Oleh : Ilham Hardina Atmaja
Membahas seputar energi di negeri ini, sepintas kita akan langsung bertanya-tanya bahwa listrik yang kita nikmati saat ini sebenarnya berasal dari mana? Apakah memang berbagai jenis pembangkit listrik dengan berbeda bahan energi yang pernah diajarkan saat dahulu di sekolah menjadi satu kaitan yang saling menopang di antaranya atau justru selama ini kita berada pada kenyamanan, sehingga sulit terpikirkan dan menerima fakta bahwa sebenarnya topangan utama energi listrik di Indonesia hingga saat ini adalah bersumber dari batubara, yang merupakan energi fosil.
Potensi dan Pengembangan Energi
Potensi dan pengembangan energi kita sudah lama tertinggal jika disandingkan dengan negara lain. Dimana, negara lain sudah berlomba-lomba berganti atau bertransisi menuju energi terbarukan, seperti bayu/angin, panas bumi/geotermal, matahari, atau bahkan nuklir.
Akan tetapi, kita harus menyadari bahwa, sebenarnya Indonesia hingga saat ini masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap batubara sebagai sumber energi listriknya.
Sulit memang untuk menerima kenyataan ini, padahal jika kita ketahui, di Indonesia ini banyak sekali potensi pengembangan energi terbarukan, baik dari segi geografisnya (kepulauan & khatulistiwa) atau bahkan kelimpahan sumber daya alamnya.
Seakan kita hanya bisa bangga dengan kekayaan alam di negeri ini, tetapi ketika kita menyadari perihal ini, seakan kebanggaan tersebut sirna begitu saja. Tentu, ini menjadi cambuk keberhasilan untuk menuju tujuan bahwa Indonesia harus mampu melakukan transisi energi guna mengurangi ketergantungan pada batubara.
Batubara sebagai Sumber Energi di Indonesia
Permintaan energi Indonesia didominasi oleh konsumsi listrik dan diperkirakan akan meningkat karena didorong oleh pembangunan ekonomi dan pertumbuhan populasi yang cepat. Untuk dapat menyeimbangkan permintaan energi ini, pemerintah Indonesia telah menetapkan target untuk pembangkit listrik hingga 135,5 GW pada tahun 2025, dan dituangkan dalam Peraturan Presiden (PerPres) No. 22/2017.
Pasokan energi primer di Indonesia terutama didasarkan pada bahan bakar fosil, seperti minyak, gas, dan batubara. Kebijakan energi nasional menetapkan proporsi sumber energi pada tahun 2025, yaitu minyak (20%), gas (30%), batubara (33%), dan energi baru-terbarukan (17%).
Sektor pembangkit listrik adalah konsumen batubara terbesar di Indonesia. Peningkatan konsumsi batubara sangat signifikan di sektor pembangkit listrik, yaitu dari 56 juta ton pada 2006 dan diperkirakan menjadi 123,2 ton pada 2025.
Mengingat batubara memiliki sifat tak terbarukan dan dihasilkan dari proses geologi selama puluhan bahkan ratusan juta tahun, maka sangatlah disayangkan apabila pemanfaatannya tidak memiliki nilai tambah.
Selain itu, pembakaran batubara untuk keperluan pembangkit listrik juga menghasilkan “limbah padat berbahaya dan beracun”. Pengembangan dan penelitian harus dilakukan terkait dengan penggunaan batubara dan pemanfaatan limbah batubara, antara lain gas metana batubara (coal bed methane), batubara tercairkan (liquified coal), batubara tergaskan (gasified coal), atau pemanfaatan “limbah” batubara untuk menghasilkan sumberdaya non-konvensional yang menambah nilai dan efisiensi penggunaan batubara di Indonesia
Fakta Batubara Indonesia
Berdasarkan data terakhir BP, cadangan terbukti (proven reserve) batubara nasional di akhir tahun 2021 mencapai 38,84 miliar ton (atau sebanyak 3,7% dari total cadangan dunia) yang didominasi oleh batubara kalori menengah dan rendah masing-masing sebanyak 62% dan 38%.
Dalam satu dekade terakhir (2010-2020), 80-88% produksi batubara nasional sebagian besar diekspor ke Tiongkok (27%), India (26%), Korea Selatan (10%), Jepang (9%), dan Taiwan (7%) untuk menyuplai PLTU di negara-negara ini.
Di dalam negeri, 82% konsumsi batubara nasional dalam periode yang sama digunakan untuk membangkitkan listrik dari PLTU di Jawa dan Sumatera. Dari statistik ini, sudah jelas bahwa batubara memiliki peranan penting dalam perekonomian dan sektor kelistrikan Indonesia.
Dari perspektif lainnya, peran batubara ini justru mengindikasikan kerentanan yang tinggi dari industri yang sangat bergantung pada perkembangan tren PLTU global, dan khususnya di kelima negara tujuan ekspor tersebut.
Transisi energi, yang didorong oleh penurunan biaya teknologi energi terbarukan, tekanan publik untuk mengendalikan polusi udara, dan tekanan global untuk mengatasi perubahan iklim, akan mendisrupsi status quo dari batubara, yang cepat atau lambat akan berdampak pada keberlangsungan industri batubara di tanah air.
Peluang Pengembangan Energi Terbarukan
Dalam komitmen Paris Agreement, pada tahun 2030 pemerintah menetapkan target untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 29% dibandingkan dengan pengurangan 41% pada tahun 2005.
Secara khusus, pencapaian ini dapat dicapai dengan mengembangkan sektor swasta untuk berkomitmen pada industri panel surya (energi matahari). Kontribusi Indonesia melalui pengembangan industri tenaga surya dapat mendukung Indonesia sebagai salah satu dari 195 negara yang telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pengembangan energi terbarukan.
Energi terbarukan tentu memiliki peranan dan keterkaitan yang kuat dalam mendorong ekonomi hijau (green economy), pembangunan berkelanjutan, dan efisiensi energi. Tentunya, perlu dukungan dan usaha kuat dengan kemajuan teknologi agar konsumsi energi kita tetap minimum.
Selain itu, masih perlunya peningkatan pada kapasitas sumberdaya manusia untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pemeliharaan pembangkit listrik terbarukan.
Jika kedua hal tersebut sudah terpenuhi, maka kebijakan, pengelolaan risiko proyek, penganggaran, hingga pemeliharaan dirasa sangat penting untuk mencapai pembangunan secara berkelanjutan. Ketidakpastian kebijakan tentang energi terbarukan dan perlindungan perusahaan jangka panjang menyebabkan rendahnya minat investor untuk berinvestasi.
Pada tahun 2021, Indonesia dalam hal penggunaan energi terbarukan tetap menempati pada angka sebesar 2,5% dari total potensi energi terbarukan yang ada. Salah satu cara untuk meningkatkan jumlah ini adalah dengan mengembangkan energi surya.
Energi surya merupakan salah satu energi demokratis karena ketersediaannya tersebar luas di seluruh Indonesia. Energi surya merupakan salah satu bentuk energi terbarukan yang dapat diakses langsung oleh masyarakat dan dapat digunakan pada skala yang berbeda.
Dapat dikatakan bahwa pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya di berbagai bidang merupakan perwujudan dari penerapan sila ke-5, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Memang, penggunaan energi surya adalah bentuk kerja sama untuk energi terbarukan dan aksi iklim guna mengurangi ketergantungan dari energi fosil.
Tantangan dalam Pengembangan Energi Terbarukan
Tantangan terbesar energi terbarukan adalah daya saingnya yang rendah. LCOE (Levelized Cost of Electricity) atau biaya listrik rata-rata masih sangat tinggi dibandingkan listrik dari bahan bakar fosil. Kedua, dari sisi sumber daya manusia, kesiapan SDM perlu ditingkatkan untuk mencapai keterampilan SDM nya dalam pengoperasian dan pemeliharaan teknologi energi terbarukan. Regulasi yang tidak konsisten juga menghambat pengembangan energi terbarukan, khususnya di Indonesia.
Oleh karena itu, butuh adanya pendekatan untuk menyempurnakan kebijakan dalam menopang manajemen risiko proyek dan pembiayaan proyek, serta insentif yang masih rendah juga menjadi bagian dari tantangan. Apabila dinamika perubahan kebijakan dapat diatur dengan konsisten, perhatian investor terhadap energi terbarukan juga akan meningkat.
Saran
Dari sekian banyak tantangan yang ada, rekomendasi tindakan yang dapat dipertimbangkan adalah klarifikasi kebijakan terkait produksi energi terbarukan di dalam negeri. Membangun kerangka peraturan yang jelas dapat mendukung produksi dalam negeri dan mendorong sektor publik dan swasta untuk mengadopsi energi terbarukan untuk mencapai ekonomi rendah karbon di Indonesia.
*Penulis adalah Mahasiswa S-1 Ekonomi Pembangunan 2019 Universitas Airlangga (Unair)