Oleh Farhat Abbas *)
Merenungkan kembali gagasan jahat yang a nasionalis tentang perpanjangan masa jabatan tiga periode ataupun menambah tahun dalam periode kedua ini, tak lepas dari konspirasi rapi, dari anasir dalam negeri (inner circle ataupun kaki-tangannya diluar istana) dan anasir asing. Ada beberapa hal yang perlu kita soroti tajam dari format politik a priori dan egoistik yang lebih mengartikulasikan kepentingan sempit penguasa dan gengnya itu.
Yang perlu kita garis-bawahi bahwa, pertama, perpanjangan masa jabatan lebih dari lima tahun yang masih dalam satu periode itu ilegal menurut konstitusi. Karena itu sejatinya telah hilang otoritasnya per 1 Oktober 2024 nanti. Ilegalitas kekuasaannya, sebagai hal kedua, membuat rakyat tak punya kewajiban konstitusional untuk tunduk atau mentaati pemerintah dan tak boleh dikenakan sanksi hukum, apalagi tindakan represif bagi siapapun yang membangkannya dan atau yang menuntutnya secara demonstratif-massif-ekstensif.
Aparatur Penegak Hukum dan Keamanan
Aparatur penegak hukum dan keamanan pun akan dinilai melanggar hukum secara serius jika tetap menindak aksi rakyat yang kontra rezim. Inilah uji integritas aparatur tentara dan kepolisian, apakah setia pada negara dan konstitusi, atau memang menjadi alat kekuasaan. Sejauh ini memang, TNI dan kepolisian, sebagai individu atau kelompok, lebih memperlihatkan diri sebagai alat kekuasaan. Namun, hal ini karena mereka melihat posisi kekuasaan yang dinilai masih sah.
Dan hal ini memungkinkan berubah manakala telah terjadi kekosongan kekuasaan pasca 1 Oktober 2024. Di sinilah, potensi terjadinya prahara nasional bukanlah fatamorgana. Kita dapat memprediksi, dengan akumulasi persoalan nasional yang selama ini telah menderitakan berbagai elemen bangsa terkait sektor sosial, ekonomi, politik, hukum, ideologi, agama dan lainnya, semua itu bisa menjadi pendulum dahsyat yang mempercepat eskalasi ketidakpercayaan kepada pemimpin negara. Dan artikulasi demonstratif merupakan tindakan normal. Wajar.
Langkah Memadamkannya
Ada satu langkah untuk memadamkannya: Presiden mengeluarkan dekrit. Jika berhasil, dekrit satu-satunya cara untuk mendapatkan legalitas kekuasaannya tetap dalam genggamannya. Dengan dekrit yang berhasil, aparatur keamanan dapat dipaksa untuk loyal pada kemauan rezim. Sebuah renungan, apakah mereka tetap menjadi robot? Cukup diragukan, apalagi dalam komponen petinggi TNI bahkan POLRI juga tak sedikit yang kepencut: ingin juga jadi presiden, minimal wakil presiden. Ambisi politik ini akan membuat keraguan untuk tetap loyal dan merelakan diri sebagai robot bagi kepentingan rezim.
Proyeksi konflik vertikal-horizontal di atas kertas, akan membuat negeri ini berpuing-puing, tak ada komando dan kekuasaan yang efektif. Yang perlu kita soroti lebih jauh, apakah potret keberantakan bangsa dan negeri ini memang diinginkan sang rezim? Jawabannya bukan pada personalitas sang rezim, tapi bersama siapakah dirinya? Siapa kompradornya? Seberapa besar anasir asing dalam peta konflik domestik negeri ini? Ketika anasir asing memang tampak dominan, maka keterpuingan negeri ini memang menjadi skenario global. Targetnya jelas: memperlancar dan mempermuah upaya penguasaan sumber daya dalam negeri, terkait sumber daya alam dan mineral, posisi geografis negeri dalam spektrum kelautan, daratan dan dirgantara. Juga, pertimbangan jumlah penduduk yang juga potensial secara pasar.
Kepentingan Global
Mencermati kepentingan global itu, maka rezim diperkirakan akan gunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya, sekalipun harus dengan mengeluarkan dekrit. Keberanian ini tak lepas dari faktualitas persebaran paramiliter asing di berbagai sentra Nusanara, meski kini “berbaju” tenaga kerja asing (TKA). Kekuatan asing dari negeri Tirai Bambu ataupun Paman Sam, relatif sama kepentingannya untuk mengakuisisi negeri ini. Tak ada cerita persaingan bilateral untuk memperebutkan satu wilayah yang sama. Yang terjadi adalah kesepahaman berbagi wilayah dan atau konsesi. Terjadi “main mata” mesra.
Karena itu, skenario global yang siap digelar di bumi Indonesia sejatinya merupakan agenda oligarki asing yang untuk mengefektifkannya harus menggalang kekuatan kompradoristik dengan elemen oligarikis dalam negeri. Dalam hal ini rezim yang sudah main mata sejak berkuasa menjadi sekutu yang akan diback up secara all out. Karena kepentingan oligarki asing dan domestik inilah, kita saksikan sejumlah agenda pembangunan yang ambisius meski tak rasional. Itulah pembaguna ibukota baru (IKN) di Penajam Paser Utara (Kalimantan Timur) yang tak dilandasi studi kelayakan yang komprehensif, terkait topografi lingkungan terutama sumberdaya air pendukung wilayah, sosial-budaya, konsekuensi mobilisasi migrasi aparatur pemerintahan beserta keluarga yang sangat related dengan ketersediaan sarana dan prasarna tempat tinggal. Dan satu lagi tentang kemampuan finansial.
Berapa Finansial untuk Pembangunan IKN?
Terkait finansial, beberapa waktu lalu dikumandangkan alokasi anggaran sebesar Rp 466 trilyun untuk pembangunan IKN. Saat awal “diperkenalkan” IKN pada pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2018, pembiayaannya tak membebani APBN. Lalu, siapakah yang membangunnya? Anasir swasta? Jika swasta, apakah sistemnya sekedar membangun sarana dan prasarananya saja, atau sistem built on transfer (BoT)? Jika sistem BoT, siapa yang bakal menguasai medan pelaksana administrasi pemerintahan? Jika swasta tersebut menuntut kompensasi ikut serta dalam pelaksanaan administrasi itu, apakah ada jaminan keterjagaan kerahasiaan negara?
Pertanyaan mendasar itu sangat relevan untuk dilontarkan jika pengisi jabatan pemerintahan di IKN justru dari pihak asing, apalagi untuk jabatan strategis. Sejalan dengan kendala migrasi aparatur kita dalam jumlah besar, maka layak kita cemaskan informasi migran China yang konon sudah menyiapkan angka kisaran 5 jutaan orang untuk formasi jabatan yang tidak segera terisi. Harus kita catat, proyeksi pengisian jabatan oleh migran asing menggambarkan proses penguasaan medan administrasi pemerintahan, yang perlahan tapi pasti, akan terjadi derap politik menuju pergantian kekuasaan. Akan segera berkibar bendera, bukan lagi sang saka Merah Putih.
Konsekuensi Logis Politik
Konsekuensi logis politik itu tampaknya dibaca dan direview, sehingga belum lama ini dikumandangkan beban anggaran pembangunan IKN dari APBN, sebesar Rp 466 triyun. Sekitar 53,7% bersumber dari keuangan negara yang eksplisit nomonklaturnya untuk pembangunan IKN. Sebesar 20% dari unsur swasta dan lainnya (26,3%) akan diambil dari APBN juga tapi dari pos-pos lain dari berbagai kementerian.
Ada catatan yang layak kita tegaskan, sebesar 53,7% APBN benar-benar menggambarkan kebijakan egoistik. Tidak punya sense of crises atas derita sosial-ekonomi bangsa yang kini masih terasa akibat badai Covid-19. Dan sebesar 26,3% anggaran yang siap diambil dari pos di berbagai kementerian, hal ini akan semakin memberatkan proses recovery sosial-ekonomi rakyat yang masih sempoyongan karena pandemi Covid-19. Bahkan, porsi anggaran dari pos-pos kementerian berpotensi besar penyalahgunaan (korupsi dan bentuk lainnya) yang berdampak negatif bagi kepentingan pembangunan IKN. Seperti kita ketahui bersama, indikasi akan dilakukah penylahgunaan itu sudah terendus. Belum lama ini Kementerian Tenaga Kerja terbikan aturan jaminan hari tua (JHT) yang hanya bisa diambil setelah usia 56 tahun. Akan berapa ratus trilyun rupiah endapan dana JHT yang siap digunakan lebih dulu?
Yang menarik lagi adalah prosesntase 20% dari unsur swasta. Benarkah alokasi prosentase itu? Sekedar memberikan peluang atau hanya siasat agar swasta masuk lebih jauh dan tidak terendus motifnya? Mencermati angka anggaran pembangunan IKN yang bernilai Rp 466 trilyun versus investasi yang sempat disepakati sejumlah investor (China, Jepang, Dubai dan Qatar), ternyata bukan 20% yang dicadangkan, tapi justru hampir 300%. Karena itu, jatah 20% yang diinformasikan lebih megarah pada upaya mengakali secara tricky. Berhasil “membobol” APBN khusus untuk pembangunan IKN dan pos-pos di berbagai kementerian. Sementara, anggaran pembangunan yang dicadangkan dari para investor yang nilainya sesuai kesepakatan, sebesar AS$ 100 milir atau Rp 1.430 triliun.
Satu hal yang cukup menggelikan, Luhut Binsar Panjaitan (LBP), pada 1-4 Maret berkeliling ke China, Jepang, Arab Saudi, Dubai dan Qatar. Kok, LBP ingat negara-negara Islam-Arab yang selama ini dikumandangkan sebagai “kadrun”? Tidak tertutup kemungkinan, lebelisasi kadrun yang disematkan rezim, setidaknya oleh para buzzerRp, merupakan salah satu faktor yang membuat Muhammad ibn Salman (putera mahkota Arab Saudi) menarik diri dari rencana investasinya sebesar AS$ 45 miliar. Begitu juga, Dubai dan Qatar yang mencermati dominasi politik islamofobia negeri ini terpaksa tidak melanjutkan rencana investasinya. Sedangkan Softbank, perusahaan modal ventura Jepang, pada 12 Maret kemarin menyatakan mundur dari komitmen kesertaan membangun IKN. Kini, LBP pun panik, karena tidak akan cukup mengandalkan alokasi APBN semata.
Perlu kita garis-bawahi, megaproyek IKN hanyalah menggiring rasio pembenar untuk memperpanjang masa jabatan presiden, meski tetap dalam satu periode kedua ini. Sang rezim pun tak akan pernah mau introspeksi dominasi kegagalan kepemimpinannya, terkait sektor ekonomi dan meneter, sosial, politik, hukum, pertahanan, sisi keagamaan dan pernak-pernik kehidupan berbangsa dan bernegara. Hampir seluruh bidang tercatat merah raportnya. Karenanya, reaksi kontranya demikian meluas. Bukan hanya pemaksaan megaproyek itu bagai besar pasak daripada tiang, tapi adanya indikasi kuat tentang muatan kepentigan kaum oligarkis yang terus membuntuti rezim.
Yang memperihatinkan adalah megaproyek seperti IKN hanyalah hiden agenda yang bersifat antara. Yang harus dibaca lebih jauh adalah agenda global masa depan, yaitu how to occupy negeri ini, meski jangka pendeknya lebih ke sektor ekonomi (sumberdaya alam dan mineral) yang tak terhingga itu.
Sekali lagi, gagasan perpanjangan masa jabatan dalam periode kedua ini masih tetap dihembuskan. Belakangan ini muncul menuver: menekan partai politik untuk menyetujui gagasan itu. Dalam hal ini, pada 3 Maret, Luhut Binsar Panjaitan (LBP), mengundang para Ketua Umum partai politik di Hotel Mulia Senayan (Jakarta). Yang hadir Ketua Umum Golkar, PKB dan PAN. Sedangkan PDIP, Gerindra, NasDem dan PPP menolak hadir. Arahnya, membangun komunikasi politik yang diinginkan istana. Muncul renungan, mengapa ketiga partai politik itu yang memenuhi undangan LBP?
Jawabannya sederhana: ketiga Ketua Umum partai politik itu tersandera kasus hukum. Jika membangkang, masa depan politik ketiga ketua umum itu akan tamat. Juga, akan berkahir di belik jeruji besi. Karena itu, ketiga ketua umum tersebut tampaknya tak berdaya dan hanya satu kata: sendiko dawuh pada skenario istana. Ketiga ketua umum partai politik itulah yang akan memainkan drama politiknya di parlemen, di samping menggiring opini publik. Arahnya bukan bicara amandemen Pasal 7 UUD NRI 1945, tapi pelemahan kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Ketiga fraksi dari Golkar, PKB dan PAN akan memainkan persoalan anggaran penyelenggaraan pemilu. Dengan dalih problem keuangan negara akibat Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari tahun dan belum ada tanda-tanda keberakhirannnya, maka krisis keuangan ini sengaja dihembuskan. Arahnya membuat KPU tak akan siap laksanakan amanat UU kerena tidak tersedia anggaran yang cukup.
Penjegalan anggaran, sesuai fungsinya, antara lain penyusunan anggaran, mereka akan mengulur waktu (takes time) dengan sejumlah argumentasi “ngeyelnya”, meski sekedar mencari-cari alasan. Inilah yang bekal dimainkan secara maksimal, sehingga waktu ke 14 Februari 2024 semakin terkurangi secara signifikan. Ketok palu anggaran yang tak kunjung pasti akan berdampak (menyulitkan) KPU ambil jadwal pelaksanaan. Hal ini akan membuat KPU secara kondisional dibikin tak berdaya untuk melaksanakan etape persiapan, terutama yang terkait dengan konsekunsi finansial.
Itulah skenario pelemahan KPU. Yang perlu kita catat lebih jauh, bagaimana sikap PDIP, Gerindra, NasDem, Demokrat, PKS dan PPP? Konfigurasi suara mereka ini jelaslah lebih unggul dibanding total suara Golkar, PKB dan PAN. Karena itu keenam fraksi tersebut harusnya mampu “menyikat” siasat ketiga partai yang kini sudah mengumandangkan suara penundaan pemilu sesuai keinginan istana. Apapun intensitas lalu-lintas suara pro-kontra pemilu ditunda akan mewarnai gedung parlemen. Namun demikian, di atas kertas, pelemahan KPU akan mental, sebab pijakannya hanya mengakomodasi kepentingan sempit istana.
Dinamika Politik
Dinamika politik yang di atas kertas masih memburamkan ambisi rezim, maka tampaknya istana sedang membangun skenario lanjutan. Yaitu, mempersiapkan Panglima TNI, Andhika Prakasa sebegai penerus Jokowi. Salah satu indikator awal yang dapat dibaca adalah perpanjangan masa pensiun TNI sampai pada usia 60 tahun. Desain perpanjangan masa pensiun TNI sejatinya untuk mengakomodir kepentingan Panglima. Dan kebijakan ini tak lepas dari kepentingan rezim berkuasa dalam upaya membangun estafeta roda kepemimpinan yang sehaluan.
Rezim saat ini boleh berhenti sesuai habisnya masa jabatan. Tapi, rezim ini memandang krusial untuk mempertahankan keberlanjutan kebijakan yang telah diambil, di antaranya megaproyek IKN dan kemesraan hubungan dengan China. Sejalan dengan posisi strategis Andhika saat ini, maka nama-nama seperti Ganjar Pranowo, apalagi Puan Maharani dan Prabowo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil dan Chofifah Indraparawansa, bahkan Farhat Abbas tidak masuk dalam sebagai capres yang diharapkan rezim sekarang.
Meski demikian, sejumlah nama tersebut akan tetap dinilai strategis sebagai mitra utama pembangunan positioning Andhika menuju 2024. Tak tertutup kemungkinan, di antara tokoh itu akan digadang-gadang sebagai wakil presidennya. Tokoh yang dinilai sangat magnetik diperlukan: untuk mendulang suara dari berbagai komponen bangsa, termasuk kalangan ideolog dan reformis-nasionalis. Strategi ini harus dibaca dengan cerdas. Agar tidak terperangkap oleh desain politik tricky itu.
Boleh jadi, untuk menutup rapat desain yang tricky itu, akan dimunculkan peta konflik domestik. Desain itu menggiring kondisi politik bangsa-negara cheostik. Maka, Panglima akan dijadikan garda terdepan untuk pemulihan nasional itu. Meski pengendalian situasi ada di Kementerian Pertahanan, namun secara operasional yang bertindak di lapangan adalah TNI. Polri pun hanyalah komplemen stabilisasi. Di sanalah, Panglima TNI dinilai sebagai pihak yang paling berjasa dan pro rakyat.
Karena itu, situasi penting saat ini, di tengah krisis multidimensi yang makin akut dan jauh dari prospek penyelesaian maka pembiaran kondisi nasional sampai 14 Februari 2024 merupakan kondisi yang harus dipahami seluruh elemen bangsa. Jika terpancing dengan skenario konfliktual, maka rotasi kekuasaan justru akan jatuh pada pihak yang sesungguhnya tidak diharapkan seluruh rakyat. Situasi keterpaksaan hanya akan mengantarkan calon pemimpin yang tak jauh beda dari kondisi keamburadulan saat ini. Inilah kedewasaan bangsa ini. Tidak mudah memang. Tapi, sebagai bangsa yang yang sudah memasuki masa kemerdekaan 77 tahun dan 79 tahun nanti pada 2024, sudah seharusnya mampu membangun kedewasaan nasionalistik yang prima (matang). Tidak mudah tergiring ke skenario picik dan sempit.
Ada satu kisi yang harus dibaca dengan tegas dan jelas. Mencermati dinamika dan skenario jahat itu, Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) melihat adanya para “teroris” konstitusi yang bergentayanga. Mereka terus bergerilya untuk berusaha mengubah konstitusi. Juga membangun opini liar yang berusaha mengkondisikan rakyat agar menerima pandangan dan upaya memperpanjang masa jabatan. Juga, berusaha membangun komunike kepada ketua-ketua umum partai politik dengan tujuan serupa bahka lebih. Yaitu, ikut serta memgkondisikan pembenaran perpanjangan masa jabatan presiden (tiga periode atau tambah dalam periode kedua. Dan satu lagi, yakni skenario konfliktual yang mengarah ke situasi cheostik.
Para aktor itu jelas mengarah para perusakan bahkan penghancuran secara sistimatis dan terencana terhadap konstutusi. Mencermati kehancuran yang diprediksi sangat destruktif dari sisi sosial-politik, ekonomi, bahkan potensi kehancuran infrastruktur, maka seluruh aktor yang terlibat itu layak dicap lebih dari teroris yang kita kenal selama ini. Teroris konstitusi akan mendera jutaan penduduk negeri ini, disamping tatanan kenegaraan. Itulah sang teroris konstitusi yang harus membangkitkan kesadaran seluruh elemen bangsa, sebagai aparatur TNI-Polri, elemen masyarakat partai politik atau nonpartisan. Selagi berstatus warga negara Indonesia yang baik wajib untuk mengangkat “senjata” sesuai bidang atau kompetensinya. Arahnya, harus mampu mencegah gerakan inkonstitusional para teroris kekuasaan itu.
Dalam konteks ini, ada urgensi untuk mencatat siapa saja dan dari kelompok mana saja, dari lingkaran istana, para inner circle, para desainer survey, para cendekiawan bayaran dan para tokoh politisi yang semua itu menyetujui dan mendukung upaya memperpanjangan masa jabatan presiden harus daftar sebagai teroris. Stigma ini harus dihembuskan, karena peranannya memang ikut serta dalam menghancurkan kepentingan bangsa dan negara. (*)
*) Farhat Abbas, Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI).
Editor : Syaiful Hidayat