Oleh : Fadhil Muhammad
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menggelontorkan Dana Pemulihan Ekonomi Nasioanl (PEN) untuk memulihkan sektor industri dan usaha akibat Covid-19. Namun sayangnya upaya di atas belum maksimal disebabkan rendahnya penyerapan anggaran, program yang dilakukan tidak tepat sasaran hingga korupsi.
Setidaknya dibutuhkan beberapa tahun untuk memulihkan perekonomian nasional. Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terhadap Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law).
Omnibus Law diproyeksikan menjadi payung hukum dalam mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Namun, jika ditelaah kembali, Omnibus Law ini serta menciptakan ekosistem usaha dan investasi yang tidak berkelanjutan.
Dalam Omnibus Law, pemerintah daerah kehilangan kewenangannya dalam menerbitkan izin usaha. Padahal pemerintah daerah yang lebih mengetahui potensi ekonomi di daerahnya.
Absennya pemerintah daerah juga memicu konflik antara pemilik usaha (investor) dan masyarakat setempat. Sistem birokrasi seperti ini juga dapat menghambat sinkronisasi kebijakan dan tumpang tindih aturan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini berimbas pada ketidak pastian dalam menjalankan usaha.
Omnibus Law juga tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Penghapusan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) pada usaha yang berhubungan langsung dengan lingkungan dapat meningkatkan risiko kerusakan lingkungan.
Kemudian jaminan terhadap upah layak bagi buruh juga diabaikan. Padahal buruh adalah penyangga utama yang menggerakkan sektor industri. Jika buruh tidak sejahtera, berbagai aksi yang justru akan mengganggu stabilitas rantai pasok tidak dapat dihindari.
Dengan disahkannya uji materi terhadap Omnibus Law, saya rasa ada peluang memperbaiki kerangka regulasi tersebut untuk menciptakan ekosistem investasi berkelanjutan.
Investasi berkelanjutan merupakan bentuk dukungan secara finansial kepada perusahaan yang aktivitas usahanya memperhatikan aspek lingkungan (environment), sosial (social) dan tata kelola (governance) yang baik.
Aspek lingkungan meliputi pengelolaan emisi karbon, menjaga keanekaragaman hayati, konservasi energi dan pengelolaan sampah, polusi atau limbah.
Selanjutnya, aspek sosial meliputi aksesibilitas terhadap penyandang disabilitas, kesetaraan gender, upah layak bagi karyawan, dan memperhatikan hak-hak konsumen.
Sementara itu, aspek tata kelola yang baik meliputi independensi dewan direksi dan komisaris, transparansi informasi kepada para stakeholder, akuntabilitas karyawan, bertanggung jawab atas tindakan perusahaan dan memperhatikan hak para stakeholder secara adil.
Aspek – Aspek Investasi Berkelanjutan
Aspek-aspek investasi berkelanjutan tersebut merupakan langkah pemerintah untuk menjamin kepastian usaha serta meminimalisir risiko yang akan terjadi di kemudian hari.
Risiko tersebut dapat berupa kerusakan lingkungan yang tentunya membutuhkan biaya penanganan yang lebih besar, gesekan antara masyarat dengan investor ataupun aksi protes buruh yang menuntut upah layak.
Selain itu, ini juga bentuk dari tanggung jawab untuk mengurangi risiko perubahan iklim. Apalagi pemerintah Indonesia berkomitmen mengurangi emisi karbon sebanyak 29% hingga 41% pada COP26 di Glasgow beberapa bulan lalu.
Hal ini perlu diperhatikan dalam revisi Omnibus Law agar menjadi payung hukum untuk menciptakan iklim investasi yang ramah lingkungan dan saling menguntungkan semua pihak. Investor diuntungkan karena mendapat kepastian usaha, gesekan konflik antara buruh dan perusahaan semakin kecil dan produktivitas akan meningkat.
Pemerintah juga dapat mengurangi angka pengangguran, meningkatkan daya beli, dan perusahaan dapat membayar pajaknya yang menjadi pendapatan pemerintah.
Tidak lupa, para pekerja pun akan mendapat upah yang layak, kesejahteraan meningkat, lingkungan terhindar dari kerusakan. Dan yang terpenting kesehatan masyarakat terjaga dari polusi udara yang berasal dari aktivitas industri.
*Penulis adalah Alumni Fakultas Ekonomi UIN Malang.