasi Sains.
Mengapa pada zaman-zaman dahulu atau pun pada era-era yang kebelakang, apabila ada suatu wabah atau pandemi membutuhkan waktu lama untuk menghasilkan vaksin?
Karena pada masa itu, kita banyak bergantung kepada diplomasi tradisional dalam menghubungkan ilmu dan juga regulasi di antara negara-negara ini.
Keempat: saya akan memberikan kesimpulan perbincangan saya dengan memberikan sedikit sanjungan. Boleh setuju ataupun tidak dengan saya.
Menurut saya, Puisi Esai ini merupakan cahaya baru di dalam kelompok sastra. Ia benar-benar dapat mengangkat diplomasi Sastra.
Diplomasi sains kini lebih maju kedepan. Diplomasi sastra agak tertinggal kebelakang dengan beberapa halangan dan kekangan.
Saya akan bicara tentang struktur fundamental dalam gerakan advokasi sastra itu sendiri yang akhirnya mungkin memberi kesimpulan.
Yaitu Puisi Esai ini adalah satu bentuk yang bisa mengekspresikan masalah-masalah besar yang muncul sekarang. Dan akhirnya puisi esai dapat menjadi bagian kuat dari diplomasi sastra.
Saya mulai dengan diplomasi sastra. Apakah itu diplomasi sastra?
Diplomasi sastra adalah sejenis diplomasi yang bisa menghubungkan dua negara melalui aktivitas sastra.
Sastrawan bertindak sebagai diplomat. Dan sastrawan menjalinkan hubungan dua atau lebih negara itu.
Tetapi kita harus juga berpikir bahwa jalinan itu, bukan semata-mata terolah di dalam karya sastra. Apa yang terolah di dalam karya itu sendiri, dampaknya kepada diplomasi sastra tidak lah besar.
Yang memberi dampak besar adalah aktivitas, advokasi di luar karya sastra itu. Seperti yang kita lakukan sekarang ini.
Kita bicara tentang Puisi Esai. Tetapi pada hari ini kita ada perwakilan dari Konsulat pemerintah Indonesia. Dan juga kita ada perwakilan kabinet negeri Sabah. Ini kegiatan dimana hadir pembuat kebijakan.
Yang akhirnya membangunkan diplomasi sastra itu bukanlah semata-mata kepada karya dalam sastra itu sendiri.
Namun yang berpengaruh adalah advokasi di luar itu, yang digerakkan oleh sastrawan ini sendiri.
Begitu juga dengan aktivitas penobatan Denny JA sebagai tokoh diplomasi Puisi Esai pada beberapa bulan yang lalu, di tahun 2021.
Kegiatan ini lebih mewarnakan hadirnya diplomasi sastra itu. Dalam kegiatan itu terlibat tak hanya sastrawan tapi juga pembuat kebijakan dari pemerintahan lebih dari satu negara.
Mengapa diplomasi sastra ini penting? Itu karena diplomasi politik memiliki keterbatasan. Ada sentimen ideologi dan kepetingan politik nasional yang membatasi kerja diplomasi politik.
Kita tahu sekarang ini, apabila Cina bangkit sebagai penguasa dunia, maka dia sudah memberikan sanggahan-sanggahan tertentu kepada Amerika Serikat.
Dan bila keadaan itu muncul maka akan ada ketegangan di dunia. Secara tidak langsung, negara-negara tertentu memihak kepada Cina. Negara-negara lainnya memihak Amerika Serikat.
Negara-negara lain berada di tengah-tengah dan sebagainya.
Diplomasi tradisional yaitu tradional politik itu sebenarnya terikat kepada ideologi dan sentimen politik. Itu terjadi dalam setiap negara.
Kadang-kadang sekali pun sebagai pribadi kita ingin sangat bersahabat, menjadi satu. Tapi hadirnya sentimen politik nasional dapat membatalkan kecenderungan pribadi itu.
Ada kekangan politik itu, bukan pada tingkat pribadi. Bukan kita tidak mau, tapi kita juga perlu menghormati ideologi yang ada pada negara kita.
Itu lah kekangan diplomasi Politik.
Ini sangat berbeda. Jika kita bicara tentang diplomasi Sains, ini diplomasi yang objektif. Tak ada sentimen disana. Tidak ada nilai disana.
Di dalan sains semua tentang rasionalitas. Semua soal apa yang terpancar dalam data. Itulah yang akan mendekatkan kita.
Begitu juga dalam sastra. Sastra tentang rasa. Ia tentang kemanusiaan. Ia tentang kebudayaan dan kebersamaan itu.
Kita tidak terkungkung oleh ideologi yang perlu kita hormati dalam diplomasi sastra.
Bukan saya bilang diplomasi politik itu tidak penting. Tidak. Diplomasi politik itu tetap merupakan tonggak diplomasi dalam seluruh negara kita. Diplomasi politik masih ada dalam level yang teratas.
Tapi karena bentuknya, batasan-batasan tadi, alternatif diplomasi perlu diberikan dalam situasi-situasi tertentu.
Di situlah perlu diplomasi sastra dan juga diplomasi sains.
Saya ada sedikit pengalaman. Walaupun saya seorang ahli akademik, tetapi saya pernah aktif di kementerian inovasi dan teknologi selama hampir 4 tahun.
Sewaktu disana, saya adalah teknokrat. Ilmuwan. Dalam masa yang sama juga saya menjadi diplomat sains.
Saya terlibat dalam beberapa program yang merangkaikan ASEAN dan juga negara-negara lainnya. Saya menjadi pengurus untuk otoritas bilateral; bersama dengan China, Amerika Serikat, Afrika Selatan, dan juga negara-negara Islam.
Dalam waktu yang sama, saya juga menangani kawasan ASEAN. Saya juga merupakan ketua delegasi Malaysia.
Ini merupakan kasus suatu inisiatif pemeliharaan sumber maritim. Wilayah itu dikuasai tiga segi oleh negara Filipina, Malaysia, dan juga Indonesia.
Di timur Sabah, yaitu di sekitar laut solok Sulawesi. dan berlanjut ke sebagian di bagian barat lautan pasifik, itu wilayah luar biasa.
Kawasan laut solok Sulawesi di timur Sabah itu, merupakan kawasan perairan yang menjadi milik tiga negara (Filipina, Malaysia, dan Indonesia).
Kita tahu. ada ketegangan-ketegangan disana. Kita pernah tahu kisah Ambalat. Atau pertikaian soal sempadan, antara Indonesia versus Malaysia.
Disebabkan oleh konflik tersebut, maka kawasan segi tiga yang luar biasa itu dianggap sebagai kawasan yang rawan.
Tidak mudah untuk kita datang ke sana. Kita perlu dapat perizinan tertentu. Tidak mudah juga untuk masuk ke sana, walau sudah ada izin hanya dari satu negara.
Dan kalau kita melihat disana, tidak banyak aktivitas perdagangan yang berlaku, karena dia masih dianggap sebagai kawasan yang sensitif. Ini akibat adanya pengawasan dari segi kedaulatan dan keselamatan ketiga negara.
Saya menjadi ketua delegasi Malaysia. Kemudian saya dilantik sebagai pengurus untuk kawasan itu.
Kami para saintist, para ilmuwan, sangat mendorong kerjasama di perairan itu. Sebagai saintist semua orang paham. Bahwa para ilmuwan tidak mempunyai kaitan dengan politik tentang kedaulatan.
Ilmuwan berpikir soal menyelamatkan sumber maritim kita. Ini supaya kita ada bekal. Sebab di kawasan segitiga itu merupakan sumber maritim yang terkaya di seluruh dunia.
Walaupun kawasan segitiga itu kecil, tapi kawasan itu jauh lebih kaya dibandingkan seluruh lautan di dunia.
Kawasan itu perlu dipertahankan. Perlu dipelihara. Pada waktu akan datang kalau kita berhadapan dengan krisis ketidakcukupan makanan, maka di kawasan itu tempat alternatif sumber pangan dunia.
Karena kesadaran inilah, jika kita bicara dalam konteks sains, ketiga negara ini semuanya setuju. Tak ada perbelahan.
Tapi jika kita bicara dalam kerangka diplomasi politik, bukan kesepakatan yang dihasilkan, tapi ketegangan, perebutan wilayah, konflik kedaulatan.
Ini contoh kasus bagaimana diplomasi sains itu memberi alternatif yang baik kepada diplomasi politik.
Diplomasi sastra kita masih tertinggal. Puisi esai dapat memulai lahirnya diplomasi sastra yang kuat.
Banyak yang mengatakan Puisi Esai ini sebenarnya bukan Puisi baru. Denny JA dianggap mengambil pendirian yang salah.
Denny dianggap tidak menghormati sejarah kesusastraan nusantara. Itu karena tiba-tiba, is mengklaim menemukan sesuatu yang telah lama ada.
Saya banyak membaca karya-karya Denny. Cara kami berpikir sama. Kita perlu memahami dan berminat dalam berbagai perkara: Politik, Sains, Teknologi, Agama, dan Filsafat.
Dengan pengetahuan dan pengalaman multi dimensi, kita menjadi seorang sastrawan atau penulis sastra yang betul-betul membumi.
Sebenarnya, Denny telah menggariskan. Bahwa untuk sesuatu itu muncul dan dinobatkan sebagai genre sastra baru, kita perlukan klasifikasi tertentu.
Genre sastra itu perlu diberikan definisi. Dia perlu dibuatkan batasan. Itu sebenarnya yang telah dibuat secara signifikan oleh Denny JA.
Para penentang Denny JA mengklaim. Puisi Esai ini sudah ada bertahun tahun sebelum Denny JA aktif di dunia sastra.
Tapi sebelum era Denny JA, puisi jenis itu tidak pernah diangkat dan diberikan baju yang khusus. Tidak pernah didefinisikan, dibuatkan kategori. Dibuatkan platformnya.
Justru itu. Pada masa lalu, puisi sejenis puisi esai tidak muncul sebagai satu konsep. Ia tak diterima sebagai satu genre baru.
Genre yang baru lahir apabila ada usaha secara sistematik dan tersusun, untuk memberikannya DNA, ataupun identitas tertentu.
Yang memberikan identitas itu, yang meresmikan itu adalah Denny JA.
Ibaratnya seperti ini. Telah disebutkan tadi berapakah umur Indonesia dan berapakah umur Malaysia?
Umur Indonesia diukur oleh tahun kemerdekaannya di tahun 1945. Dan Malaysia di tahun 1963.
Itulah ukuran adanya Malaysia sebagai negara, dan Indonesia sebagai negara. Setiap kali kita berbicara sejarah, itulah sandaran dan benchmark.
Jika seorang mengatakan: Tidak! Malaysia ini telah ada 1000 tahun lalu. Indonesia telah wujud 1500 tahun lalu.
Ya betul. Peradaban melayu itu sudah ada disana. Tapi dari segi batasan, perlembagaan dan memberikan identitas ketatanegaraan, maka itulah benchmarknya. Indonesia dan Malaysia adalah fenomena negara nasional yang baru dilembagakan di tahun 1945 dan 1963.
Begitu juga dengan Puisi Esai. Walaupun orang bilang puisi esai sudah ada puluhan tahun yang lalu. Tapi kita bisa mengeceknya lewat pencarian Google.
Ini yang kita temukan. Sebanyak 98 persen kata “Puisi Esai” baru muncul pasca 2012. Hanya 2% kata “Puisi Esai” ada sebelum 2012.
Dua persen itu angka yang sangat tidak signifikan. Ia bisa diabaikan. Ia menjadi signifikan setelah 2012.
Ada apa di tahun 2012? Itulah tahun ketika Denny JA mendeklarasikan hadirnya genre baru Puisi Esai.
Denny memberikan DNA dan identitas kepada puisi esai tersebut. Ia melakukan inovasi di dunia sastra, dengan puisi panjang, berbabak, memadukan fakta dan fiksi. Puisi esai juga mensyaratkan adanya catatan kaki.
Ada beberapa alasan mengapa saya mendukung pembaharuan genre sastra. Saya pikir bidang ranah sastra kita ini terlalu tidak berinovasi.
Bila sastra tidak berinovasi maka dia sulit menarik orang-orang muda dan generasi baru. Kita perlu tunjukan bahwa, sastra ini juga dinamis.
Sains senantiasa berinovasi. Ia memberikan definisi zaman. Yaitu zaman revolusi industri kesatu, revolusi industri kedua, ketiga, dan keempat.
Kita di sastra ini seolah-olah takut berinovasi. Para sastrawan itu sendiri tidak menyokong satu sama lain.
Padahal inovasi itu sesuatu yang positif untuk dunia sastra kita.
Mengapa Puisi Esai ini memberi nafas baru? Mengapa Puisi Esai sesuai dengan usaha kita untuk menjadikannya wahana diplomasi sastra?
Menurut saya, Puisi Esai ini mempunyai ciri-ciri tertentu. Ini memberi pesona tersendiri kepada pembuat kebijakan, dan pihak yang punya otoritas.
Saya ingin menyatakan disini. Untuk kita menjadi alat diplomasi yang efektif, sesuatu bidang itu mesti menerobos di dalam ekosistem ketatanegaraan. Ia harus masuk menyatu ke dalam ekosistem public policy.
Ini dasar mengapa saya katakan tadi diplomasi sains itu begitu berjaya di Asean. Saya katakan tadi adanya gagasan terumbu karang tiga segi itu. Yaitu coral triangle initiative. Ia ditandatangani oleh enam negara.
Ia disahkan secara resmi; diberi dana oleh negara. Platformnya itu resmi. Kita bergerak dalam kerangka itu bukan hanya sebagai saintis individual. Tetapi saintis yang mewakili negara. Ia diendorse oleh setiap pemerintahan yang kita wakili.
Itu sebenarnya yang kurang dalam diplomasi sastra kita. Betul kita ada banyak gerakan sastra yang melewati batas-batas negara.
Tapi kebanyakan gerakan sastra itu di bawah persatuan ataupun gerakan individu. Jarang sekali gerakan sastra itu dapat menempatkan diri di dalam kalangan pengambil kebijakan.
Tak ada dalam gerakan sastra itu yang seperti menyentuh para birokrat, dan para pembuat kebijakan.
Puisi Esai ini berbeda. Puisi esai mempunyai potensi dan ciri itu. Lihatlah beberapa contoh program yang kita telah buat sebelum ini. Ia
mendapat dukungan dari pemerintahan sabah juga. Ia mendapat dukungan dari pada konsulat pemerintah Indonesia sendiri.
Ada dua ciri yang utama mengapa saya meyakini Puisi Esai ini adalah masa depan diplomasi sastra nusantara.
Ciri pertama sekali adalah kita melihat kepada kesohoran penggagasnya: Denny JA.
Saya bukan mengagung-agungkan individu.
Saya jangan disebut mengagungkan Denny JA.
Tidak. Saya realistik. Saya meminati bahan-bahan bacaan karya Denny, tapi bukan terobsesi.
Itu adalah realitas. Kita melihat kepada kesohoran sang penggagas Puisi Esai.
Apabila seorang yang mempunyai kredibilitas seperti Denny JA menggagaskan Puisi Esai sebagai suatu genre yang baru, dia punya pesona tersendiri.
Denny JA seorang yang menguasai banyak bidang. Ia seorang penganalisis politik. Ia juga berbicara tentang bidang-bidang yang lain.
Denny ini bukanlah sekedar sastrawan tipikal.
Masalahnya kita kadang ingin berhubungan dengan pihak pembuat kebijakan. Dari pengambil kebijakan, susah kita mendapat dukungan untuk sastra.
Sebagai contoh. Menumbuhkan majelis sastra lebih susah daripada menumbuhkan majelis sains, ataupun menumbuhkan majelis ekonomi.
Mengapa? Sebab pengambil kebijakan kita tak tersentuh oleh sastra. Mereka melihat sastra sebagai area sampingan saja, hanya bacaan-bacaan untuk rileks. Mereka tidak melihat yang lebih daripada itu.
Sebab itu kita perlukan sosok seperti Denny JA. Ini untuk menyadarkan mereka bahwa, sastra itu adalah lebih dari pada itu.
Sastra juga menerobos dalam bidang Sains, menerobos dalam ekonomi
menerobos dalam isu-isu pilihan rakyat. Lihatlah Denny JA, sang penggagasnya. Lihatlah kegiatannya. Pencapaiannya.
Kita semua tahu bahwa buku Denny JA berjudul “Sapu Tangan Fang Yin” menjadi Best Seller Amazon 2015.
Denny JA juga telah dinobatkan TIME Magazine 2015 sebagai salah seorang influencer digital,
influencer internet 30 paling berpengaruh di dunia
Berpengaruh di dunia, bukan di Indonesia. Bukan di Asean. Di dunia.
Sejajar dengan Denny adalah Barack Obama. Bersama–sama dengan itu dan beberapa lagi artis yang termasuk penyanyi dunia.
Saya tidak ingin menggunakan kata “menunggangi” karena itu memberikan konotasi yang tidak baik. Tapi maksud saya kita perlu mengambil manfaat dari sosok Denny JA ini untuk mendapatkan prestise sastra.
Puisi Esai lmempunyai pesona itu. Sosok yang menggagas Puisi Esai mempunyai pesona digital.
Kita juga tahu Denny JA juga seorang konten creator yang bagus. Saya banyak melihat video-videonya. Ini sesuai dengan situasi kita sekarang dalam era digital.
Apalagi kelebihan Puisi Esai? Ciri Puisi Esai ini mengkombinasikan fakta dan fiksi. Bahasanya juga agak prosais sehingga lebih mudah dipahami khalayak luas.
Akibatnya puisi esai mampu untuk membawa gagasan-gagasan yang lebih besar. Banyak isu besar yang sulit diekspresikan dalam puisi biasa, tapi dapat dituangkan ke dalam format puisi esai.
Puisi esai mampu membawa cerita-cerita yang lebih jelas. Ia mampu mendekati komunitas-komunitas yang biasanya tidak terlalu tertarik dengan sastra, ataupun kurang suka kepada sastra.
Selama ini publik luas yang awam melihat sastra ini sebagai satu bahasa estetik yang tinggi saja. Puisi Esai itu merobohkan itu. Puisi Esai menggunakan bahasa prosa.
Puisi esai juga bukan hanya berbicara tentang perkara-perkara fiksi. Tetapi dia juga berbicara tentang perkara fakta. Kemudian, puisi itu diberikan pula catatan kaki.
Kita menunggang kekuatan itu tadi. Yaitu kesohoran sosok yang memasyurkan puisi esai: Denny JA.
Dan juga ciri Puisi Esai itu sendiri. Ia merupakan satu medium yang begitu luas. Ia bisa mengekspresikan banyak perkara.
Bahasanya lebih mudah dihayati oleh kelompok yang lebih besar, termasuk yang diluar komunitas sastra.
Kita lebih mudah untuk mengadvokasi puisi esai sebagai landasan diplomasi sastra.
*Penulis adalah Ilmuwan dan Penerima Penghargaan Sastra dari Malaysia.