Opini  

Nestapa Tenaga Honorer

Oleh Farhat Abbas *)

Pupuslah harapan, padahal sudah menanti bertahun-tahun. Itulah nasib sekitar 410.000 tenaga honorer yang selalu mengimpikan diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Hal ini sejalan kebijakan Pemerintah saat ini yang “tidak akan mengangkat lagi tenaga honorer”. Apakah mereka memang tak dibutuhkan lagi tenaganya, padahal sudah mencurahkan tenaga, pikiran dan waktunya tanpa imbalan yang wajar? Dan yang lebih mendasar lagi adalah, di manakah letak kemanusiaan pengelola negeri ini terhadap para tenaga honorer yang telah memberikan dedikasinya kepada negara?

Dalam perspektif kemanusiaan, kebijakan penyetopan pengangkatan para tenaga honorer jelaslah merupakan kebijakan yang tidak manusiawi. Minimal, merupakan gambaran kebijakan mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Jika persoalannya karena negara diperhadapkan krisis keuangan, mengapa tidak dicarikan kerangka solusi krisis itu? Problem utamanya pada kondisi krisis keuangan, bukan existing tenaga honorer. Sungguh tidak bijaksana, problemnya pada krisis keuangan negara, tapi yang harus menanggung risiko para tenaga honorer. Ada kekeliruan berpikir dalam rumusan kebijakan itu.

Sementara, kondisi krisis keuangan, jika kita cermati, terletak pada kegagalan menata-kelola keuangan negara. Di satu sisi, pemerintah gagal menggali dan mengelola berbagai sumber penerimaan negara. Di sisi lain, membiarkan panorama kebocoran sumber-sumber penerimaan negara. Sebagai gambaran konkret, Pertamina yang diharapkan menjadi salah satu sumber penerimaan negara, tapi yang terjadi adalah kerugiaan mencapai Rp 191 triliun.

Publik sulit percaya bagaimana mungkin Pertamina yang sangat captive pasarnya dan di lapangan juga menunjukkan serapan konsumsi yang tak pernah idle, tapi mengapa harus rugi sebesar itu, padahal dalam waktu bersamaan, tak ada lagi subsidi? Jangan salahkan perkembangan harga minyak dunia yang bergerak naik. Sementara, saat harga pasar minyak dunia menurun dan itu berarti tergapai profit yang fantastik, tapi pemerintah diam seribu bahasa. Giliran rugi menjerit. Tapi, giliran untung besar justru diam. Di sisi lain, utang luar negeri kian membumbung tinggi dan sesunguhnya sudah melampaui batas UU Keuangan Negara.

Berangkat dari sumber-sumber penerimaan negara, maka menjadi masalah yang tidak match ketika kebijakan penyetopan pengangkatan para tenaga honorer dikaitkan dengan problem penerimaan keuangan negara. Sebab, faktor utamanya sejatinya pada ketidaktepatan mengelola sumber-sumber pemerimaan negara.

Perlu kita catat, ketidaktepatan tata-kelola keuangan negara sangat mungkin terjadi karena penyalahgunaan. Hal ini berarti ada wilayah hukum yang harus ditegakkan secara disiplin tanpa diskriminasi. Publik melihat, pemerintah tak serius untuk menindak para pelaku penyalahgunaan kewenangan, apalagi sang pelaku merupakan kroninya. Dalam kaitan kasus kerugiaan Pertamina yang mencapai Rp 191 triliun, tak pernah terdengar sikap pemerintah untuk menindak para petinggi BUMN raksasa itu. Dalam hal ini Komisaris Utama harusnya diminta pertanggungjawabannya. Minimal diminta keterangannya. Fakta bicara, tak ada sikap apalagi tindakan hukum untuk sang aktor penting yang telah mengakibatkan Pertamina rugi sebesar itu.

Di sisi lain, terkait dengan utang luar negeri, pun pemerintah tak pernah bersuara jelas bagaimana peruntukannya. Jika memang untuk membiayai sejumlah megaproyeknya seperti pembangunan rel kereta cepat Jakarta-Bandung, sementara pemerintah sendiri pernah menyampaikan bahwa, megaproyek itu berumber dari dana konsorsium asing. Dengan demikian, uang negara yang beratas nama utang luar negeri itu tidak masuk untuk pembiayaan megaproyek itu. Lalu, ke manakah dana utang luar negeri itu?

Memang, ada data yang menunjukkan alokasi utang luar negeri itu, di antaranya untuk mengatasi krisis sosial-ekonomi akibat pandemi Covid-19. Kita perlu mempertanyakan, seberapa besar total dana untuk kepentingan social safety net itu? Hanya sekitar Rp 1.000 triliun. Lalu, mengapa utang luar negerinya tercapat kisaran Rp 7.000 triliun? Bubungan utang luar negeri yang cukup besar itu dan minimalitas angka untuk kepentingan social-ekonomi, maka kontraksi itu menimbulkan kecurigaan tersendiri. Dugaan korupsi bukanlah mengada-ada. Minimal, penggunaan yang tidak efektif.

Sekali lagi, krisis keuangan negara yang dihadapi sejatinya merupakan akibat kekeliruan menata-kelola sumber-sumber penerimaan negara. Dan hal ini, di satu sisi, merupakan problem kompetensi, meski Menteri Keuangan kita bereputasi dunia. Tapi, fakta bicara: ia gagal menunjukkan kinerjanya untuk keamanan sistem keuangan negara. Aneh bin ajaibnya, kegagalan itu kemudian ditumpahkan kesalahannya dalam ragam penyetopan tenaga hononer dengan alibi negara tak punya uang. Ala maak.. sebuah format kebijakan yang tidak rasional.

Ada hal yang sangat mendasar untuk kita catat secara serius. Para tenaga honorer dengan “gaji” yang sangat terbatas dan relatif tak wajar itu, sesungguhnya tergolong menjadi warga negara fakir-miskin. Bagi mereka yang telah berkeluarga, bisa tergambar beban hidupnya yang berat. Menderita bertahun-tahun. Mereka bertahan dalam mengabdi kepada negara karena keyakinan akan diangkat statusnya menjadi PNS.

Yang perlu kita soroti khusus adalah, kondisi ekonomi yang mereka sandang sebagai fakir-miskin dalam perspektif konstitusi (Pasal 34 UUD 1945) merupakan pihak yang wajib diperhatikan oleh negara. Karena itu, sikap pemerintah yang menyetop pengangkatan para tenaga honorer tergolong tidak menjalankan amanat konstitusi. Karena itu jelas merupakan tindakan pelanggaran serius.

Itulah pelanggaran yang tidak bisa dipandang sebalah mata. Dalam hal ini Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) bukan hanya mengecam kebijakan yang tidak manusiawi itu, tapi berhak menyuarakan tegas atas tindakan inkonstitusional Pemerintah. Suara lantang itu wajib dikumandangkan agar para wakil rakyat yang ada di parlemen melihat inkonstitusionalitas itu terkait penyetopan tenaga honorer. Di luar persoalan benturan kemanusiaan, juga prinsip konstitusi yang harus ditegakkan.

Mengingat jumlah korban penderita sampai 410 ribu tenaga honorer, dan jika dihitung jumlah keluarganya, maka total korban tidak akan kurang dari angka kisaran satu juta orang. Total korban ini sudah cukup kuat bagi parlemen untuk memproses posisi politik Presiden sebagai pengambil utama sebuah keputusan. Jika parlemen cicing wae (diam saja) atas pelecehan terhadap konstitusi, publik setidaknya para tenaga honorer cukup tahu: itulah problem integritas dan ketidakmanusiaan para wakil rakyat kita. Juga cukup tahu, itulah problem kemanusiaan penguasa.

Maka, minimal para tenaga honorer sudah harus menyadari: stop dukung rezim yang tidak menghargai hak-haknya. Jangan mau lagi dieksploitasi. Meski rezim ini tidak akan lama lagi berakhir, tapi para kroninya yang ada di parlemen tak boleh lagi dipilih. Ada pengkhianatan, minimal pelecehan yang harus disadari.

Liriklah dan bergabunglah bersama para calon wakil rakyat yang siap memperjuangkan kepentingan para tenaga honorer dan masyarakat lainnya yang senantiasa terus menanti pengayoman hak-hak dasarnya. Dan insya Allah, kader PANDAI siap bersama kalian yang telah dibikin nestapa selama ini. (*)

*Farhat Abbas, Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 5 seconds