Oleh : Denny JA
Jurnal3.net/ – Di dunia sana, Stephen Hawking menyatakan filsafat sudah mati. Itu karena para filsuf tak lagi mampu mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir. Penjelasan lebih kredibel soal alam semesta kini tergantung dari ilmuwan yang didukung oleh dana dari pemerintah atau perusahaan multinasional.
Seketika para pembela filsafat merespon balik Stephan Hawking:
Di Indonesia, Hamid Basyaib dan Luthfie Assyaukani menyatakan filsafat sudah mati, atau filsafat sudah bangkrut.
Pembela filsafat dalam negeri seperti F. Kennedy Sitorus dan ST Wowuruntu menyerang balik.
Saya membaca perdebatan di luar negeri itu dengan seksama. Tapi saya membaca perdebatan versi dalam negeri untuk topik yang sama dengan tersenyum-senyum:
Di dalam negeri, pembela filsafat itu menyerang ibarat tinju dengan kombinasi upper cut keras, jabs yang asyik. Tapi sang pembela kadang melakukan pukulan di bawah perut yang dilarang.
Bagaimana letak perkara sebenarnya? Bisakah filsafat diganti oleh ilmu pengetahuan? Ketika ilmu melaju, benarkah filsafat bangkrut?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, baiklah kita mulai dulu dengan yang ringan dan yang lucu. Saya mengumpamakan debat filsafat versus science versi dalam negeri ini ibarat pertarungan tinju.
Upper cut dan jab sangat baik dan potensial membuat KO datang dari F. Kennedy Sitorus. Ia menjabarkan batas atau demarkasi antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Semaju apapun ilmu pengetahuan, ia tak akan menggantikan filsafat yang memiliki objek material dan formal yang berbeda.
Upper cut yang juga dapat membuat TKO datang dari ST Waworuntu. Ia menguraikan arti sebenarnya dari pandangan Heidegger, Richard Rotry, dan Isabelle Thomas Figiel. Ketiganya tak pernah menyatakan filsafat telah atau akan mati, berbeda dengan klaim Hamid.
Yang membuat saya tersenyum adalah serangan balik F. Kennedy Sitorus yang dalam tinju bisa disebut pukulan ke bawah perut yang dilarang.
Menurut F. Kennedy, baik Hamid ataupun Luthfie ini jelas tak paham filsafat. F. Kennedy sendiri memang Ph.D bidang filsafat lulusan Jerman. Menurut pengakuannya, disertasinya soal Immanuel Kant mendapatkan nilai Magna Suma Cumlaude.
Sungguh mengharukan, ujar F. Kennedy Sitorus, bagaimana Hamid (juga Luthfie) berani membuat klaim besar yang negatif bahwa, filsafat sudah mati atau bangkrut. Dari penjelasan keduanya, jelas baik Hamid dan Luthfie memiliki pengetahuan filsafat yang tak memadai.
Yang juga mengharukan, ujar F. Kennedy Sitorus, kok bisa Hamid dan Luthfie menggebu mempromosikan science secara berlebihan. Padahal mereka berdua bukanlah scientist. Mereka berdua tak ada prestasi di bidang ilmu pengetahuan. Tak ada pula tulisan mereka di jurnal ilmiah.
Tapi perangai mereka (Hamid dan Luthfie) melampaui ilmuwan yang asli, yang memang punya prestasi keilmuwan. Ilmuwan yang asli justru tidak mengecilkan peran filsafat.
F. Kennedy Sitorus melihat fenomena Hamid dan Luthfie sebagai gejala psikologis semata. Sebagaimana fans sepakbola acapkali lebih bersemangat dan fanatik dibandingkan pemain bolanya yang asli.
Dengan istilah lain, F. Kennedy Sitorus menyamakan level Hamid dan Luthfie bukan sebagai ilmuwan, tapi semacam anggota Science Fans Club saja. Ini sama seperti anggota biasa Liverpool Fans Club tapi bukan pemain bola profesional Liverpool sendiri (ini perumpamaan dari saya).
Sementara, ST Waworuntu juga melepaskan uppercut yang juga ke bagian bawah perut. Perbedaan pandanganya dengan Hamid soal apa yang dimaksud oleh Heidegger, Rottry dan Isabelle, ia cap sebagai “Hamid tak jujur.” Atau “Hamid tak membaca buku yang ia kutip sendiri.”
Mengapa saya katakan dalam debat serangan di atas itu dilarang? Itu karena perdebatan tidak pada argumen, tapi para labeling lawan debat (tak paham filsafat, tak punya prestasi keilmuan, tak jujur, pasti belum membaca buku yang dikutip sendiri).
Sekarang mari kita ke pokok masalah. Benarkah filsafat bangkrut? Benarkah filsafat sudah dan akan mati? Benarkah filsafat semakin terpinggirkan dengan semakin majunya ilmu pengetahuan?
Problem pada Hamid dan Luthfie, juga pada Stephen Hawking, mereka melakukan over generalization.
Benar bahwa satu jenis filsafat kini semakin kurang populer dengan datangnya penjelasan science. Yaitu natural philosophy. Spekulasi filsafat soal alam semesta memang semakin tak digandrungi lagi dengan datangnya aneka penemuan baru di bidang kosmologi dan fisika dari riset empirik para ilmuwan.
Tapi filsafat itu bukan hanya filsafat soal alam. Ada filsafat politik. Ada filsafat etika. Ada bahkan filsafat teknologi. Justru filsafat etika sebagai misal tumbuh bertambah gagah perkasa dengan datangnya penemuan teknologi baru. (1)
Akan tiba mobil berteknologi tinggi. Mobil ini didesign tanpa supir. Tapi program harus dibuat untuk skenario terburuk.
Jika mobil ini berada dalam situasi tertentu apa yang harus diprogram? Katakanlah, dalam momen riskan itu, jika mobil diprogram belok kanan, ia akan menyebabkan satu orang dewasa mati. Tapi jika mobil diprogram belok kiri, ada kemungkinan dua anak kecil mati. Jika mobil diprogram mendadak berhenti atau lurus, penumpangnya yang mati.
Program bagaimanakah yang harus dibuat? Yang mana yang akan lebih kurang fatal? Ini pertanyaan yang bukan lagi wilayah ilmu engineering. Ini sudah wilayah filsafat.
Ini pertanyaan filosofis bukan bukan pertanyaan ilmuwan: hidup siapakah yang harus lebih diselamatkan? Mengapa yang harus diselamatkan hidup 1 orang dewasa yang akan ditabrak? Atau mengapa yang harus diselamatkan itu hidup 2 anak kecil? Atau mengapa hidup 1 orang dewasa penumpang mobil yang harus diselamatkan?
Pertanyaan filosofis dijawab oleh disiplin filsafat. Pertanyaan filosofis tak pernah tuntas dijawab oleh disiplin ilmu pengetahuan karena berbedanya cara kerja filsafat dan cara kerja ilmu pengetahuan.
Filsafat politik seperti prinsip hak asasi manusia terus pula tumbuh. Filsafat yang berhubungan dengan pilihan nilai juga tak bisa digantikan oleh disiplin ilmu alam yang memiliki cara kerja berbeda.
Singkat kata, dengan datang dan bertumbuhnya ilmu pengetahuan, hanya sebagian cabang filsafat saja yang semakin kurang populer (2). Tapi sebagian cabang filsafat lain justru semakin perkasa.
*Penulis adalah Founder LSI-Denny JA, Sastrawan, Penggagas Puisi Esai, dan Penulis Buku.
CATATAN
- Filsafat justru dibutuhkan bagi kultur teknologi tinggi.
https://reporter.anu.edu.au/philosophy-critical-high-tech-future
- Saya lebih memilih kata yang lebih pas: semakin kurang populer dibanding kata bangkrut untuk sebagian cabang filsafat (bukan keseluruhan filsafat).