Opini  

Catatan Terhadap Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013

Oleh HANANTO WIDODO *)

Putusan MK No. 31/PUU-XI/2013 di satu sisi memberikan secercah harapan bagi penyelenggara pemilu, khususnya KPU dan Bawaslu, tetapi di satu sisi membawa implikasi yang tidak mudah bagi DKPP. Sebagaimana kita ketahui, berdasarkan putusan MK ini, MK telah memutus bahwa putusan DKPP ini tidak bersifat final dan mengikat. Frasa “putusan DKPP bersifat final dan mengikat”, hanya mengikat bagi Presiden, KPU RI dan Bawaslu RI yang menindaklanjuti putusan DKPP.

Dengan lahirnya putusan MK ini, tentu memiliki implikasi terhadap putusan DKPP yang akan datang. Namun demikian, setiap putusan pengadilan, meski putusan pengadilan itu dianggap mengakhiri segalanya, tetapi setiap putusan pengadilan akan menyisakan pertanyaan hukum di kalangan ahli hukum. Pertanyaan hukum ini pasti bermula dari keanehan argumentasi yang dibangun oleh para Majelis.

Pertanyaan hukum yang muncul dari putusan ini terkait dengan bahwa “putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat ini hanya mengikat bagi Presiden, KPU dan Bawaslu yang menindaklanjuti putusan DKPP ini. Berbagai pertanyaan muncul terkait ini, misal apakah putusan DKPP ini merupakan produk yudisial atau produk eksekutif atau semi yudisial ? Pertanyaan ini wajar muncul karena ini terkait dengan implikasi dari putusan DKPP tersebut.

Jika putusan DKPP ini disamakan dengan putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat, tetapi kenapa putusan DKPP harus ditindaklanjuti oleh Keputusan Presiden bagi anggota penyelenggara pemilu di tingkat pusat yang diberhentikan dan Surat Keputusan KPU RI dan Surat Keputusan Bawaslu RI bagi anggota KPU dan Bawaslu daerah yang diberhentikan oleh DKPP. Tindak lanjut terhadap putusan DKPP ini karena mendasarkan pada asas contrarius actus yang artinya suatu produk hukum hanya dapat dicabut oleh produk hukum yang sama derajatnya. Anggota KPU RI dan anggota Bawaslu RI ditetapkan dengan Keppres, sehingga jika anggota KPU RI dan anggota Bawaslu RI diberhentikan, maka konsekuensinya Keppres tentang pengangkatan dirinya harus dicabut dengan Keppres. Begitu juga dengan pengangkatan anggota KPU daerah dan anggota Bawaslu daerah yang diberhentikan, maka SK KPU RI dan SK Bawaslu RI yang menetapkan mereka sebagai anggota KPU daerah dan anggota Bawaslu daerah harus dicabut dengan SK KPU RI dan SK Bawaslu RI.

Keberadaan putusan DKPP ini merupakan hasil dari proses pemeriksaan etik yang dilakukan oleh DKPP terhadap penyelenggara pemilu. Dengan demikian, tidak mungkin anggota penyelenggara pemilu langsung dinyatakan bersalah tanpa melalui proses pemeriksaan terlebih dahulu. Hal ini senafas dengan pemberlakuan terhadap pelanggaran disiplin PNS. PNS yang melakukan tindakan indisipliner tentu tidak sekonyong-konyong diberhentikan sebagai PNS, tetapi akan melalui proses pemeriksaan terlebih dahulu di hadapan tim pemeriksa. Hasil pemeriksaan ini yang kemudian akan diajukan kepada atasan untuk mendapatkan penetapan sanksi.

Lalu bagaimana dengan putusan MK yang menyatakan bahwa frasa final dan mengikat ini hanya mengikat bagi Presiden, KPU RI dan Bawaslu RI yang mengeluarkan Keputusan ? Untuk menjawab ini, maka kita harus kembali pada konsep dasar Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), karena Keppres, SK KPU RI dan SK Bawaslu RI terkait pemberhentian anggota penyelenggara pemilu baik di tingkat pusat maupun di daerah merupakan produk KTUN. Kalau dilihat pada karakter Keppres, SK KPU RI dan SK Bawaslu RI yang merupakan tindak lanjut dari putusan DKPP, maka dapat dipastikan karakter dari Keputusan ini adalah KTUN deklaratif.

KTUN deklaratif mengandung pengertian bahwa sebelum dikeluarkan Keputusan itu, sudah ada peristiwa hukumnya. KTUN deklaratif sifatnya hanya mengukuhkan saja. Kita ambil contoh akta kelahiran, bukan berarti akta kelahiran merupakan penentu bahwa seseorang itu ada, tetapi akta kelahiran itu hanya untuk mengukuhkan saja bahwa telah terjadi kelahiran pada tanggal sekian bulan sekian tahun sekian. Begitu juga dengan Keppres, SK KPU RI dan SK Bawaslu RI tentang pemberhentian anggota penyelenggara pemilu baik di pusat maupun di daerah.

Keberadaan Keppres, SK KPU RI dan SK Bawaslu RI sifatnya hanya mengukuhkan saja. Karena sebelumnya sudah ada peristiwa hukum berupa pemberhentian anggota penyelenggara pemilu baik di tingkat pusat maupun di daerah yang terbukti melakukan pelanggaran etik berat, sehingga harus diberhentikan. Pertanyaannya adalah apakah tepat jika putusan DKPP bersifat final dan mengikat itu ditujukan kepada Presiden, KPU RI dan Bawaslu RI bukan kepada anggota KPU yang diberhentikan?.

Pengertian final dan mengikat di sini mengandung pengertian bahwa tidak ada upaya hukum lagi yang dapat ditempuh oleh anggota penyelenggara pemilu yang mendapatkan sanksi. Karena putusan DKPP yang merupakan hasil pemeriksaan terhadap anggota penyelenggara pemilu yang diduga melakukan pelanggaran etik. Upaya hukum di sini dimaknai bahwa putusan DKPP merupakan putusan pertama dan terakhir dalam konteks penegakan kode etik penyelenggara pemilu. Namun demikian, ketika putusan DKPP ini ditindaklanjuti dengan Keppres, SK KPU RI, SK Bawaslu RI, maka Keppres, SK KPU RI dan SK Bawaslu RI ini dapat digugat di PTUN, karena ketiga produk hukum itu merupakan KTUN sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN.

Upaya hukum berupa gugatan terhadap Keppres, SK KPU RI dan SK Bawaslu RI ini tidak mereduksi frasa “final dan mengikat” dari putusan DKPP ini. Sebab yang menjadi obyek gugatan di PTUN adalah KTUN yang berbentuk Keppres, SK KPU RI maupun SK Bawaslu RI, meski secara substansi yang dipermasalahkan adalah proses pemeriksaan terhadap anggota penyelenggara pemilu yang telah mendapatkan sanksi. Namun demikian, dengan adanya penegasan dari putusan MK No. 31/PUU-XI/2013 ini, maka ke depan DKPP seharusnya lebih berhati-hati dalam melakukan proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan terhadap terduga pelanggar etik, sehingga tidak ada celah yang dapat dimasalahkan oleh anggota penyelenggara pemilu yang mendapatkan sanksi dari DKPP. (*)

*Hananto Widodo, Dosen Hukum Tata Negara dan Ketua Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH) Universitas Negeri Surabaya (Unesa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 5 seconds