Opini  

Memahami Makna Taat Terhadap Konstitusi

Oleh Hananto Widodo *)

Isu penundaan Pemilu memang isu yang sensitif bagi publik. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar berusaha meyakinkan public bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia setuju jika pemilu ditunda satu hingga dua tahun setelah tahun 2024. Pernyataan Muhaimin ini kemudian tidak hanya didukung oleh dua Ketua Umum Parpol lainnya, yakni Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan Zulkifi Hasan sebagai Ketua Umum PAN, tetapi juga oleh Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan.

Luhut mengklaim memiliki big data sekitar 110 juta percakapan netizen baik di twitter dan facebook yang menghendaki agar pemilu 2024 ditunda. Klaim dari Luhut ini mendapat kritikan dari berbagai kalangan pegiat demokrasi yang menolak klaim Luhut tersebut. Klaim ini mendapat jawaban dari berbagai Lembaga survey. Salah satu dari lembaga survey itu adalah LSI. LSI melansir jika sekitar 50% dari masyarakat menolak penundaan pemilu.

Menganggap Polemik Publik

Menanggapi polemik antara publik dan Luhut ini, Jokowi langsung merespon jika dia akan taat konstitusi. Isu penundaan pemilu dapat diasumsikan sebagai lanjutan dari isu perpanjangan masa periode Presiden menjadi tiga periode. Dengan demikian, isu penundaan pemilu yang kemudian disambut oleh Presiden Jokowi itu, tak lain dan tak bukan merupakan satu rangkaian dengan isu perpanjangan masa jabatan Presiden. Oleh karena itu, respon Jokowi bahwa dia akan taat dan patuh terhadap konstitusi harus dilihat secara menyeluruh, yakni bukan hanya terkait penundaan pemilu, tetapi juga terkait perpanjangan masa jabatan Presiden tiga periode.

Pertanyaannya adalah apakah makna dari taat dan patuh terhadap konstitusi sebagaimana ditegaskan oleh Jokowi ? Apakah konstitusi hanya sekedar pasal-pasal atau bunyi dari UUD NRI Tahun 1945 ? Ingat, pembatasan masa jabatan Presiden merupakan isu yang utama dalam pembahasan amandemen UUD 1945. Oleh karena itu, janganlah heran manakala pembatasan masa jabatan Presiden sebelum diatur dalam perubahan UUD 1945, telah diatur terlebih dahulu dalam TAP MPR No. XIII/MPR/1998. Dengan demikian, pengaturan terkait pembatasan masa jabatan Presiden yang diatur dalam TAP MPR tersebut mendahului perubahan UUD 1945 yang salah satu rencananya adalah untuk membatasi masa jabatan Presiden.

Dari Perspektif Historis Konstitusi

Dari perspektif historis konstitusi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembatasan masa jabatan Presiden merupakan isu yang sangat krusial. Karena jika masa jabatan Presiden tidak dibatasi maka negara Indonesia yang secara konstitusional adalah negara hukum akan bergeser menjadi negara kekuasaan (machsstaat). Pergeseran negara Indonesia dari negara hukum menjadi negara kekuasaan akan lebih mudah terwujud karena sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem presidensiil.

Sistem presidensiil paling berpotensi melahirkan pemerintahan yang otoriter, karena jika mayoritas kekuatan parpol di parlemen dikuasai oleh koalisi pemerintah, maka kontrol terhadap pemerintah menjadi “lumpuh.” Salah satu ukuran demokrasi dari suatu negara adalah pada kekuatan parlemen dalam mengontrol setiap kebijakan Pemerintah. Jika parlemen berdaya dalam melakukan fungsi kontrolnya, maka dapat dikatakan kebijakan Pemerintah akan terkontrol dan dampak negatif dari kebijakan itu terhadap publik juga dapat diminimalisir.

Sekarang ini dapat dikatakan fungsi kontrol terhadap Pemerintah sangat lemah. Bahkan dapat dikatakan mulai terdapat “persekongkolan politik” antara Pemerintah dan Parlemen. Kita tentu ingat dengan disahkannya revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja yang dituduh oleh beberapa kalangan sebagai bentuk dari produk hukum yang represif. Penolakan terhadap kedua UU itu bergaung di mana-mana, tetapi baik Pemerintah maupun Parlemen abai terhadap aspirasi yang dikumandangkan oleh publik tersebut.

Pada awal-awal Pemerintahannya pada tahun 2014, Jokowi berusaha untuk abai terhadap suara parlemen. Pemerintahan Jokowi pada waktu itu hanya didukung oleh kekuatan minoritas di parlemen. Akibatnya pemerintahan Jokowi pada waktu itu sempat mengalami kendala dalam melaksanakan kinerjanya. Namun, itu tidak berlangsung lama, karena beberapa parpol seperti Golkar dan PAN mulai merapat ke pemerintahan Jokowi.

Kemudian, pada pemilu 2019 Jokowi didukung oleh mayoritas kekuatan di parlemen. Dukungan yang sangat absolut ini akan berpotensi membahayakan Jokowi sendiri. Karena komitmen dari Jokowi untuk taat dan patuh pada konstitusi itu akan dapat berubah manakala parpol pendukung Jokowi di parlemen melakukan perubahan UUD 1945, kemudian mendukung kembali Jokowi untuk menjadi Calon Presiden di periode ketiga. Atau jika MPR melakukan perubahan UUD dengan tujuan untuk menambahkan frasa “penundaan pemilu.”

Kekhawatiran ini layak muncul di kalangan publik, mengingat Presiden Soekarno pernah mendapatkan dukungan dari MPR untuk menjadi Presiden seumur hidup, di mana pengaturan mengenai itu dituangkan dalam TAP MPRS No. III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Seumur Hidup. Dan, ini berpotensi akan terjadi pada Jokowi jika kekuatan mayoritas di MPR menghendaki dia menjadi Presiden pada periode ketiga.

Makna dari taat konstitusi bukan sekedar taat terhadap bunyi konstitusi, karena konstitusi bisa diubah oleh parlemen dengan didasarkan pada kebutuhan pragmatis jangka pendek. Taat konstitusi harus dimaknai sebagai paham bahwa semua kekuasaan harus dibatasi. Termasuk pembatasan masa jabatan Presiden. Oleh karena itu, seharusnya Jokowi tidak hanya mengatakan akan taat pada konstitusi, tetapi juga menolak secara tegas berbagai wacana yang dapat menggerus nilai-nilai demokrasi, baik itu wacana perpanjangan masa jabatan Presiden tiga periode maupun wacana penundaan pemilu.

Yang perlu dipikirkan Jokowi saat ini adalah bekerja secara maksimal pada sisa masa pemerintahannya, sembari memikirkan warisan (legacy) yang berguna bagi masyarakat Indonesia ke depannya. Seperti SBY yang telah mewariskan fondasi demokrasi di tingkat local dengan menerbitkan Perppu tentang Pilkada yang materi muatannya memberi hak pada masyarakat untuk menentukan pemimpin di tingkat local baik itu Gubernur, Bupati dan Walikota melalui mekanisme pemilihan secara langsung. (*)

*) Hananto Widodo, Dosen Hukum Tata Negara Unesa dan Ketua Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 5 seconds