Oleh : Firman Syah Ali*)
Ramadhan bukanlah tentang tidak makan minum di siang hari.
Ramadhan bukanlah tentang buka puasa bersama.
Ramadhan bukanlah tentang makan sahur sekeluarga.
Ramadhan bukanlah tentang sholat tarawih lanjut tadarus.
Ramadhan bukan tentang itu semua.
Ramadhan adalah tentang sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih dalam dari itu semua.
Alhamdulillah kita sudah bersama Ramadhan lagi, yang juga berarti kita masih diberi kenikmatan tiada tara oleh Allah SWT untuk berjumpa dengan Ramadhan. Kepada keluarga dan teman kita yang wafat sebelum tiba Ramadhan 2022 kita doakan agar senantiasa diampuni segala dosa, diterima amal ibadahnya dan ditempatkan disisi Allah SWT Aamiin.
Alam semesta bersuka-cita dengan datangnya bulan suci ini karena Allah SWT berkenan menabur barokah dan ampunan. Obral ampunan tidak kita dapatkan selain dalam raja segala bulan ini.
Ritual dan tradisi masyarakat berbaur dalam bulan istimewa ini. Biasanya satu hari jelang Ramadhan kita ziarah ke makam orang tua dan para leluhur, lanjut tarawih berjamaah pada malam pertama puasa Ramadhan. Ada yang 23 rakaat, ada yang 11 rakaat. Usai tarawih berjamaah sebagian lanjut tadarus, sebagian langsung pulang dan tidur, tidak lupa menyalakan alarm jam 3 pagi untuk sahur.
Keesokan paginya santap sahur bersama keluarga, dalam keadaan ngantuk dipaksakan makan apa saja yang ada, lanjut sholat subuh berjamaah juga dalam keadaan ngantuk. Tentu saja tidak akan ngantuk jika dalam keseharian di luar bulan ramadhan kita terbiasa tahajjud dan subuh berjamaah ke Masjid.
Usai sholat subuh berjamaah sebagian lanjut tadarus, sebagian tidur lagi dan bangun jam 07.00 pagi bahkan bisa lebih dari itu. Bangun tidur setelah sholat dlhuha lanjut tadarus dll. Sore hari ba’dha ashar ada tradisi ngabuburit, terutama di kalangan anak muda. Ngabuburit adalah menunggu saat berbuka puasa dengan jalan-jalan keliling kota.
Tibalah kita pada ritual berikutnya yaitu buka puasa bersama keluarga, ada juga yang buka bersama teman-teman kantor, teman-teman organisasi kemasyarakatan dll. Usai buka puasa bersama lanjut sholat maghrib, isya’, tarawih, ceramah tarawih dan ditutup dengan sholat witir. Sehabis sholat witir, sebagian langsung pulang dan tidur, sebagian lanjut tadarus. Demikianlah ritus kita setiap hari sampai dengan 30 hari ke depan.
Di penghujung bulan ada Lailatul Qadar yang kita buru bersama-sama dan ditutup dengan Hari Raya Idul Fitri di mana semua orang bermaaaf-maafan dan bersilaturahim penuh suka cita. Anak-anak kecil dibelikan baju baru dan dikasih uang. Orang tua duduk jejer di kursi menerima sungkem dan permintaan maaf dari anak-anaknya.
Namun itu semua merupakan aspek eksoterik ramadhan, sama sekali belum menyentuh aspek esoteris. Meminjam istilah Bung Karno, itu semua baru abu dan debunya, belum apinya. Meminjam istilah Bang Haji Rhoma Irama, itu baru kulitnya belum isinya. Meminjam istilah Prof Mahfud MD, itu belum menyentuh esensi, belum menyentuh substansi.
Sebagaimana ibadah ritual lainnya, ibadah puasa selama bulan suci ramadhan juga hanyalah pemantik, latihan, atau pembuka dari sesuatu yang jauh lebih besar dan dalam. Itulah yang disebut rahasia di balik rahasia, mutiara di balik kerang. Ibadah puasa selama bulan suci ramadhan ini adalah kulit kerang yang sedang kita buka untuk mendapatkan mutiaranya. Apa mutiara puasa? Tentu saja ini menjadi kajian esoterisme, bukan lagi eksoterisme beragama.
Esensi puasa yang harus kita tangkap dari berlapar-lapar dan berhaus-haus tentu saja kemampuan untuk menahan diri dari segala jenis akhlak tidak terpuji. Sebab terang-terangan Allah berfirman, bahwa Nabi Muhammad SAW diturunkan ke muka bumi tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk memperbaiki keutamaan akhlak manusia.
Dalam kitab Bidayat Al Hidayah, Imam Ghazali menulis induk dari semua akhlak tercela di muka bumi ada tiga, yaitu Iri Dengki (hasad), suka pamer kepada sesama manusia (riya’) dan suka membanggakan diri (ujub). Orang yang memiliki ketiga sifat tidak terpuji ini sebetulnya sedang berusaha meniadakan ilahi, dia sedang berjalan menuju pengilahian diri sendiri. Dia tidak sadar bahwa di dunia ini yang ada dan abadi hanya Allah, selain Allah adalah ketidakadaan dan ketidakabadian.
Kita tentu tidak bisa lupa akan sejarah iblis yang awalnya bergelar Al-Muqarrabun saking dekatnya dan saking mengabdinya kepada Allah SWT, tapi dia terjebak pada perasaan diri paling mulia, paling ahli ibadah, paling dekat dengan Allah, dia mulai bangga dengan dirinya sendiri, dia lupa bahwa semua itu skenario Allah belaka. Maka ketika Allah menciptakan Adam, dia menjadi iri dengki dan memilih jalan oposisi terhadap Allah dan terhadap ras manusia.
Dengan sekelumit sejarah iblis di atas, kita jadi faham bahwa ritual ibadah saja tidak cukup dalam membangun keberagamaan yang paripurna. Karena ritual ibadah yang tidak berbuah akhlak mulia akan percuma saja, hanya akan tinggal lapar dan hausnya, hanya akan tinggal lelahnya.
Maka agar puasa kita tidak hanya dapat lapar dan haus, marilah kita jadikan ramadhan mulia ini sebagai kawah candradimuka character building, reparasi moral, bengkel akhlak. Dengan menjadikan ramadhan sebagai kawah candradimuka perbaikan akhlak, maka internalisasi spirit keberagamaan esoterik di Indonesia akan semakin optimal.
Memang tidak mudah berpuasa esoteris, tidak semudah berpuasa eksoteris. Meniadakan diri sendiri dan menganggap yang ada hanya Allah dengan cara membuang akhlak tercela bukanlah barang mudah. Namun dengan berikhtiar selama bulan Ramadhan 2022 ini, InsyaAllah kita akan bisa membuka kulit kerang dan menemukan mutiara dari ramadhan.
Apabila kita berhasil menemukan mutiara ramadhan tersebut maka esoterisme islam nusantara sebagaimana diajarkan oleh walisongo akan semakin eksis. Dengan modal akhlak mulia tentu masyarakat kita akan selalu hidup dalam baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur, gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo.(*)
*Firman Syah Ali, Kabid Keolahrgaan Dispora Jatim, Koordinator Wilayah Sahabat Mahfud Jawa Timur, dan Pengurus Harian LP Ma’arif NU Jatim.