Opini  

Ketika Pengadilan Memutuskan Duel Sampai Mati

Oleh : Denny JA

(Inspirasi dari Film The Last Duel, 2021)

Ini kisah yang sebenarnya. Di abad pertengahan Eropa, pengadilan yang harus menjaga tertib hukum dan keadilan, kadang-kadang menghadapi kasus yang teramat sulit.

Dalam kasus itu, tak ada saksi mata. Dua pihak yang berseteru di pengadilan memberikan keterangan yang berbeda dan bertolak belakang. Menjadi lebih rumit lagi jika dua pihak yang berseteru itu dua ksatria atau bangsawan yang sangat dihormati masyarakat.

Pengadilan tak bisa memutuskan siapa yang benar? Pihak yang menuduhkah yang benar? Atau pihak yang dituduh yang benar? Tapi keputusan harus diambil oleh para hakim.

Maka berlaku apa yang disebut Trial by Combat. Siapa yang benar dan salah diputuskan dengan duel sampai mati. Diyakini saja bahwa, pihak yang benar akan dilindungi Tuhan dan akan hidup, memenangkan duel. Pihak yang kalah akan dihukum Tuhan dengan cara membuatnya terbunuh dan mati dalam duel itu.

Eric Jager seorang profesor dari Columbia University. Ia seorang kritikus sastra dan ahli sejarah abad pertengahan. Ia merekam sebuah peristiwa bersejarah di abad pertengahan di Perancis. Salah satu kisah Trial by Combat itu ia bukukan dengan judul The Last Duel: A True Story of The Last Combat In Medieval France (2004).

Matt Damon dan Ben Afflect membaca buku itu. Duo seniman ini sukses membuat skenario film sekaligus membintangi film The Good Will Hunting (1997). Mereka juga tertarik dengan buku sang profesor itu.

Mereka juga tak hanya mengubahnya menjadi skenario film yang epik dan apik, bersama Nicole Holofcener. Matt Damon dan Ben Affleck juga ikut membintangi film ini.

Tersajilah film yang menyentuh. Dua sahabat, keduanya ksatria utama Raja Prancis saat itu, harus duel sampai mati. Dua sahabat ini terlibat dalam persaingan “asmara segi tiga.”

Raja, hakim, publik luas tak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Kasus asmara dua sahabat ini menjadi isu seantero negeri.

Apa daya. Keduanya harus berkuda, dengan senjata, di stadium. Raja dan rakyat banyak berkumpul. Wanita yang diperebutkan juga duduk di sana.

Dua sahabat ini harus bertarung sampai mati. Pengadilan tak bisa memutuskan. Biarlah Tuhan yang bicara. Yang salah akan mati dalam duel itu.

Adegan yang menyentuh dalam film itu ketika Marguerite termenung di ruangan itu. Rumahnya sedang sepi. Di malam hari.

Ibu mertua menghampiri. Sang Ibu berkata. “Mengapa kau tega membuat suamimu, anakku harus duel. Ia bisa mati.”

“Kau tahu akibatnya. Jika suamimu mati, ia dianggap bersalah. Dan dirimu, istrinya yang terlibat dalam kasus ini, juga dianggap bersalah. Dirimu akan dibakar di depan umum. Keluargaku akan terhina. Kau tahu itu.”

“Anakmu akan kehilangan Ayahnya. Juga kehilangan Ibunya. Kau harus cabut kasus ini. Terlalu besar resikonya.”

Tapi Marguerite berkeras hati. Tuduhan ia berselingkuh dengan sahabat suaminya terlalu menyakitkan. “Saya tidak berselingkuh. Saya diperkosa. Saya menyatakan kebenaran. Saya berhak karena saya benar.”

Ibu mertua kembali menghardik dengan keras. “Kita wanita bisa apa? Kau dengar ya. Dalam hidupku, akupun pernah diperkosa. Tapi aku tak ceritakan bahkan pada suamiku.”

“Kau ingin kebenaran? Itukah yang kau ingin? Ketahuilah. Anakmu lebih membutuhkan dirimu, ibunya, untuk tetap hidup. Itu lebih penting ketimbang dirimu membutuhkan kebenaran!”

Cerita dimulai dengan persahabatan Jean de Courages (Matt Damon) dengan Jacques Legris (Adam Driver). Mereka berperang bersama. Mereka membagi cerita. Bergurau. Saling membantu. Mereka awalnya sahabat yang saling menyenangkan.

Namun perlahan-lahan persaingan terjadi. Jean menikahi seorang gadis cantik kaya raya, Marguerite. Sementara Jacques yang cerdas, tampan, lebih senang hidup bebas dikelilingi banyak wanita cantik.

Suatu ketika Jean bersama istrinya berjumpa dengan Jacques dalam sebuah keramaian. Sebagai tanda persahabatan, Jean meminta istrinya mencium Jacques. Itu tradisi di Perancis yang biasa.

Namun baik Marguerite ataupun Jacque mulai merasakan getaran yang berbeda. Di balik ciuman itu, terasa ada pesan. Terasa ada riwayat yang akan panjang.

Jacques merasa istri sahabatnya mengirim sinyal tanda suka yang erotik. Marguerite pun kepada teman-teman sesama wanita tak sungkan menyatakan Jacques itu pria yang sangat menarik.

Dalam berbagai kesempatan, mereka acap berjumpa. Walau tak bicara langsung, namun saling tatap mata jarak jauh di sana.

Tatapan mata itu seolah kembali saling mengirim pesan.

Jacques merasa Margaurite mengirimkan sinyal halus. Bahwa ia tak berbahagia dengan suaminya, yang juga sahabat Jacques. Dan seolah Margaurite mengirimkan pesan halus agar Jaqcues mendekat.

Terjadilah peristiwa itu. Kala itu, di rumah Marguerite seorang diri. Jean sedang ke luar kota. Ibu mertua dan pembantunya sedang berpergian pula.

Jacques datang ke rumah itu. Selanjutnya apa yang sesunguhnya terjadi hanya mereka berdua yang tahu.

Ketika Jean kembali, Marguerite bercerita ia diperkosa oleh sahabat suaminya, Jacques. Isu pun menyebar.

Film memotret kisah ini dari tiga perspektif. Dimunculkan versi Jean. Lalu versi Jacques. Lalu versi Marguerite.

Jean ingin membela kehormatannya. Ia membawa kasus ini ke raja. Pengadilan pun digelar. Tapi Jacques memiliki versi sendiri. Pengadilan tak bisa memutuskan siapa yang benar.

Jean pun mengajukan jenis pengadilan yang lumrah kala itu: duel sampai mati dengan sahabatnya sendiri. Saya membela kehormatan keluarga. Tantangan diterima oleh Jacques. Seperti Jean, Jacques juga merasa harus membela kehormatannya.

Puncak dari film ini memang duel dua sahabat, dua ksatria sampai mati. Ratusan penduduk menonton duel ini.

Bunyi pedang, derap kuda, gerak lincah dua sahabat itu dalam duel itu menjadi adegan mendebarkan. Yang dipertaruhkan adalah nyawa. Hidup atau mati. Juga dipertaruhkan: kehormatan!

Selesai menonton film saya pun mencari tahu. Bagaimanakah asal muasal hadir Trial by Combat di Eropa abad pertengahan ini? Kok, bisa-bisanya yang benar dan salah ditentukan oleh siapa yang menang dalam duel.

Bagaimana jika pihak yang benar itu bukan ksatria dan tak lihai duel. Sementara pihak yang salah itu memang ahli perang. Bukankah pihak yang salah akan menang dalam duel?

Trial by combat ini memang tidak berakar dari hukum kitab suci torah (dan kitab agama lain). Ia juga tak berasal dari Code of Hammuraby yang acap menjadi sumber hukum. Tidak pula ia bersumber dari hukum Romawi.

Trial by Combat ternyata berasal dari suku-suku besar dan tua di Jerman. Ia juga dipengaruhi oleh tradisi tua Irlandia.

Acapkali memang konflik hukum saat itu terjadi pada sesama ksatria yang memang ahli duel. Kemampuan duel penduduk saat itu relatif sama.

Siapa yang menang dan kalah dalam duel kemudian lebih banyak ditentukan oleh motif dan militansi pelaku. Mereka yang dizolimi, yang menjadi korban, acapkali memiliki motif ekstra untuk menang. Trial by combat dianggap adil saat itu.

Tapi di abad 16, Trial by Combat perlahan hilang. Pengadilan tak lagi menjadikan duel sebagai basis menentukan benar dan salah. Apalagi para elit semakin banyak tak ahli dan tak lagi tertarik dengan duel sebagai cara untuk survive.

Namun di luar pengadilan, duel sampai mati tetap terjadi. Bahkan duel berganti dengan pistol dalam tradisi cowboy di Amerika Serikat. Alasannya sudah berbeda: duel hanya untuk pamer kehebatan.

Saya membayangkan apa jadinya jika saya hidup di abad pertengahan di Eropa?

Mampuslah saya. Tak bisa saya membela kebenaran. Saya hampir pasti kalah jika harus berduel walaupun saya di pihak yang benar. Itu karena saya tak suka duel. Sukanya saya hanya menulis saja.

*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Sastrawan, Penggagas Puisi Esai, dan Penulis Buku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 5 seconds