Oleh : Wijianto
http://Jurnal3.net – Beberapa bulan yang lalu dari media online Bisnis.com edisi Rabu, 30 Juni 2021 diberitakan PO Sumber Alam mengeluhkan penurunan jumlah penumpang yang signifikan sepanjang Juni 2021. Padahal, saat itu merupakan momen libur sekolah yang merupakan salah satu kesempatan memanen penumpang. Pemilik PO Sumber Alam, Anthony Steven Hambali mengaku, hanya bisa pasrah dan taat pada peraturan pemerintah yang masih membatasi kapasitas angkut selama pandemi Covid-19.
Menurutnya, bulan Juni itu trennya terus menurun setiap minggu, padahal liburan anak sekolah biasanya ramai dari kedua sisi, Jogja dan Jakarta. Terlebih, saat itu Kementerian Perhubungan bersama Satgas Penanganan Covid-19 telah menggodok aturan pengetatan syarat perjalanan terkait dengan penerapan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Hal yang berat dirasakan tidak hanya oleh pelaku usaha transportasi saja seperti yang di alami PO Sumber Alam di atas, namun dirasakan oleh sebagian besar pelaku usaha akibat kebijakan pengetatan aktifitas ekonomi yang berimbas kepada pertumbuhan ekonomi yang datar.
Fluktuasi ekonomi sepanjang tahun 2021 pun belum berakhir. Kinerja ekonomi berbeda tiap quartalnya bertanda bahwa, setiap massa menciptakan suasana dan kebisingannya sendiri masing-masing, terlebih pada triwulan I 2021 yang memperoleh tanggapan optimisme dari pergerakan ekonomi meskipun masih belum keluar dari kondisi yang minus, kinerja ekonomi triwulan II 2021 memperoleh tanggapan yang gempita dari publik. Selanjutnya, kinerja ekonomi triwulan III 2021 yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) direspon dengan tempo yang lebih datar dan sayu.
Jauh sebelum kinerja ekonomi dirilis, BPS, pemerintah, lembaga riset ekonomi, dan ekonom semuanya sepakat dengan perkiraan yang sama untuk pertumbuhan ekonomi di kisaran 3,5%. Alhasil, laju pertumbuhan ekonomi pada triwulan III 2021 dikatakan meningkat sebesar 3,51% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Q3 2021 terus melambat dan menjaga ritme yang stabil akibat peningkatan kasus harian varian delta Covid-19, yang menyebabkan pemerintah menerapkan PPKM/tingkat darurat untuk mengurangi mobilitas dan level.
Namun, sejak pertengahan Agustus hingga saat ini, situasi mulai membaik secara bertahap, tetapi permintaan publik meningkat. Seluruh komponen pengeluaran PDB melambat pada triwulan III 2021. Konsumsi rumah tangga terpuruk hingga melambat dari pertumbuhan triwulan II 2021 sebesar 5,96 % year-on-year (YoY), ke 1,03 % year-on-year (YoY) di triwulan III 2021.
Konsumsi pemerintah juga ikut melambat ke 0,66 % year-on-year (YoY) di triwulan III 2021, dari angka 8,03 % year-on-year (YoY) pada periode sebelumnya. Sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Juli-September 2021 adalah net ekspor dan investasi / Penanaman Modal tetap Bruto yang masing-masing tumbuh sebesar 29,16 % year-on-year (YoY) dan 3,74 % year-on-year (YoY). Hal ini didukung oleh permintaan global terhadap komoditas batu bara dan CPO yang tinggi.
Pertumbuhan Mulai Tumbang
Ekonomi global sempat terdampak lonjakan kasus varian delta di Triwulan III-2021. Beberapa negara global merasakan pahitnya serangan virus gelombang kedua (beberapa sekarang menghadapi gelombang ketiga) karena kehidupan ekonomi dan sosial menunjukan ritme pertumbuhan yang tumbang. Indonesia tidak terkecuali.
Akibat guncangan pandemi gelombang kedua yang terjadi antara akhir Juni hingga Juli 2021, pertumbuhan ekonomi kuartal III 2021 hanya setengah dari kuartal II 2021. Pertumbuhan ekonomi negara Global seirama mengalami penurunan, misalnya Tiongkok dan Amerika Serikat 4,9%, German 2,5%, Korea Selatan 4,0%, Singapura 6,5%, serta yang paling runtuh pertumbuhannya yakni Vietnam -6,2%, akibat lonjakan pandemi varian Delta.
Kenyataan menunjukkan bahwa, upaya yang dilakukan selama ini, seperti sosialisasi protokol kesehatan dan imunisasi, belum serta merta mengakhiri pandemi. Artinya meski suatu kecerobohan kebijakan negara menjadi setiap perilaku normal, ancaman akan terus mengintip dibalik tingginya gelombang Covid yang belum berakhir. Pandemi Covid-19 dan variannya masih menjadi tantangan bagi perekonomian global dalam jangka pendek. Sementara, isu perubahan iklim masih menjadi tantangan ekonomi global dalam jangka panjang.
Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi pada triwulan III 2021 tercatat sebesar 3,51%, lebih rendah dari perkiraan proyeksi (4,5%). Namun pada kenyataannya sudah diprediksi sebelumnya dengan mengamati situasi pandemi yang gila-gilaan. Kita patut mengapresiasi bahwa ada beberapa sektor lain yang mengalami pertumbuhan positif di Q2 2021 (QoQ) seperti contohnya Sektor manufaktur 2,35%, konstruksi 5,13%, pertambangan dan penggalian 4,20%, kesehatan dan kegiatan sosial 16,10%.
Hal ini menunjukkan bahwa, tidak semua sektor mengalami penurunan QoQ. Padahal, jika dicermati dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Q3 2020, YoY), beberapa sektor (misalnya pertambangan dan perdagangan) bisa tumbuh lebih dari 5%. Tentu saja ini merupakan pencapaian yang membanggakan karena dapat mencerminkan harapan yang baik untuk masa depan.
Jadi pekerjaan rumah jangka pendek (sebelum akhir tahun) adalah dengan serius memperhatikan protokol kesehatan dan vaksinasi agar kesalahan sebelumnya tidak terulang. Pelajaran dari negara lain juga sangat penting untuk aplikasi praktis, seperti menjaga protokol medis, bahkan jika tingkat vaksinasi sudah melebihi 70%.
Selanjutnya jelas, resesi pada triwulan III 2021 sangat dipengaruhi oleh penerapan kebijakan PPKM yang ketat, membuat dunia usaha lesu. Pembatasan mobilitas ekonomi menyebabkan perlambatan produksi, distribusi dan konsumsi. Sementara itu, pelonggaran kebijakan secara bertahap akan memberikan kesempatan bagi pengusaha untuk bernafas. Mitigasi tersebut hanya bisa dilakukan ketika penyebaran virus sudah melambat (seperti sekarang). Oleh karena itu, semua pihak harus mewaspadai bahwa kondisi setiap pergerakan ekonomi dimulai dengan pengendalian penyebaran virus.
Presidensi G20 Gotong Royong untuk Berdaya
Minggu, 31 Oktober 2021 adalah hari bersejarah bagi Indonesia sebagai bangsa dan negara. Untuk pertama kalinya, Indonesia peroleh kepercayaan meneruskan estafet presidensi G20 pada tahun 2022. Secara simbolis, Perdana Menteri Italia, Mario Dragh menyerahkan langsung amanat sidang kepada Presiden Joko Widodo yang kemudian menerima dengan mengetukkan siding palu tersebut. Momentum penyerahan presidensi G20 dari Italia ke Indonesia menutup pelaksanaan KTT G20 Roma di La Nuvola, Roma, Italia.
Hal yang patut disyukuri sangat menarik, presidensi G20 Indonesia mengusung tema besar “Recover Together, Recover Stronger” atau “Pulih Bersama, Pulih Lebih Kuat”. Melalui pemilihan tema tersebut, Indonesia hendak mengajak seluruh dunia tanpa terkecuali untuk saling mendukung, bahu membahu, dan gotong royong untuk pulih dari dampak pandemi Covid-19 dan tumbuh lebih kuat.
Presidensi G20 Indonesia berkomitmen pada pertumbuhan yang inklusif, people-centered, ramah lingkungan, dan berdaya bersama. Tema besar ini sangat mencirikan nilai-nilai dan individualitas masyarakat Indonesia, yakni konsep gotong royong. Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan juga membutuhkan kerja sama yang saling menguntungkan.
Pandemi Covid-19 yang melanda hampir semua bidang kehidupan, membangkitkan kesadaran akan nilai Gotong Royong di tengah situasi krisis akibat pandemi Covid-19, di era yang sering kita sebut dengan VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity), gotong royong bagai cahaya lilin di tengah gelap, bukan hanya untuk Indonesia tapi juga untuk dunia.
Kesehatan dan pemulihan ekonomi yang tidak merata pasca pandemi Covid-19 menjadi tantangan bagi semua negara. Menjadikan kesenjangan dalam pemulihan kesehatan, akses vaksin, dan pemulihan ekonomi global sebagai prioritas utama adalah kekuatan pendorong tujuan diadakannya Forum.
Forum KTT G20 2022 akan lebih berfokus pada isu-isu prioritas seperti pemulihan ekonomi dan kesehatan yang inklusif dan transformasi ekonomi digital. Aturan negara yang berbeda tentu akan menghambat pemulihan ekonomi global yang tidak merata. Pemerintah juga saat ini perlu mengangkat isu terhadap penyeimbangan akses teknologi dan alat untuk mempercepat pembangunan energi berkelanjutan.
Presidensi G20 2022 akan resmi dibuka pada 1 Desember 2021 dan berlangsung hingga 30 Oktober 2022. Pelaksanaan G20 2022 akan mencakup 150 pertemuan, dengan 20.988 delegasi yang diharapkan hadir dari semua negara G20 dan negara tuan rumah.
Sekedar informasi yang perlu diketahui yakni, Indonesia sebagai negara terpilih memiliki kesempatan pertama kali untuk menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of 20 (G20), sejak didirikannya perkumpulan tersebut pada 1999. Dikutip melalui situs resmi G20 (g20.org), G20 terdiri dari 20 negara, bank sentral, dan Uni Eropa dan dibentuk pada 26 September 1999. Organisasi ini berfokus pada perekonomian dan keuangan global.
Presidensi G20 Indonesia pada 2022 diyakini akan membawa banyak manfaat bagi Indonesia. Salah satu hal yang didapatkan negara Indonesia saat menjadi tuan rumah G20 adalah kesempatan untuk menetapkan agenda pembahasan G20. Distribusi kesehatan dan ekonomi yang tidak merata setelah pandemi Covid-19 menjadi masalah bagi semua negara.
Di Indonesia, disparitas pemulihan kesehatan, akses vaksin, dan pemulihan ekonomi global akan menjadi prioritas. Modal dasar Negara Indonesia antara lain pertumbuhan ekonomi pada triwulan III tahun 2021 yang tercatat 3,51%, dan tren penurunan kasus Covid-19 di Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali.
Hal ini menjadi angin segar bagi pemerintah nantinya dengan diadakan Presidensi G20 dapat meningkatkan konsumsi domestik hingga Rp 1,7 triliun, menambah PDB nasional hingga Rp 7,4 triliun, dan menyerap tenaga kerja sekitar 33 ribu di berbagai sektor. Manfaat ekonomi yang diperoleh dari Presidensi G20 diharapkan bisa mencapai 1,5 sampai 2 kali lebih besar dari acara IMF-WB Annual Meeting pada 2018.
Optimisme Pemulihan Ekonomi Meningkat, Namun Tetap Waspada Menghadapi Risiko Akhir Tahun
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Q3-2021 Masih on Track dan Menjaga Momentum Pemulihan Ekonomi Nasional. WHO dalam Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Situation Report – 79 per 3 November 2021, menyampaikan bahwa, seluruh provinsi di Indonesia berada pada Community Transmission (CT) Level 1 (Tingkat Penularan Rendah).
Seiring penurunan kasus Covid-19 yang terus berlanjut, pemerintah menurunkan leveling aturan pembatasan mobilitas. Dengan semakin meningkatnya aktivitas ekonomi dan perbaikan berbagai leading indicator, optimisms pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV-2021 itu masih terdapat peluang. Melihat data Q3 2021, setidaknya kita perlu melihat tiga hal aspek utama. Pertama, konsumsi pemerintah (pertumbuhan PDB menurut pengeluaran) pada triwulan III 2021 turun menjadi 0,66%.
Dalam situasi saat ini, belanja yang lamban akan menghambat pemulihan ekonomi, karena semua pihak bergantung sepenuhnya pada anggaran belanja pemerintah. Kedua, sektor pertanian tumbuh positif namun masih sangat lambat (1,31%). Sektor ini memiliki potensi besar dan jumlah tenaga kerja yang sangat tinggi. Jika pertumbuhan bisa mencapai minimal 3%, Negara memiliki keuntungan meningkatkan kekayaan dan daya beli.
Ketiga, Papua, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan menunjukkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi secara signifikan di atas 4% (Maluku dan Papua juga mencapai 9,15%). Jawa dan Sumatera tumbuh moderat (3,03 ± 3,78%). Persoalannya, pertumbuhan negatif (0,09%) di Bali dan Nusa Tenggara perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat.
Perbaikan aktivitas ekonomi didorong oleh perbaikan perekonomian global serta peningkatan permintaan komoditas ekspor Indonesia di dunia. Namun akibat adanya varian delta, perekonomian Bali Nusra yang bergantung pada pariwisata kembali mengalami kontraksi akibat adanya pembatasan mobilitas manusia dan pelarangan penerbangan destinasi wisata dari negara-negara mitra.
Pertanyaan utamanya adalah: Seperti apa perekonomian pada tahap akhir tahun 2021? Melihat situasi saat ini, sepertinya bisa mencapai 5% pada kuartal keempat tahun 2021. Kontribusi besar utama saat ini adalah Kecepatan Pemulihan ekonomi akan sangat bergantung pada penanganan Covid-19 (Program PEN) serta berbagai Kebijakan Pemulihan Ekonomi. Sehingga peluang pertumbuhan ekonomi dapat direalisasikan pada akhir tahun.
Tiga tugas utama pemerintah adalah menyerap belanja, menggenjot sektor/wilayah ekonomi yang masih belum aktif, dan memastikan perayaan Natal dan Tahun Baru tidak memicu wabah hingga akhir tahun.
Pemerintah harus menyerap anggaran secara penuh untuk mendorong bantuan sosial dan pemulihan ekonomi. Untuk memaksimalkan sisa waktu saat ini, Pemerintah bisa beralih ke pertanian dan sektor lain yang memiliki tren masih tumbuh dan pada posisi penyerapan tingkat yang masih rendah. Begitu juga dengan daerah pertumbuhan yang memiliki tren negatif (Bali dan Nusa Tenggara). Selebihnya penguatan mobilitas warga harus dipertaruhkan di akhir tahun agar kejadian tahun lalu tidak terulang kembali. Harus diingat bahwa, setiap kebijakan yang ceroboh, ada nilai harganya menuju babak akhir di tahun 2021.
*Penulis adalah Alumnus FEB Universitas Airlangga (Unair) dan Kader HMI Cabang Surabaya.