Oleh. Dr. Anas Ahmadi, M.Pd.
Membincang dunia tulis-menulis memang tiada pernah berakhir. Selalu menarik perhatian berbagai kalangan. Simak saja, Sartre, filsuf sekaligus sastrawan asal Perancis, mengungkapkan bahwa tulisan adalah pergerakan. Siapa yang menulis, itulah pergerakannya. Kata Sartre, “menulis adalah sebuah kebebasan”. Karena itu, dia tak mau menerima penghargaan novel untuk karyanya, Les Mots, autobiografi yang filosofis.
Begitu juga psikolog, misal saja Freud, psikoanalis asal Jerman, mengungkapkan bahwa pengarang adalah sosok yang mampu menjadikan sastra sebagai self-defence mechanism tatkala mereka dalam bayang-bayang neurotik. Dalam perspektif sastra, Bird, sastrawan asal Australia mengungkapkan bahwa menulis adalah fantasi. Manusia yang menulis adalah manusia yang mampu memfantasikan sesuatu dan dikonkretisasikan dalam tulisan. Tentunya, itu adalah pendapat para ahli. Kita juga punya pendapat sendiri berkait dengan menulis.
Konon, menulis adalah bakat. Karena itu, menulis tidak bisa diajarkan, baik di sekolah atauupun di perguruan tinggi. Betulkah? Ah, itu adalah mitos yang memang sampai sekarang masih masyur dan banyak yang mengamininya. Bahkan, mitos itu menjadi sebuah apologia dalam menulis. Seseorang yang tak mampu/gagal dalam menulis sebab dia memang tidak punya bakat menulis. Selesai. Artinya, ketika yang menjadi kambing hitam adalah bakat. Selesai sudah semua masalah.
Tak ada yang bisa ditandingkan dengan kata bakat. Padahal, jika mengacu pada Einstein, bakat itu hanya 2 persen saja yang turut serta dalam kesuksesan seseorang. Selebihnya, kerja keras, keuletan, dan proses yang berkepanjangan. Tanpa itu semua, mumbo jumbo. Lihat saja, kisah si aktor Rambo (Silverster Stallone) yang mulanya menawarkan naskah filmnya ratusan kali, baru diterima oleh publisher. Semuanya, memang perlu kerja keras, keuletan, dan proses. Namun, kita juga perlu tahu mengapa sampai ratusan kali, si Stallone selalu ditolak? Sebab dia ngotot naskah yang ditulisnya harus menggunakan aktor utama, dirinya sendiri. Hadewww.
Menulis di Kalangan Guru Mandarin
Tulisan tentang menulis di kalangan guru Bahasa Mandarin ini didasarkan pada pengalaman penulis dengan tim pengabdian kepada masyarakat (PKM) Universitas Negeri Surabaya (Dr. Mintowati, M.Pd., Galih Wibisono, M.Ed., Dr. Resdianto Permata Raharjo, M.Pd.) yang dilaksanakan tahun 2021. Berdasarkan angket yang diperoleh dari responden (guru Bahasa Mandarin SD, SMP, ataupun LBB) diperoleh data sebagai berikut.
Pertama, sekitar 57.9 persen responden menjawab tidak pernah menulis kreatif berupa cerpen, puisi, ataupun novel. Hal ini menunjukkan bahwa menulis kreatif memang belum menjadi hobi bagi kalangan guru bahasa Mandarin. Di samping itu, tulisan kreatif yang mereka tulis, belum semuanya dipublikasikan. Kebanyakan, mereka menulis untuk konsumsi sendiri. Mereka tidak mengirimkannya ke media massa. Mereka malu dan sungkan ketika tulisannya di publish di media. Alasannya, takut tulisannya jelek dan tidak layak baca. Hal ini menandakan bahwa semangat menulis memang ada, tetapi memang masih perlu diasah dan dioptimalkan.
Kedua, berkait dengan menulis tentunya ada kendala. Untuk itu, penulis memberikan angket dan juga mewawancarai responden mengapa mereka kesulitan menulis. Berdasarkan angket yang diberikan kepada responden diperoleh data bahwa faktor penyebab sulitnya menulis, yakni lingkungan sekitar (tidak kondusif), psikologis, dan sosiologis. Berdasarkan data tersebut tampak bahwa responden memang mengalami kesulitan menulis lebih banyak karena faktor lingkungan yang tidak mendukung mereka dalam menulis. Sekadar contoh, tugas seorang guru selain mengajar, mereka juga dibebani tugas maslah administiratif di sekolah yang tidak pernah selesai. Belum lagi, tugas lainnya yang memang tiba-tiba diberikan oleh pejabat di atasnya. Hal ini yang menyebabkan guru merasa sulit membagi waktu untuk menulis, bekerja, dan ditambah lagi –jika ibu guru– dengan pekerjaan rumah yang belum diselesaikan, yakni mengurus rumah tangga.
Bertolak dari fakta tersebut tampak bahwa menulis memang bukanlah perkara yang mudah. Memang, banyak godaan yang muncul di dalamnya. Pertama, godaan paling awal tersebut muncul dalam konteks internal, psikologis si penulis. Seseorang yang merasa canggung dalam menulis, malu dalam menulis, dia tidak akan mem-publish karyanya sebab dia merasa tidak nyaman jika dia mengirimkan karya. Kedua, dalam konteks lingkungan dan sosio-kultural yang kadang tidak kondusif sehingga mematikan ‘bibit’ kepenulisan dari seorang guru, misal saja beban administratif yang terlalu banyak di sekolah. Dengan demikian, guru tidak mampu mengeksplorasi karyanya secara mendalam. Untuk itu, seorang guru memang harus mampu melawan itu semua dan memulai menulis. Apapun alasannya.
Penutup
Itulah sekelumit pengalaman reflektif dari PKM yang dilakukan oleh penulis dan tim berkait dengan masalah tulis-menulis di kalangan guru bahasa Mandarin di wilayah Surabaya. Sebenarnya, masalah tulis-menulis adalah masalah kita semua. Semuanya, kembali pada kita masing-masing. Tentunya, dengan segala konsekuensinya. Menulis bukanlah sesuatu yang sulit. Tapi, menulis memang membutuhkan waktu dan energi. Kita hanya tinggal memilih: menulis atau tidak. Itu saja, tanpa harus mencari kambing hitam dari kegagalan menulis yang kita lakukan. (*)
Penulis adalah Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Mandarin, FBS Unesa dan Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unesa. (anasahmadi@unesa.ac.id)