Oleh : Denny JA *)
Apa jadinya jika di masa depan kota suci Vatikan berubah menjadi museum Katolik dan Kota Suci Mekkah berubah menjadi museum Islam?
Pertanyaan ini muncul jika di masa depan, peran agama akan sangat jauh menurun. Itu merupakan satu dari lima skenario agama di masa depan yang disampaikan oleh Daniel Dennett.
Dennet merupakan seorang ilmuwan sosial dan juga filsuf mengarang buku yang terkenal berjudul “Breaking The Spell”. (1)
Bagaimana kita merespon prediksi dari Daniel Dennett yang menyebut bahwa, Vatikan dan Mekkah akan menjadi museum agama?
Sebelumnya saya ingin tunjukkan dulu perkembangan mutakhir soal agama dalam berita yang ditangkap media.
Pertama ada berita dari Pew Research Center yang mengatakan bahwa, sekarang semakin banyak mereka yang non-Kristiani ikut merayakan Natal.
Merujuk pada data tersebut, sebanyak 81% dari mereka yang tidak percaya pada agama Kristen dan tidak menganut agama tersebut, ikut merayakan Natal.
Alasannya adalah karena mereka anggap Natal sebagai salah satu kekayaan kultural yang juga ingin mereka hayati, walapun mereka tidak percaya kepada Yesus Kristus.
Ada juga berita lain dari The Irish Time yang mewartakan bahwa, ia yang bukan muslimah dan tidak percaya kepada Nabi Muhammad, tapi ikut berpuasa dan ikut merayakan kekayaan dan ritual puasa itu.
Selain itu ada kabar lain, juga dari Pew Research Center, mengenai riset mereka yang menunjukkan perayaan umat Hindu yakni Dilwali atau Deepawali yang sekarang semakin banyak dirayakan oleh mereka yang bukan Hindu dan tak percaya agama Hindu.
Inilah realitas yang menyertai buku Daniel Dennett, bahwa begitu banyak fenomena agama yang sudah berubah.
Buku Breaking The Spell terdiri atas empat pokok pikiran.
Pertama mengenai bagaimana Daniel Dennett mendefinisikan agama. Bagi Daniel Dennett, agama itu sistem sosial yang menghadirkan agen supernatural.
Ia menilai hadirnya agen supernatural itu tak hanya diyakini tapi juga dimintakan berkahnya oleh pengikutnya. Selain itu, para pengikutnya juga mencoba hidup sesuai dengan apa yang mereka bayangkan sebagai titah, fatwa atau aturan yang didatangkan dan diberikan oleh supernatural itu.
Maka dengan definisi ini, banyak sekali agama, tidak hanya agama-agama besar yang kita kenal sekarang seperti Kristen, Islam, Hindu, Muslim, Buddha dan sebagainya. Data menunjukkan bahwa di era sekarang ini terdapat 4.300 agama. (2)
Kedua, buku ini menyatakan segala hal terkait dengan agama adalah objek dari science. Ini era ilmu pengetahuan mengeksplor semua dimensi yang terkait dengan agama.
Sesuai dengan judul bukunya itu, “Breaking The Spell”, menghancurkan mantra. Mantra yang ingin dihancurkan buku ini bukanlah ajaran agama, melainkan mantra yang melarang agama atau satu bagian dari area agama untuk diriset atau dimasuki oleh ilmu pengetahuan.
Daniel Dennett mengatakan, segala hal harus dipahami dan dieksplor oleh ilmu pengetahuan. Masa depan agama pun dan semua sisi serta spektrumnya yang kaya bisa dimengerti dari A sampai Z berlandaskan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.
Ketiga, yang penting dari buku ini soal metodologi. Bagaimana metodologi digunakan untuk memahami agama. Daniel Dennett meyakini apa yang disebut sebagai scientific materialism.
Ia meyakini realitas yang ada ini sepenuhnya realitas dunia materi. Karena itu realitas bisa dipahami secara scientific dan penjelasan yang harus diberikan pada agama adalah semata-mata penjelasan scientific.
Paham ini berangkat dari konsepsi dasarnya bahwa realitas ini hanyalah kumpulan materi. Konsekwensi tidak ada yang namanya supernatural. Analisa buku ini pun tidak menghadirkan satu kehadiran supernatural.
Ia menganalisa segala sesuatu hanya sebagai fenomena alam. Apa yang dianggap sebagai supernatural, oleh Dennett hanya dianggap sebagai salah satu evolusi dan imajinasi dalam cara berpikir manusia.
Dennett sendiri menilai bahwa, tak ada yang namanya miracle. Baginya, tak pernah ada yang namanya keajaiban karena tak ada yang bisa hadir dengan cara yang berbeda dengan hukum-hukum alam.
Jika pun ada, ia hadir karena hukum alam, dan itu bukan keajaiban melainkan hal normal belaka. Keajaiban hanya ada jika terjadi satu peristiwa di luar kehendak hukum-hukum alam. Itu mustahil terjadi, menurut Dennett.
Hal lain yang penting dari pendekatan Dennett dalam buku itu ia meyakini evolusi. Ia meyakini survival of the fittest.
Gagasan yang bisa bertahan hingga hari ini adalah gagasan yang paling sesuai dengan zamannya. Memang belum tentu itu gagasan terbaik. Akan tetapi gagasan itulah yang diterima oleh suatu komunitas. Kita memiliki banyak sekali komunitas.
Namun gagasan yang datang pada kita hari ini telah mengalami perubahan zaman. Ia berevolusi. Dennett menjelaskan hal itu dengan pendekatan cutural evolution. Dennett bukan hanya menggunakan teori-teori dalam evolusi Darwin, tapi juga menggunakan pandangan dari Richard Dawkins, yang menyatakan bahwa, gagasan pun juga berevolusi.
Menurut pandangan Dennett, dalam sejarah, hadir lebih dulu dunia materi yang tak ada tujuannya. Kemudian datang manusia yang membuat gagasan. Jika gagasan itu lemah, ia akan mati. Namun jika ia kuat, maka ia akan menjadi gagasan yang kokoh dan mengalami reproduksi berulang-ulang.
Semakin sering diulang, maka akan semakin banyak orang yang meyakininya. Gagasan yang kuat jika diulang lagi pada zaman yang berbeda dan tempat yang berbeda akan semakin kuat dan terus berkembang hingga masa kini.
Namun zaman berubah, akibatnya gagasan pun sebagian dimodifikasi. Sebagian ada yang diperkaya, sebagian ada yang ditafsir ulang.
Ada yang dimodifikasi karena semata-mata mengalami distorsi. Ada juga gagasan yang dimodifikasi karena zaman yang berubah dan interpretatornya menyesuaikan kondisi.
Dengan demikian, apapun yang sampai pada kita sekarang ini, ia lahir dari kompetisi gagasan dan lahir dari petarungan gagasan.
Dennett menunjukkan bahwa begitu banyak agama-agama yang sudah mati. Namun banyak juga agama yang bertahan hingga sekarang ini. Itulah cara Dennett memahami agama.
Lalu apa yang akan terjadi pada masa depan agama?
Dennett mengatakan dalam bukunya, sebagaimana yang saya kutip di awal, salah satu skenarionya agama akan sirna.
Kota Vatikan akan menjadi museum Katolik dan dikunjungi dalam rangka orang rindu pada masa silam. Kota Mekkah juga akan menjadi museum Islam. Orang mengunjunginya karena sekedar ingin mengunjungi museum.
Menurut Dennett, hal itu akan terjadi ketika science sudah bisa menjelaskan aneka realitas sosial jauh lebih baik ketimbang agama. Soal meaning of life, soal happiness yang selama ini menjadi wilayah agama pun sudah bisa diraih oleh manusia dengan menggunakan riset-riset dalam positif psikologi dan neuroscience. Pada saat itulah agama pudar.
Namun ada juga skenario kedua. Sebaliknya, agama justru menjadi kembali dominan.
Memang satu era telah lahir dari dunia enlightment. Itu abad pencerahan di mulai dengan abad ke-15. Lahirlah science.
Tapi lama kelamaan daya pukau science memudar dan manusia merasa bahwa wacana agama jauh lebih bermakna. Wacana agama jauh lebih ingin dipeluk.
Walaupun science hadir, namun kebangkitan agama menjadi lebih dominan. Dalam skenario ini, maka dunia di masa depan akan terpolarisasi. Akan ada wilayah Katolik di sana, wilayah Protestan, wilayah Islam, wilayah Hindu dan wilayah Buddha.
Ini lah masa depan di mana kita terbagi-bagi dan terpolarisasi berdasarkan agama.
Skenario ketiga: agama berubah bentuknya ke dalam bentuk yang belum pernah terjadi. Science berhasil membuat orang-orang tak lagi terpukau pada hal-hal yang supernatural.
Science menunjukkan narasi agama itu hanyalah imajinasi dari masa silam dan hanya merupakan bagian dari kesadaran manusia. Namun agama akan tetap bertahan tapi hanya dari sisi spiritualitas, moralitas, dan kekayaan kulturalnya.
Agama hanya akan tumbuh menjadi semacam community. Bahkan Dennett mengatakan bahwa agama akan sebagaimana layaknya komunitas sepak bola, atau komunitas sastra, atau komunitas seni.
Orang-orang senang berkumpul dalam komunitas itu karena mendapatkan satu nuansa lain.
Dalam skenario ini, yang bertahan dalam agama nanti berbagai anjurannya saja, seperti mengenai hidup bermoral, mengenai keadilan dan mengenai kebajikan. Namun sisi supernaturalnya akan hilang karena tak lagi diyakini oleh manusia.
Sedangkan skenario yang keempat adalah skenario yang berbeda lagi. Dalam skenario ini, Dennett menyatakan bahwa agama tidak sirna, namun agama juga tidak dominan. Agama hanya hadir secara minor saja.
Agama diyakini dan dibutuhkan oleh sekelompok orang tertentu saja. Namun di sisi lain, agama juga dihindari dan tidak diyakini oleh sebagian orang lainnya karena dianggap hanya merupakan bagian dari masa silam.
Dalam skenario itu agama hadir seperti rokok. Rokok juga hadir walau cenderung dianggap negatif oleh dunia kesehatan.
Walau rokok dianjurkan untuk dihindari untuk kesehatan tetapi di sisi lain, toh rokok juga tetap digemari oleh sekelompok orang lainnya.
Skenario lain yang kelima menurut Dennett adalah hadir dan semakin dominannya mereka yang menungggu kedatangan “The Second Coming of Christ.”
Mereka menanti datangnya kembali juru selamat. Atau datangnya kembali Imam Mahdi. Atau datangnya kembali Ratu Adil yang mereka anggap akan membuat dunia menjadi lebih bersih lagi.
Walaupun science sudah hadir, namun dianggap tak mampu membawa kesejahteraan kepada manusia.
Lima skenario inilah yang Daniel Dennett sampaikan berdasarkan pendekatannya dalam pandangan scientific materialism. Dennett sendiri tak menyatakan secara jelas mengenai skenario yang paling mungkin terjadi di masa depan, karena ia berpendapat bahwa masa depan adalah hal yang tak bisa kita ketahui secara pasti.
Namun Dennett sendiri selaku seorang free thinker, selaku seorang yang sekuler dan selaku seorang yang atheis, ia menyatakan bahwa, yang harus kita hindari adalah hadirnya dan semakin kuatnya fanatisme agama. Karena bagi Dennett, tak ada yang lebih bahaya ketimbang fanatisme agama.
Bagaimana kita merespon pandangan Dennett ini, baik kesimpulannya atau pun metodologinya?
Pertama, kita kupas dulu dari sisi metodologi. Dennett membawa pendekatan yang disebut scientific materialism dan cultural evolution. Saya pribadi sangat menyukai dunia science dan juga pendekatan scientific materialism.
Namun realitas selalu lebih kaya dari konstruksi pikiran. Scientific materialism itu hanyalah satu cara untuk mengonstruksi realitas. Tapi realitas tak pernah tuntas dikupas oleh berbagai aliran pikiran.
Dalam puisi kita tahu bahwa ada puisi Sutardji Calzoum Bachri yang mengatakan “Alif Ba Ta ku tak sebatas Allah”. Kira-kira hal itu menjadi simbol bahwa sehebat-hebatnya ilmu pengetahuan, ia tetap tak bisa mengungkap keseluruhan realitas. Realitas ini jauh lebih kaya.
Kita bisa bersandar pada pandangan Immanuel Kant, seorang filsuf yang membedakan antara nomena dan fenomena.
Kita tak pernah tahu nomena, tak pernah tahu realitas secara hakekat dan juga tak pernah tahu realitas apa adanya, realitas yang seasli-aslinya.
Hal yang bisa kita ketahui melalui indera dan melalui pengetahuan itu adalah fenomena. Fenomena sendiri adalah realitas yang sudah direduksi oleh indera manusia dan sudah direduksi oleh satu cara berpikir manusia.
Tapi cara berpikir manusia yang kita punya sekarang itu bukanlah satu-satunya cara melihat realitas. Karena itulah sehebat-hebatnya ilmu pengetahuan, ia tak pernah tuntas menjelaskan realitas.
Selalu ada ruang bagi misteri dan selalu ada ruang yang tak bisa dijelaskan bahkan oleh ilmu tertinggi sekalipun dari pendekatan scientific materialism.
Dunia misteri akan selalu hadir. Selama dunia misteri hadir, agama dan sistem kepercayaan pun akan selalu hadir. Hanya saja bentuk dan konsepsi agama yang bisa berbeda-beda sesuai dengan mindset zamannya.
Sejarah sudah menunujukkan itu. Dulu itu kita meyakini ada Animisme. Sekarang kita meyakini Monoteisme. Sebelumnya ada Panteisme. Semua gagasan itu berevolusi dan tak berhenti di hari ini.
Bahkan agama yang kita kenal seperti sekarang Kristen, Islam, Hindu dan Buddha, usianya baru sekitar 2.000-3.000 tahun. Sementara itu usia Homo Sapiens sudah mencapai 300.000 tahun. Jadi agama yang hadir dan yang kita yakini sekarang ini hanyalah agama yang hadir satu persen dalam sejarah Homo Sapiens.
Metodelogi yang digunakan Dennet, scientific materialism, sangat kuat. Namun pendekatan itu hanya bisa menjelaskan separuh dari realitas.
Pendekatan itu tetap tak bisa menjelaskan nomena, yaitu kenyataan secara hakekat.
Respon kedua mengenai masa depan agama ini, kita meyakini bahwa di era sekarang, keberagaman yang ada sangat luas. Sehingga tidak akan pernah ada satu jenis realitas saja. Tidak akan pernah ada satu jenis gagasan saja.
Kelima skenario agama yang dipaparkan oleh Dennet akan hadir sekaligus.
Banyak yang meyakini agama akan sirna. Banyak pula yang meyakini agama akan dominan kembali. Ada pula yang meyakini pada datangnya “The Second Coming of Christ” atau “The Second Coming of Imam Mahdi”. Ada pula yang meyakini agama hadir tapi hanya sebagai komunitas kecil saja.
Semua keberagaman sikap atas agama akan tetap hadir karena beragamnya cara berpikir manusia.
Namun saya pribadi lebih menikmati hadirnya komunitas baru yang melihat agama-agama ini sebagai satu kekayaan kultural.
Seperti yang tadi kita tunjukkan bahwa kini, meskipun mereka tidak percaya pada Yesus Krisus dan tidak percaya ia lahir pada 25 Desember, namun mereka masih tetap bisa menikmati aura dan fenomena dari Natal.
Selain itu, mereka yang tak meyakini Islam dan tak percaya Nabi Muhammad dapat wahyu, tetap juga bisa menikmati keindahan dari bulan puasa.
Pun demikian, mereka yang tak percaya Hindu dan tak percaya pada kitab sucinya, tetap bisa menikmati kisah-kisah wayang, kisah tentang Ramayana dan sebagainya.
Itulah masa depan, di mana agama akan hadir sebagai kekayaan kultural milik bersama. (*)
CATATAN :
(1) Breaking The Spell, terbit tahun 2006:
https://www.complete-review.com/reviews/religion/dennettd.htm
(2) Total jumlah agama saat ini sebanyak 4300:
https://www.theregister.com/2006/10/06/the_odd_body_religion/
*Denny JA, Founder LSI-Denny JA dan Penulis Buku.