Opini  

Suasana Indonesia di Satu Era di Perpustakaan Digital Melalui 300 Karya Denny JA

Oleh Satrio Arismunandar *)

“Perpustakaan digital adalah tempat di mana masa lalu bertemu masa kini dan menciptakan masa depan.” (Presiden India 2002-2007, Abdul Kalam)

Denny JA sangat menyadari arti kutipan di atas. Di masa depan, lima puluh tahun dari sekarang, bahkan seratus tahun dari sekarang, kita dapat menggali suasana politik, ekonomi dan budaya Indonesia, di tahun 1980-2022, juga melalui karya Denny JA.

Sebanyak tiga ratus karya Denny JA adalah respon intelektualnya atas situasi sosial yang terjadi. Berbagai karyanya itu tetap bisa diakses publik luas, dimanapun, oleh siapapun, kapanpun, karena sejak masa kini semua karyanya disimpan di perpustakaan digital.

Tak hanya tertulis dalam bahasa Indonesia, sekitar seratus lebih karya Denny JA itu sudah diterjemahkan atau diberikan substitel bahasa Inggris. Tidak hanya berbentuk teks, karyanya itu juga berbentuk audio visual: film, video animasi dan video orasi.

Melalui karya Denny JA itu, kita dapat mengenang kembali bagaimana persepsi, jeritan dan harapan publik Indonesia menghadapi pandemik Covid-19 di tahun 2020-2021. Denny JA membuat delapan film soal tema covid-19 yang dibintangi mulai dari Christine Hakim, Reza Rahadian, Ine Febriyanti, Marini, hingga Agus Kuncoro. Film itu dibuat berdasarkan cerpen esai Denny JA.

Kita juga dapat menggali masa awal reformasi di Indonesia di tahun 1998, yang menjatuhkan Suharto. Era ini direkam melalui buku Denny JA yang juga merupakan disertasi doktornya di Ohio State University, Amerika Serikat.

Apa yang terjadi ketika Suharto jatuh? Apakah demokrasi datang menuntaskan hal ihwal isu diskriminasi antar warga negara? Denny JA bersama Hanung Bramantyo membuat film soal lima isu diskriminasi yang memfiksikan kisah sebenarnya, di era tahun 1990an – 2012. Lima film itu dibuat berdasarkan lima puisi esainya.

Bagaimana pertarungan antara NKRI syariah versus Pancasila? Bagaimana masa awal pemilihan presiden langsung di Indonesia? Bagaimana komplikasi datangnya era digital? Bagaimana masa awal datangnya era webinar?

Apa yang membuat Denny JA dipilih oleh Majalah TIME sebagai 30 tokoh bersama Presiden Obama dan Justine Bieber? Apa yang membuatnya menjadi orang kedua di Indonesia yang dicalonkan Nobel Sastra? Bagaimana bisa Denny ikut memenangkan empat kali pemilu presiden berturut-turut?

Kok bisa Denny JA memecahkan rekor dunia Guiness Book of World Record? Apa pula yang membuatnya menjadi orang pertama di dunia lukisan NFT yang lukisannyaterjual satu milyar rupiah di lelang terbuka Opensea?

Bagaimana biografi Denny JA? Bagaimana bibliografinya?

Semua pertanyaan itu tersimpan dalam web digital Denny JA. Apalagi dalam web ini, tersedia pula link menuju akun media sosialnya di Facebook, Instagtam, Twitter dan Youtube.

Denny JA ikut memulai tradisi digitalisasi keseluruhan karyanya untuk bisa diakses publik luas di internet secara gratis.

Seandainya ilmu pengetahuan dan peradaban bisa tercatat sepenuhnya di buku-buku, maka perpustakaan tempat menyimpan buku-buku itu memainkan peran krusial dalam kemajuan peradaban manusia.

Di zaman keemasan Islam (the Golden Age of Islam) sekitar tahun 800-an Masehi, ada Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad, Irak. Didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid dari kekhalifahan Abbasiyah, Baitul Hikmah merupakan perpustakaan terbesar di dunia. Di zaman itu, Baghdad adalah pusat ilmu pengetahuan dan peradaban.

Di zaman kita, ada perpustakaan terbesar di dunia, Library of Congress di Washington, AS, yang memiliki 162 juta koleksi buku, jurnal, dan lain-lain. Ada juga The British Library di London, Inggris, dengan 150 juta koleksi. Dan banyak lagi.

Namun, perpustakaan tradisional memiliki keterbatasan. Ia butuh ruang yang semakin besar untuk koleksi yang semakin bertambah. Juga, ada batasan jam kerja pustakawan, yang membuat kita tidak bisa mengakses koleksi perpustakaan sesuka kita. Selain itu masih ada sejumlah kekurangan lain.

Untunglah, kemudian terjadi perkembangan pesat dalam teknologi informasi dan komunikasi. Perpustakaan pun mengalami digitalisasi, sehingga muncul yang dinamakan perpustakaan digital.

Perpustakaan digital adalah jenis perpustakaan yang menampung koleksi terpusat item digital, seperti teks, grafik, audio, dan materi video, file dalam format media elektronik, bersama dengan metode untuk mengatur, menyimpan, dan mengambil atau mengakses media tersebut.

Perpustakaan digital memiliki ukuran dan cakupan yang beragam. Ia dapat dikelola oleh individu, organisasi, atau bangunan perpustakaan fisik yang mapan, atau lembaga yang berafiliasi dengan lembaga akademik atau lembaga yang disetujui.

Menurut situs astrialibrary.com, ada beberapa keunggulan perpustakaan digital. Pertama, tersedia keragaman konten yang meluas. Perpustakaan tradisional tidak memiliki fleksibilitas untuk memasukkan beragam konten karena keterbatasan ruang fisik.

Perpustakaan digital, di sisi lain, menyimpan berbagai konten dalam lingkungan virtual, termasuk e-Book, majalah, artikel, blog, makalah, video, podcast, dan buku audio. Perpustakaan digital modern menyimpan sumber dayanya di cloud, sehingga penggunanya dapat mengaksesnya kapan saja dan dari lokasi mana pun.

Kedua, mudah diperbarui. Perpustakaan kecil, berbeda dengan universitas dan perpustakaan besar, seringkali kekurangan dana yang cukup untuk membeli buku, majalah, dan sumber konten baru lainnya. Namun, perpustakaan digital bisa selalu dibuat up to date secara teratur.

Banyak penerbit sekarang mengizinkan perpustakaan digital, untuk membuat edisi dan majalah terkini tersedia bagi pembaca dengan basis bayar-per-baca (pay-per-read). Maka, dengan memberi akses ke publikasi terbaru, perpustakaan digital dapat menarik minat pembaca.

Ketiga, akses sesuai permintaan (on-demand access). Pembaca muda lebih menyukai versi buku digital karena mereka dapat membacanya kapan pun dan di mana pun mereka mau. Mereka juga dapat mengakses e-Book melalui perangkat seluler kapan saja dan dari lokasi mana pun.

Berbeda dengan perpustakaan tradisional, perpustakaan digital memungkinkan pembaca untuk mengakses sumber daya digital melalui internet, menggunakan perangkat apa pun, seperti komputer, tablet, atau smartphone.

Keempat, metode pencarian sederhana. Mencari informasi terkait dalam buku fisik membutuhkan waktu. Sebaliknya, perpustakaan digital dirancang dengan kemampuan pencarian bawaan. Banyak perpustakaan digital bahkan menggunakan mesin pencari populer, seperti Google, Bing, dan Yahoo, untuk mempercepat pencarian konten.

Akibatnya, pembaca dapat menemukan informasi yang mereka butuhkan dengan cepat. Dengan memasukkan kata dan frasa yang relevan, mereka juga dapat menggunakan fitur pencarian untuk menemukan dan menyortir sumber daya digital.

Kelima, ketersediaan 24/7. Perpustakaan tradisional memiliki jam kerja, dan membatasi akses pengguna dalam menggunakan sumber daya perpustakaan. Sebaliknya, perpustakaan digital memungkinkan pembaca membaca e-Book, mendengarkan buku audio, dan menonton video 24 jam tiap hari, tiap minggu, tanpa mengubah lokasi mereka. Yang diperlukan hanyalah perangkat Internet untuk mengakses dan membaca materi perpustakaan digital sepuasnya.

Keenam, akses tak terbatas ke berbagai sumber daya. Di perpustakaan tradisional, banyak pembaca tidak dapat membaca buku yang sama secara bersamaan. Mereka harus menunggu pembaca lain mengembalikan buku itu. Namun, dalam lingkungan digital, banyak pembaca dapat memiliki akses simultan ke buku, video, dan buku audio yang sama.

Ketujuh, melestarikan pengetahuan untuk generasi mendatang. Perangkat penyimpanan fisik, seperti CD, DVD, dan kaset, rentan terhadap kerusakan dan kehilangan. Karena kerentanan opsi penyimpanan fisik, perpustakaan tradisional sering gagal melestarikan penelitian, studi, dan konten yang berharga.

Perpustakaan digital sekarang menyimpan sumber dayanya di cloud. Selanjutnya, langkah-langkah keamanan canggih digunakan untuk memastikan bahwa hanya pembaca otentik yang memiliki akses ke konten. Akibatnya, perpustakaan digital dapat menyimpan hasil penelitian dan studi penting untuk generasi mendatang.

Dalam konteks seperti itulah, penulis dan entrepreneur Denny JA meluncurkan website 300 karyanya di website DENNY JA’s WORLD. Website Denny itu menjadi semacam perpustakaan digital yang terbuka untuk diakses publik. Peluncuran pada 20 Mei 2022 itu bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional.

Selama lima tahun, sebuah tim telah bekerja mendigitalkan sekitar 300 karya Denny. Yakni, sekitar 100 karya di bidang fiksi, dan 200 karya nonfiksi. Sekitar 100 karya sudah diterjemahkan atau diberi substitel bahasa Inggris.

Karya Denny tak hanya dalam bentuk teks, tapi juga video orasi, video animasi hingga film. Ini jejak 40 tahun Denny JA berkarya (1981-2021). Selama periode itu, Denny JA telah menulis 83 buku berbahasa Indonesia (34 buku fiksi, 46 buku nonfiksi, dan 3 judul terkait); ia juga telah membuat 13 film dan 82 video animasi.

Denny JA memimpin kelompok penulis Asia Tenggara, yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Pada tahun 2021, 28 buku fiksinya, 15 karya nonfiksi, 13 film, 66 video animasi, dan 77 video opini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Jumlah 77 video opini itu mencakup: 30 video tentang ajaran Sufi, 18 video tentang Work From Home, dan 29 video tentang nilai-nilai kemanusiaan, dan semua itu tersedia di saluran YouTube. Selanjutnya, setiap film, video animasi, dan video opininya telah diberi subtitle bahasa Inggris.

Kalau kita klik situs webnya di https://dennyja.world/en/dennyja-world/, dengan mudah bisa kita akses karya fiksi, buku non-fiksi, karya-karya terpilih dalam bentuk video, pidato, ceramah, dan bibliografi. Film dan video pendek itu antara lain dibuat berdasarkan puisi esai karya Denny. Sebagian besar kontennya sarat dengan isu-isu sosial yang menjadi keprihatinan publik.

Dari jejeran karya itu, Denny JA layak diapresiasi sebagai penulis yang produktif, bahkan super produktif. Sejumlah karyanya yang tegas dalam memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, juga menjadi catatan tersendiri.

Melihat berbagai aktivitas ini, tampaknya Denny telah melakukan langkah yang tepat. Apresiasi publik mancanegara dan komunitas sastra dunia terhadap karya-karya para penulis Indonesia memang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan karya-karya yang sudah diterjemahkan.

Selain itu, kemudahan diakses menjadi kriteria penting. Lewat digitalisasi karya-karyanya, Denny sudah menjalankan dua langkah tersebut. Ini juga bisa dibilang rintisan positif yang dapat ditiru para penulis lain.

Tak heran, Komunitas Puisi Esai, lewat keterangan persnya pada 20 Desember 2021, menyatakan telah menominasikan Denny JA untuk penghargaan Nobel Sastra 2022. Komunitas Puisi Esai mengumumkan hal itu untuk “mendinamisasi sastra Indonesia,” agar sastra Indonesia mulai juga berorientasi ke luar, bahkan ke panggung sastra tertinggi.

Semua tautan buku karya-karya Denny dengan mudah dapat diklik untuk dibaca, diunduh, dan dicetak secara gratis. Bagi Denny, ini bagian dari kontribusi untuk peningkatan budaya literasi nasional. Mengapa kontribusi ini menjadi penting?

Dalam studi 2016 yang dilakukan Central Connecticut State University (CCSU), Finlandia menjadi bangsa yang menduduki puncak literasi dunia. Penelitian tersebut mengamati tes pencapaian literasi dan juga pada apa yang disebut “karakteristik perilaku literasi”, mulai dari jumlah perpustakaan dan surat kabar hingga tahun sekolah (years of schooling) dan ketersediaan komputer di negara-negara itu.

Alih-alih mengukur kemampuan membaca, World’s Most Literate Nations menyatakan, peringkat negara dibuat berdasarkan “perilaku literasi dan sumber daya pendukungnya.” Data negara diambil dari UNESCO hingga Program untuk Penilaian Pelajar Internasional (PISA) yang dilakukan oleh Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

Dari 61 negara yang akhirnya dinilai, Finlandia ada di peringkat pertama, Norwegia di urutan kedua, dan Islandia, Denmark dan Swedia melengkapi lima besar. Swiss menyusul di urutan keenam, AS di urutan ketujuh, Kanada di urutan ke-11, Prancis di urutan ke-12 dan Inggris di tempat ke-17. Botswana di posisi terbawah, urutan ke-61. Indonesia di urutan ke-60, cuma setingkat lebih baik di atas Botswana, dan setingkat di bawah Thailand di urutan ke-59.

Studi ini menunjukkan potret yang kompleks dan bernuansa vitalitas budaya suatu bangsa. Jenis perilaku literasi ini sangat penting untuk keberhasilan individu dan negara dalam ekonomi berbasis pengetahuan, yang menentukan masa depan global kita.

Menurut Denny, sumber daya untuk literasi di Indonesia sangat rendah dibandingkan banyaknya populasi di negara kita. Jumlah perpustakaan, jumlah penerbitan, jumlah buku yang bisa diakses publik masih terlalu sedikit.

Karena itu, sekecil apapun harus dimulai sebuah tradisi memperkaya tersedianya sumber daya literasi, yang bisa diakses publik luas di Indonesia. Di sinilah letak arti penting peluncuran website karya-karya Denny.

“Persoalan ini ikut memotivasi saya untuk memulai tradisi menerbitkan karya saya sendiri, agar bisa diakses bebas dan gratis oleh publik luas di internet,” ujarnya.

Filsuf China, Lao Tzu pernah mengatakan, “Perjalanan seribu mil selalu dimulai dengan langkah pertama.” Denny sudah mengayunkan langkah pertama itu dan merintis satu hal. Semoga rintisan ini menjadi inspirasi bagi banyak lagi yang lain. (*)

*Satrio Arismunandar, Aktivis Gerakan Mahasiswa dan Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 5 seconds