Oleh : Denny JA *)
Kita memasuki zaman yang sudah berbeda. Jika dulu kesimpulan itu hanya dirasakan berdasarkan pengamatan kualitatif, kini kesimpulan itu sudah didukung oleh data hasil riset kuantitatif.
Inilah zaman yang kemajuan peradabannya tak lagi bergantung pada agama. Ini era ketika kehadiran agama bukanlah syarat membuat masyarakat bahagia. Agama juga bukan syarat membuat pemerintah bersih. Agama bukan pula variabel yang diharuskan ada untuk pembangunan manusia.
Data yang ada justru menunjukkan sebaliknya. Di sebagian negara yang populasi masyarakatnya tak lagi menganggap agama penting, populasinya justru bahagia.
Di sebagian negara yang mayoritas populasi tak merasa agama penting, pemerintahannya justru bersih dari korupsi. Di sebagian negara yang mayoritas penduduknya tak lagi menganggap agama hal yang utama, pembangunan manusianya justru bagus.
Ilmu pengetahuan sudah membuat indeks. Untuk mengukur kebahagian sebuah populasi negara, dikembangkan World Happiness Index.
Laporan World Happiness Index pertama dirilis pada 1 April 2012. Ini bagian dari teks dasar untuk Pertemuan Tingkat Tinggi PBB. Kemajuan negara tak lagi semata diukur berdasarkan kemajuan ekonomi, tapi juga tingkat kebahagiaan warga negara.
Untuk mengukur pemerintahan yang bersih, tersedia Corruption Perception Index (CPI).
CPI adalah indeks yang memberi peringkat negara-negara berdasarkan tingkat korupsi sektor publik. Nilai untuk indeks itu ditentukan oleh penilaian ahli dan survei opini publik.
CPI mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Indeks ini diterbitkan setiap tahun oleh organisasi non-pemerintah Transparency International sejak 1995.
Untuk mengukur pembangunan manusia, ada Human Development Index (HDI).
HDI adalah indeks gabungan statistik dari harapan hidup, pendidikan, dan indikator pendapatan per kapita, yang digunakan untuk memeringkat negara ke dalam empat tingkatan.
Suatu negara memperoleh tingkat HDI yang lebih tinggi ketika umur lebih tinggi, tingkat pendidikan lebih tinggi, dan pendapatan nasional bruto (PPP) per kapita lebih tinggi.
Indeks dikembangkan oleh ekonom Pakistan Mahbub ul Haq. Indeks ini selanjutnya digunakan untuk mengukur pembangunan suatu negara oleh Kantor Laporan Pembangunan Manusia Program Pembangunan PBB (UNDP).
Tiga indeks di atas diukur setiap tahun untuk lebih dari 100 negara di dunia. Hasil risetnya juga dipublikasi setiap tahun.
Sementara untuk mengukur seberapa penting agama bagi populasi di sebuah negara, tersedia data dari Gallup Poll. Data itu didasarkan pada Gallup Poll global yang membuat penelitian di tahun 2009. Riset itu menanyakan “Apakah agama penting dalam kehidupan sehari-hari Anda?”. Persentase dibuat untuk jawaban “ya” dan “tidak.”
Dengan menggabungkan data itu, kita melihat fakta yang telanjang. Kemajuan peradaban yang diukur dari kemampuan sebuah bangsa membangun manusia (Human Development Index), membuat populasi negaranya bahagia (world happiness Index), dan menciptakan pemerintahan yang bersih (Corruption Perception Index) sudah sama sekali tak bergantung dari agama. (1)
Apa arti penting dari data yang kuat basisnya ini?
Agar pembahasan soal measurement, atau cara mengukur kemajuan peradaban itu lebih bisa dipahami, saya detailkan satu contoh saja.
Di bawah ini revisi tulisan yang pernah saya buat, soal hubungan antara kebahagiaan dan tingkat beragama sebuah masyarakat.
Mengapa Top 10 negara yang populasinya paling bahagia tak menganggap agama penting bagi hidupnya.
Itulah hal ihwal berulang-ulang penulis renungkan. Dua data lengkap lebih dari seratus negara baru selesai dibaca.
Dua set data ini hasil dari lembaga riset kredibel. Jejak lembaga tersebut diketahui dan dipuji kalangan akademisi.
Yang satu dikerjakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri, melalui Sustainable Development Solution Network (SDSN). Sudah terbit rangking 153 negara berdasarkan kebahagiaan warga negara, tahun 2020.
Dalam menyusun rangking ini, SDSN menggunakan data survei dunia Gallup World Poll dan World Values Survey.
Satu lagi set data juga dari Gallup Poll, tahun 2009. Data ini membuat list negara berdasarkan pertanyaan “seberapa penting agama dalam hidupmu?”
Dua set data itu berdiri sendiri-sendiri. Yang satu tidak untuk menjelaskan yang lain.
Tapi jika kita periksa hasilnya, dan dipadukan, Wow! Top 10 negara yang warganya paling bahagia tak lagi menganggap agama itu penting dalam hidupnya.
Benarkah?
Baiklah kita mulai dengan dua riset itu dahulu.
Sejak tahun 2012, PBB melalui SDSN memulai cara lain mengukur pertumbuhan satu negara.
Manusia tak hanya hidup dari roti. Sangat tidak komprehensif jika mengukur kemajuan sebuah negara semata dari kemajuan ekonomi.
Juga sudah dikembangkan Human Development Index (HDI). Ukuran pertumbuhan negara dilihat lebih multi dimensional. Tak hanya sisi ekonomi yang dinilai, tapi juga kesehatan, pendidikan, bahkan kualitas pemerintahan.
Di tahun 2012, HDI pun dianggap belum memadai. Fokus harus lebih kepada kebahagiaan warga negara. Apa guna semua pembangunan jika warga tak bahagia? Bukankah kebahagiaan adalah makna hidup terdalam?
Dan biarlah warga negara itu sendiri yang menilai kebahagian melalui self claim. Jangan para ahli yang mengklaim.
Mereka pun ditanya: bapak ibu, saudara-saudari, apakah anda merasa bahagia atau tidak bahagia? Mereka pun diberikan skala 0-10. Angka 10 untuk bahagia paripurna. Angka 0 untuk tak bahagia yang total.
Lalu para ahli berbagai bidang, mulai dari ekonomi, sosiologi, pendidikan hingga psikologi memperkaya temuan itu.
Sejak tahun 2012, List dan laporan yang diberi nama World Happiness Report sudah dipublikasi. Di tahun 2020, ini report tahunan ke delapan.
Sebanyak 153 negara dinilai dan dibuatkan rangking. Indonesia, misalnya, berada di rangking ke-84, dengan nilai rata rata skor: 5.286.
Top 10 negara yang warga negara bahagia tahun 2020, dan skornya sebagai berikut: (2)
- Finlandia (7.809)
- Denmark (7.646)
- Switzerland (7.560)
- Iceland (7504)
- Norway (7488)
- Netherlands (7449)
- Sweden (7353)
- New Zealand (7300)
- Austria (7294)
- Luxembeg (7238)
Sepuluh negara paling bahagia didominasi oleh negara skandinavia (Nordic countries).
Data set kedua sama sekali berbeda. Data ini dari Gallup Poll untuk kategoti seberapa penting agama itu dalam persepsi warga.
Pertanyaannya sederhana saja: Apakah agama itu penting dalam hidupmu sehari hari? Is religion important in your daily life?
Jawabannya hanya Yes atau No. Namun ada pula yang tak menjawab, atau menjawab tak tahu.
Berdasarkan jawaban itu, di tahun 2009, Gallup Poll menyusun list negara berdasarkan prosentase Yes.
Maka tersusunlah list 149 negara, dalam berbagai kategori. Yang paling puncak, di atas 90 persen warga negara menyatakan agama penting dalam hidupnya sehari-hari.
Yang paling rendah, di bawah 40 persen menyatakan agama itu penting dalam hidupnya sehari-hari. Alias mayoritas menganggap agama tak lagi penting dalam kehidupan sehari-hari.
Kitapun mendapatkan peta dunia di era Google. Di negara mana saja yang penduduknya menganggap agama itu penting, di atas 50 persen? Bahkan di atas 90 persen?
Contoh list negara yang menyatakan agama itu penting 90 persen ke atas, misalnya India, Arab Saudi, Mesir, Filipina, Indonesia.
Contoh list negara yang tak menganggap agama penting, di bawah 40 persen, misalnya Jepang, Hongkong, Perancis, Inggris dan Australia.
Sekarang kita padukan dua data di atas. Untuk Top 10 negara yang paling warganya paling bahagia (World Happines Report, 2020), apakah penduduk di negara itu menganggap agama penting dalam hidup mereka sehari-hari (Important of Religion by Countries, Gallup Poll, 2009). (3)
Di bawah ini, rangking top 10 negara yang membuat warga bahagia. Di sampingnya prosentase seberapa penting agama bagi hidup sehari-hari mereka.
- Finlandia (28 persen)
- Denmark (19 persen)
- Switzerland (41 persen)
- Iceland (tak ada data)
- Norway (22 persen)
- Netherlands (33 persen)
- Sweden (15 persen)
- New Zealand (33 persen)
- Austria (55 persen)
- Luxembeg (39 persen)
Delapan dari sembilan negara yang warganya paling bahagia, mayoritas warganya tak menganggap agama hal yang penting dalam hidupnya. Hanya satu, di Austria saja, yang di atas 50 persen warga menganggap agama penting.
Di Swedia bahkan hanya 15 persen populasi menganggap agama itu penting. Juga di Denmark hanya 19 persen menganggap agama itu penting.
Jika dibuat rata-rata negara di atas hanya 31.6 persen dari penduduk di berbagai negara itu menganggap agama penting. Dengan kata lain, mayoritas warga negara yang paling bahagia di dunia, tak menganggap agama penting dalam hidup mereka sehari-hari.
Bagaimana dengan negara yang menganggap agama penting di atas 90 persen? Bagaimana tingkat bahagia warga di negara itu?
Saya ambil contoh pusat agama yang berbeda- beda. Dalam tanda kurung, masing-masing nama agama mayoritas. Di sampingnya data berapa persen warga menganggap agama penting di negara itu. Di sampingnya lagi, bagaimana rangking negara tersebut berdasarkan kebahagian warga negara.
- India (Hindu, 90 persen, 144)
- Philipines (Katolik, 96 persen, 52)
- Arab Saudi (Islam, 93 persen, 27)
- Thailand (Budha, 97 persen, 54)
- Indonesia (Islam, 99 persen: 84)
Untuk negara yang mayoritas penduduknya menganggap agama penting, di atas 90 persen populasi, baik agama Islam, Katolik, Hindu hingga Budha, kebahagian warga negaranya sedang-sedang saja hingga buruk.
Di India, 90 persen warga menganggap agama itu penting (mayoritas Hindu). Rangking bahagia negara itu berada di papan bawah: 144 dari 153 negara yang disurvei.
Di Indonesia, 99 persen warga mengganggap agama penting (mayoritas Islam), rangking bahagia warga ada di paruh papan tengah ke bawah: rangking 84 dari 153 negara yang disurvei.
Bagaimana menjelaskan fenomena ini? Mengapa warga negara yang paling bahagia di ruang publiknya tak lagi menganggap agama penting?
Tiga kunci menjadi penentu: Social Trust. Freedom to make life choice. Dan Social Support.
Social trust itu dapat dipahami sebagai keakraban warga negara. Jika sesama warna negara terbina kehangatan, saling percaya, perkawanan, terlepas apapun latar belakang identitas warga, itulah eko sistem ruang publik yang membuat nyaman.
Social trust akan rusak jika sebaliknya terjadi. Semangat kebencian, permusuhan, dinding yang tinggi, menjadi pemisah warga negara.
Manusia kemudian tidak dinilai dari katakter dan perilakunya, tapi dari agama yang dipeluk, bahkan dari tafsir agamanya. Jika ini yang menjadi warna, keakraban warga negara sirna.
Ruang publik yang sektarian, yang diwarnai social hostilities, itu buruk untuk menciptakan social trust.
Di samping banyak sisi baiknya, perilaku beragama di kalangan yang fanatik, dengan kaca mata kuda, yang memonopoli Tuhan dan surga seolah hanya milik kelompoknya semata, yang mengembangkan spirit permusuhan, kebencian bagi yang berbeda tafsir dan agama, merusak social trust itu.
Fanatisme dan separatisme agama menjadi unsur yang memburukkan social trust. Semakin agama dalam semangat sempit di atas semakin tak berperan, semakin baik social trust itu.
Kedua, freedom to make life choice. Setiap warga dewasa akan nyaman jika ia dibiarkan “Be Yourself,” sejauh ia tak melakukan pemaksaan dan kriminal.
Soal bagaimana life style yang dipilih, konsep Tuhan mana yang Ia yakini dari 4300 agama yang ada, itu sepenuhnya urusan ia pribadi.
Apa yang akan terjadi di akhirat nanti, jika ia percaya, itu konsekwensi pribadi pula. Tak ada yang dapat mengambilh tanggungjawabnya ke Tuhan. Tidak ulama/pendeta. Tidak ormas. Tidak juga negara.
Ruang publik yang dipenuhi oleh ormas agama fanatik acapkali seolah olah menjadi juru bicara Tuhan alam semesta, main hakim sendiri, membakar atau menyegel rumah ibadah dari pemeluk tafsir agama yang berbeda. Ini yang merusak “Freedom to make life choice.”
Sebaliknya, ruang publik yang semakin tidak diwarnai ormas agama yang main hakim sendiri, yang membebaskan individu “Be Yourself,” ia lebih sesuai dengan zaman yang beragam.
Ketiga, social support. Setiap warga negara akan lebih nyaman jika ada support dari lingkungan. Ini terutama menyangkut program kesejahteraan warga negara yang diupayakan pemerintah.
Itu mulai dari program kesehatan, pendidikan, hingga tunjangan bagi ekonomi lemah.
Social support ini lebih bisa diberikan oleh negara yang berpenghasilan tinggi. Ini lebih ke dimensi ekonomi.
Tapi memang pada negara yang kuat ekonominya, yang tumbuh karena industri, umumnya warga tak lagi menganggap agama itu penting.
Tiga variabel di atas menjelaskan. Mengapa justru pada negara yang ruang publiknya tak lagi diwanai agama, yang mayoritas warga menganggap agama tak lagi penting dalam hidupnya, mereka justru paling bahagia.
Apakah data itu hendak menyatakan agama segera memudar di negara yang makmur? Jawabnya Ya dan Tidak.
Tidak karena data itu hanya menunjukkan bahwa, majunya sebuah peradaban yang diukur dari indeks (world happiness indeks), juga dari indeks lain (human development index) dan corruption perception index tak lagi bertumpu pada agama.
Ya, karena peran dan posisi agama di ruang publik di negara makmur tidak lagi di ruang publik. Agama berada di ruang privat. Ia menjadi bagian dari gaya hidup individual dan komunitas saja.
Pada sebagian besar populasi negara makmur, kepercayaan pada lembaga agama memang memudar (4). Tapi kebutuhan pada spiritualitas, di luar lembaga agama, yaitu narasi untuk mendapatkan meaning of life, tetap tumbuh subur. (*)
CATATAN
(1). Data lengkap soal indeks kebahagian (world happiness index), indeks korupsi (Corruption Perception Index), dan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) dalam hubungannya dengan penting tidaknya agama bagi penduduk sebuah negara sudah dibahas dalam buku Denny JA: 11 Facts Emerge in The Era of Google, Evolving Perception of Religions (2021)
https://www.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/1769846726536755/
(2) World Happiness Report 2020 di berbagai negara dapat dilihat di sini:
https://worldhappiness.report/ed/2020/
(3) Gallup Poll 2009 soal list negara berdasarkan pentingnya agama:
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Importance_of_religion_by_country
(4) Sebuah buku penuh data ditulis oleh Inglehart soal merosotnya kepercayaan pada agama di negara makmur:
Ronald F Inglehart: Religion’s Sudden Decline (2020)
https://www.amazon.com › Religion…Religion’s Sudden Decline: What’s Causing it, and …
*Denny JA, Founder LSI-Denny JA dan Penulis Buku.